Kancil dan Macan
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 20 September 2015
Seorang ibu membawa
anaknya yang bernama Irsan, kelas V SD, karena kedapatan memalsukan tanda
tangan ibunya. Pada waktu pembagian rapor bayangan, ibu guru kelas melaporkan
kepada ibunya Irsan bahwa Irsan ternyata menandatangani sendiri nilai-nilai
ulangan yang sudah dibagikan dan seharusnya ditandatangani orang tua setelah
dibaca untuk diketahui oleh orang tua. Ibunya Irsan, walaupun tercengang,
jadi mengerti mengapa selama ini kalau ditanya apakah hasil ulangan umum
sudah dibagikan?
Jawaban Irsan selalu,
”Belum, Ma”. Bukan kebiasaan sekolah untuk tidak membagikan hasil ulangan
umum. Menyadari hal itu, ibunya Irsan membawa Irsan ke psikolog dengan
harapan bisa diketahui, mengapa Irsan akhir-akhir ini doyan berbohong.
Selain menyembunyikan
nilai ulangan umum dan memalsukan tanda tangan mama, dia juga selalu
mengatakan ”Sudah”, setiap kali dianya apakah sudah belajar? Padahal, belum!
Mama khawatir sekali kalau sifat pembohong ini dibiarkan,
Irsanakanmenjadiorangdewasa yang tidak jujur, dan kalau ia menjadi pejabat,
pasti dia akan jadi mangsa KPK!
Kekhawatiran mama
cukup beralasan. Di zaman banyak pejabat ditangkapi KPK karena ketahuan
korupsi, mendingan mama menjaga anaknya baik-baik sebelum nasi telanjur
menjadi bubur. Di sisi lain, ketahuan memalsukan tanda tangan mama apakah
otomatis berarti Irsan pembohong, tidak jujur dan kelak jadi koruptor?
Tunggu sebentar. Tak
semudah itu menyimpulkan bahwa Irsan bersifat (tidak hanya kebetulan)
pembohong, apalagi ketika dikaitkan dengan sifat yang terbawa terus sampai
dewasa. Sifat yang dibawa sejak kecil, dan berkelanjutan sampai seseorang
menjadi dewasa, dan tidak lenyap-lenyap bahkan sampai tua dan meninggal,
adalah bagian dari kepribadian manusia yang dinamakan trait. Trait ini
melekat pada kepribadian seseorang, cenderung sulit untuk diubah dan
diperoleh sejak lahir atau merupakan faktor bakat.
Dalam bentuknya yang
lebih sering terlihat di sekitar kita, trait ini muncul dalam perilaku yang
ragu-ragu, takut-takut, tidak berani spontan untuk sifat yang kita namakan
pemalu. Atau banyak tawa, lancar berbicara, mudah berteman dengan orang yang
baru kenal, dan spontan untuk sifat yang kita namakan periang. Tetapi untuk
dapat dikatakan sebagai trait, sifat-sifat itu menurut psikolog Kelley (1972)
harus memenuhi tiga persyaratan, yaitu konsistensi, konsensus, dan distingtif
(lain dari yang lain).
Kita ambil contoh
misalnya, kasus Irsan lagi yang kedapatan berbohong dengan memalsukan tanda
tangan mamanya. Memang benar, dia berbohong ketika memalsukan tanda tangan
mamanya. Tetapi Irsan hanya memalsukan tanda tangan di kertas-kertas
ulangannya saja. Kalau mama titip apa-apa ke warung, misalnya, Irsan tidak
pernah mengambil uang kembaliannya.
Begitu juga ia pun
tidak merokok. Pernah pada suatu hari, Irsan diolok-olok teman-teman di
sekolahnya, karena ia tidak mau ikut-ikutan merokok, tetapi dia malah cerita
ke mama. Irsan selalu curhat kepada mama tentang segala yang terjadi di
sekolah. Ketika diwawancara empat mata oleh psikolog, Irsan mengaku bahwa
mama marah sekali kalau ulangan matematikanya jelek.
Karena itu, ia
memalsukan tanda tangan mama agar mama tidak marah. Tentu saja, untuk mama
yang pemarah, kelakuan Irsan adalah kebohongan yang tak berampun. Tetapi
sebenarnya siapa pun akan melakukan hal yang sama dalam posisi seperti Irsan.
Ibaratnya dongeng, seekor kancil yang bertemu macan, ia akan bersembunyi agar
tidak ditemukan oleh macan.
Kalaupun macan
menemukannya, ia akan mengimbau macan agar jangan memakannya, karena ia sedang
melaksanakan perintah Nabi Sulaiman untuk menjaga kue tar milik Nabi Sulaiman
dan tidak boleh ada yang menyentuhnya. Macan titik air liurnya melihat kue
tersebut dan memaksa untuk makan kue tersebut, atau kancil yang akan
dimakannya.
Akhirnya kancil menyerah,
tetapi dia minta izin melarikan diri dulu agar dia tidak dimarahi oleh Nabi
Sulaiman. Setelah suara kancil tidak terdengar lagi, dengan bernafsu macan
melahap kue tar kuning-kehijauan yang menggugah selera itu, tetapi sekejap
kemudian ia muntah-muntah sambil marah-marah, karena kue itu sebenarnya
adalah tahi kerbau yang diklaim sebagai kue oleh kancil.
Dalam dongeng untuk
anak-anak itu, si kancil diberi julukan ”Kancil yang cerdik”, bukan kancil si
tukang bohong. Selain itu, kebohongan Irsan juga tidak konsisten, karena
dalam situasi lain Irsan tidak berbohong. Seorang yang punya sifat pembohong,
akan secara konsisten berbohong dalam hampir segala situasi, seperti tetangga
temannya mama yang hobinya meminjam uang dengan berbagai alasan bohong dan
tidak pernah mengembalikannya, sehingga suaminya pernah dipanggil polisi atas
laporan salah seorang korban teman mama itu.
Temannya mama itu juga
dikenal oleh warga se-RW, bahkan sekelurahan sebagai tukang bohong, peminjam
duit yang tidak pernah mengembalikan. Temannya mama memenuhi syarat sebagai
pembohong karena konsisten berbohong kepada siapa saja, dan orang-orang di
sekitarnya bersepakat (konsensus) bahwa dia itu memang pembohong.
Lain halnya dengan
Irsan, yang hanya berbohong dalam hal ulangan saja, dan guru wali kelasnya
pun, ketika memanggil mama, hanya melaporkan soal pemalsuan tanda tangan
saja, sama sekali tidak menyebut Irsan sebagai pembohong.
Akhirnya psikolog
menyarankan agar pendekatan mama kepada Irsan diubah. Kalau nilai ulangan
jelek, ga usah marah-marah. Tanyakan saja kesulitan apa yang dialami Irsan
dan bantulah Irsan mencarikan jalan keluarnya, misalkan mencarikan guru les
yang baik. Atau kalaupun Irsan memang lemah di matematika, ya sudah biarkan
saja.
Agnes Monica, Chrisye,
Suharto, dan Gus Dur, tidak pernah terdengar sebagai pandai matematika,
tetapi mereka jadi musisi top dan presiden. Sebaliknya Einstein, yang ahli
fisika, tidak pernah jadi penyanyi, apalagi presiden. Tetapi mereka jadi
orang top di bidangnya masing-masing, karena mereka tidak pernah dimarahi
ketika ulangan matematikanya jelek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar