Drama Politik Australia
Indriana Kartini ; Peneliti Bidang Politik Internasional Pusat
Penelitian Politik LIPI; Dosen Jurusan Hubungan Internasional FISIP UIN
Syarif Hidayatullah
|
KOMPAS,
19 September 2015
Drama panggung partai
politik kembali berlangsung di Australia setelah Tony Abbott dikalahkan oleh
Malcolm Turnbull dalam voting internal Partai Liberal pada 14 September
dengan hasil perolehan suara 54-44. Hasil voting ini mengantarkan Turnbull
menjadi pemimpin baru Partai Liberal dan sekaligus menjadi perdana menteri
ke-29 Australia menggantikan Tony Abbott yang baru memerintah selama dua
tahun. "Kudeta partai" ini sekaligus menambah daftar pergantian
kepemimpinan di Australia selama kurun waktu lima tahun terakhir.
Pendahulu Abbott,
Kevin Rudd, pernah mengalami hal serupa tahun 2010, dikalahkan penantangnya
dari sesama Partai Buruh, Julia Gillard. Pada 2013, Kevin Rudd membalikkan
posisi dengan mengalahkan Julia Gillard dalam voting internal Partai Buruh
dan kembali memimpin Australia meski hanya singkat. Dalam Pemilu 2013, Partai
Buruh akhirnya dikalahkan oleh Partai Liberal yang mengantarkan Tony Abbott
menjadi perdana menteri ke-28 Australia.
Instabilitas kepemimpinan
Sistem politik
Australia yang menganut sistem parlementer memungkinkan partai politik
melengserkan pemimpinnya apabila dipandang berseberangan dengan sikap partai
atau kurang memberikan performa yang baik bagi partai. Oleh karena itu,
lumrah apabila terjadi pergantian kepemimpinan sebelum periode pemerintahan
berakhir, bahkan dalam periode pertama pemerintahan sekalipun.
Sejarah politik
Australia setelah Perang Dunia II dipenuhi kisah pergantian perdana menteri
sebelum berakhirnya periode pemerintahan tanpa melalui pemilihan umum. Sejak
PM Frank Forde (1945) hingga Malcolm Turnbull (2015), ada 11 kali pergantian
perdana menteri.
Manuver pelengseran
Abbott sebenarnya telah dilakukan oleh Partai Liberal pada Februari 2015 lalu
dengan voting internal mengingat hasil jajak pendapat The Galaxy Poll
menunjukkan, suara pemilih Partai Buruh (57 persen) melewati Partai Liberal
(43 persen). Selain itu, 55 persen pemilih juga menginginkan Abbott mundur
dari kursi perdana menteri. Jajak pendapat tersebut juga mengungkapkan,
kemunculan Turnbull akan menekan perolehan suara Partai Buruh dari 51 persen
hingga 49 persen.
Dalam voting internal
Februari 2015, Abbott selamat dari upaya pelengseran pertama dengan perolehan
suara 61-39. Namun, dalam manuver pelengseran kedua September 2015, Abbott
harus rela menyerahkan kepemimpinan kepada Turnbull yang merupakan mantan
Menteri Komunikasi di kabinetnya.
Pemerintahan Turnbull
Dalam Pemilu 2013,
salah satu alasan terpilihnya Abbott adalah janjinya memperbaiki budget emergency warisan pemerintahan
Buruh sebelumnya. Namun, di masa Abbott justru angka pengangguran meningkat
dibandingkan masa pemerintahan Buruh, dari 5,8 persen menjadi 62 persen.
Pertumbuhan ekonomi menurun dari 2,5 persen di masa pemerintahan Buruh
menjadi 2 persen. Defisit anggaran meningkat dari 30 miliar dollar Australia
jadi 48 miliar dollar Australia. Fakta ini turut memengaruhi turunnya
preferensi pemilih terhadap Partai Liberal.
Meski Abbott dan
Turnbull bernaung dalam partai politik yang sama, keduanya berbeda faksi
politik. Turnbull merupakan bagian dari faksi kecil liberal, sementara Abbott
dari faksi konservatif. Pengaruh faksi konservatif ini mendominasi Partai
Liberal hampir dua dekade. Namun, mengingat hasil jajak pendapat yang kurang
menguntungkan bagi Partai Liberal, faksi konservatif kemudian turut mendukung
kepemimpinan Turnbull dalam voting internal kedua.
Turnbull sebenarnya
bukanlah figur favorit Partai Liberal. Turnbull menganut ideologi sosial yang
lebih progresif dibandingkan para kolega. Turnbull mendukung isu-isu yang
berseberangan dengan mayoritas Partai Liberal dalam hal pernikahan sesama
jenis, penelitian sel punca (stem-cell), negara republik, serta pengurangan
restriksi terhadap aborsi. Selain itu, dukungan Turnbull terhadap isu perubahan
iklim, khususnya terhadap emissions trading scheme atau pajak karbon, juga
berseberangan dengan pandangan sejumlah anggota Partai Liberal yang tidak
mendukung pajak karbon.
Pandangan politik
Turnbull dalam isu lingkungan justru lebih beririsan dengan kebijakan Partai
Buruh. Karena itu, kemunculan Turnbull juga dipandang membahayakan Partai
Buruh karena dapat memengaruhi preferensi para swing voter Partai Buruh dan
memungkinkan mereka mengalihkan dukungannya kepada Partai Liberal.
Kritik terhadap pergantian
kepemimpinan ini juga muncul di kalangan elite pemerintahan koalisi (Partai
Liberal dan Nasional). Senator Cory Bernardi dari Partai Liberal
mengungkapkan, politik di Australia saat ini seperti panggung
"sirkus" dan menunjukkan instabilitas politik.
Wakil Pemimpin Partai
Nasional Barnaby Joyce mengingatkan para elite partai untuk berhenti saling
menyalahkan karena pemerintahan koalisi yang terpilih pada Pemilu 2013
dibangun dari perjanjian pemimpin Partai Nasional Warren Truss dengan
pemimpin Partai Liberal saat itu Tony Abbott.
Karena itu, tantangan
Turnbull saat ini adalah bagaimana meyakinkan faksi konservatif Partai
Liberal serta para pemilih dari generasi tua dan konservatif untuk mendukung
kepemimpinannya. Selain itu, Partai Liberal juga harus belajar dari kesalahan
Partai Buruh yang membiarkan terjadinya kegaduhan politik internal antara
Kevin Rudd dan Julia Gillard. Dalam hal ini, Partai Liberal harus mampu
meyakinkan pihak yang kalah, Abbott, untuk tidak mengganggu kepemimpinan
baru. Apabila hal ini tidak dilaksanakan, bukan mustahil Partai Liberal akan
ditinggalkan para pemilih dalam Pemilu 2016. Ini seperti yang pernah
dilakukan pemilih Partai Buruh yang menghukum Partai Buruh dalam Pemilu 2013,
dengan mengalihkan dukungan kepada Partai Liberal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar