Bahasa Ibu, Bahasa Kelekatan
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 28 September 2015
DALAM dunia pendidikan, dikenal istilah
pengasuhan (parenting) yang
mempunyai peng aruh penting terhadap proses tumbuh kembang anak. Salah satu
model pengasuhan yang baik di antaranya dapat dilihat dari proses sekaligus
hasilnya. Jika guru atau orangtua sebagai subjek pengasuhan memiliki kendali
dan kontrol emosi yang positif disertai dengan pola perilaku yang hangat, itu
akan memiliki pengaruh yang juga positif terhadap anak dan atau siswa. Jenis
pengasuhan semacam itu dalam bahasa psikologi pendidikan disebut sebagai
orangtua/guru otoritatif karena mereka mampu memberikan pengaruh yang baik
terhadap anak secara positif.
Jika pola pengasuhan memiliki tanda-tanda yang
negatif, baik dari aspek kehangatan (warmth)
maupun kontrol emosi, pengaruh ke anak atau siswa pasti juga akan buruk. Pada
tingkat itu, hubungan emosi anak dengan orangtua dan atau guru pasti memiliki
kelekat an (attachment) yang kurang
kuat sehingga bisa memeng aruhi perilaku anak. Istilah kelekatan untuk
pertama kalinya dikemukakan seorang psikolog pada 1958 bernama John Bowlby.
Kemudian formulasi yang lebih lengkap
dikemukakan Mary Ainsworth pada 1969 (Mc Cartney dan Dearing, 2002).
Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak
melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam
kehidupannya, biasanya orangtua.
Pengaruh bahasa
Salah satu yang membuat ingatan seorang anak
dan atau siswa bertahan dalam relung pikir dan jiwa ialah pengaruh bahasa
yang digunakan para orangtua/ guru mereka. Bahasa bukan hanya dilihat sebagai
produksi kata-kata, melainkan juga bahasa tubuh orangtua/guru ikut
memengaruhi kelekatan anak terhadap figur dambaannya.
Bayangkan, jika seorang anak setiap hari
memperoleh bahasa yang tidak dia pahami secara baik, ditambah dengan bahasa
tubuh yang mengesankan citra negatif guru dan atau orangtua, kelekatan anak
akan tumbuh secara negatif pula. Pasalnya, menurut teori kelekatan Bowlby,
implikasi pola hubungan dan penggunaan bahasa akan bertahan cukup lama dalam
rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau
figur lain pengganti ibu.
Karena itu, penting bagi para pendidik,
terutama orangtua dan guru, untuk mengerti efek bahasa yang digunakan
sehari-hari terhadap proses tumbuh kembang anak. Meskipun dalam teori
kelekatan tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat
disebut kelekatan, beberapa ciri dasarnya menunjukkan kelekatan yang
ditimbulkan penggunaan bahasa dan bahasa tubuh akan bertahan cukup lama pada
diri seorang anak.
Pentingnya bahasa bisa dilihat dari proses
pengajaran bahasa, baik ketika anak mulai ingin berbicara, belajar bicara,
hingga kelas 4 sekolah dasar yang merupakan waktu yang sangat critical. Namun, seperti kita lihat
fenomena akhir-akhir ini ketika taman pendidikan anak semacam PAUD
bertumbuhan bak jamur di musim hujan, pengajaran bahasa, terutama bahasa ibu,
menjadi sedikit terabaikan.
Hasil ujian bahasa Indonesia siswa di
perdesaan dan perkotaan sangat perbedaannya mencolok. Para guru pengajar
bahasa Indonesia di sekolah-sekolah perdesaan tetap menggunakan bahasa daerah
sebagai pengantar proses belajar mengajar, tetapi tak mampu mendesain proses
transisi berbahasa. Bahkan, di awal-awal berdirinya Sekolah Sukma di Aceh,
misalnya, masyarakat protes karena bahasa wajib di sekolah ialah bahasa
Indonesia, bukan bahasa Aceh. Perlu 1 tahun bagi guru-guru di Sekolah Sukma
untuk mendesain proses transisi ini dan meyakinkan masyarakat dan anak-anak
agar mau belajar dan berbicara bahasa Indonesia di lingkungan sekolah.
Menurut beberapa pusat penelitian bahasa dan
kebudayaan di beberapa universitas, bahasa pengantar di sekolah punya dampak
serius terhadap keberhasilan prestasi siswa ke depan. Muridmurid SD di
perkotaan umumnya ialah penutur-penutur asli bahasa Indonesia, sedangkan bagi
murid perdesaan, bahasa ibu mereka bukan bahasa Indonesia. Ratarata setiap
hari mereka berjuang mempelajari bahasa Indonesia dan pada saat yang sama
mereka juga harus mempelajari materi pelajaran lainnya yang juga berbahasa
Indonesia. Bagi seluruh anak SD di perdesaan, ini bukanlah persoalan sepele,
melainkan persoalan serius.
Meskipun keluhan tentang penggunaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar di TK dan SD tidaklah banyak, kurang lebih
75% siswa TK dan SD di perdesaan bukanlah penutur asli bahasa Indonesia. Oleh
karena itu, pemakai an bahasa ibu di TK dan SD kelas awal mungkin masih perlu
dilakukan. Selain untuk menjamin kelangsungan pembelajaran, juga untuk
mencegah gangguan perkembangan kognitif anak. Tugas Departemen Pendidikan
Nasional juga harus ekstra dalam memberikan pelatihan yang memadai kepada
para guru TK dan SD serta menyediakan buku teks yang tentu harus berbeda,
atau sesuai dengan kebutuhan lingkungan dan budaya se tempat dalam
mengantarkan anak-anak memahami bahasa Indonesia sebagai bahasa peng antar di
sekolah.
Dalam Whole
Language for Second Language Learners (1992), Freeman, Yvonne S Freeman,
dan David E menyebutkan bahwa signifi kansi penggunaan bahasa ibu sebagai
bahasa pengantar di sekolah sebelum bahasa kedua dikuasai anak akan mampu
menghasilkan prestasi yang le bih baik bagi anak-anak di masa mendatang.
Harus ditemukan cara yang secara pedagogis
mampu membuat anak nyaman ketika mengalami peralihan dari bahasa ibu mereka
ke bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah. Jika masalah ini
dijalankan dengan baik, kekhawatiran tentang dampak buruk pengenalan
berbahasa Indonesia yang terlalu dini di sekolah tak akan terjadi. Kita patut
menjaga sense bahasa ibu anak-anak
kita serta menyiapkan proses transisi berbahasa mereka agar penguasaan bahasa
Indonesia dan bahasa lainnya menjadi kuat.
Dalam waktu bersamaan, jika proses ini terjadi
secara baik, akan muncul kelekatan yang positif pada diri seorang anak. Banyak
bukti dari beberapa hasil riset tentang perkembangan mental dan kejiwaan yang
menunjukkan secara konsisten dan kuat bahwa pendidikan usia dini berpengaruh
terhadap kesuksesan masa depan seorang anak. Dalam laporan Center on the Developing Child (2007),
ditunjukkan secara khusus bahwa efek pendidikan usia dini yang benar,
terutama pengaruh penggunaan bahasa ibu, dapat meningkatkan kapasitas
arsitektur dari otak anak, yaitu pada saatnya otak tersebut akan memberikan
pengaruh yang baik dalam membentuk perilaku sosial dan emosi anak yang
cerdas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar