Ayam Goreng atau Empal Gentong
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
20 September 2015
Pada usianya yang ke
71, seorang wanita harus menjalani operasi dalam rangka pencegahan penyebaran
kanker yang dideritanya. Sesaat sebelum memasuki ruang operasi, ia berdoa
secara singkat agar penyebaran kankernya tidak ke organ lain. Yang menarik
setelah semua permintaannya itu, ia mengakhiri doanya begini. "Aku
menyerahkan diriku seutuhnya pada-Mu Tuhan karena Engkau yang memiliki kehidupan
ini. Biarlah kehendak-Mu yang jadi. Amin."
Meminta
Setelah saya membaca
kesaksian wanita itu di sebuah majalah, seperti biasa otak saya mulai
berpikir. Karena kalau memang benar saya ini menutup doa dengan "biarlah
kehendak-Mu yang jadi", apa pentingnya mengajukan sejuta permintaan
secara detail meski tentunya itu tidak dilarang?
Karena buat saya yang
bodoh ini, perkataan terjadi atas kehendak-Mu mengandung kepercayaan
seutuhnya bahwa Tuhan akan memberikan solusi yang terbaik meski itu tidak sesuai
dengan permohonan saya.
Kalimat "biarlah
terjadi atas kehendak-Mu" juga mencerminkan sejauh apa saya ini benar
percaya kepada Yang Mahakuasa, kepada yang tak terlihat, serta tidak menjadi
manusia yang hidup di dua dunia. Maksud saya, dua dunia itu adalah meminta
dari kemampuan daging yang terbatas tetapi diaminkan dengan yang Ilahi.
Amin itu bukan
mengilahikan yang daging. Amin itu memercayai sepenuhnya yang Ilahi tanpa
harus menyisipkan permohonan daging. Amin itu bukan penutup doa, itu awal
dari iman bahwa yang Ilahi akan berkuasa atas hidup. Amin itu bukan mengimani
yang daging agar terjadi seperti kehendak saya.
Saya juga acap kali
menutup doa dengan "biarlah kehendak-Mu yang jadi", tetapi dalam
kasus saya, kalimat itu cuma lip service. Itu hanya kalimat yang harus
disebutkan di akhir doa sebagai kalimat penutup yang wajib dan yang membuat
saya tidak terlihat pongah di hadapan Tuhan.
Padahal, sebagai
manusia yang mengucapkan "biarlah kehendak-Mu yang jadi", bisa jadi
saya tidak mau kalau itu benar terjadi. Karena kehendak Tuhan belum tentu
sama dengan kehendak saya. Dan yang belum tentu sesuai dengan kehendak saya,
itu tidak menyenangkan sama sekali.
Melapor
Saya pernah menulis
tentang cerita ini. Kalau Anda naik pesawat terbang, Anda tidak pernah
diizinkan memeriksa kokpit untuk meyakinkan ada pilot atau tidak. Kalau Anda
terbang, Anda pun tidak pernah diberi tahu belok kanan atau kiri. Yang ada di
dalam kepala Anda, dalam sekian jam saya tiba di tempat tujuan.
Anda dan saya begitu
percaya kepada pilot yang tak Anda lihat dan tak Anda kenal. Anda begitu
percaya dibawa dalam waktu sekian jam dan tak mengetahui ke arah mana Anda
dibawa. Anda dan saya tidak bawel dan diam saja terikat dengan sabuk
pengaman. Tetapi, Anda dan saya memiliki keyakinan akan tiba.
Maka, kalimat
"biarlah kehendak-Mu yang terjadi" kira-kira seperti itu. Ada
kepercayaan tanpa Anda memohon apa pun. Memang Anda pernah mohon agar
pilotnya jangan ngantuk? Anda melihat pilotnya saja tidak bisa, hanya
mendengar suaranya dari pengumuman yang diberikan.
Nah, kalau sama pilot
saja Anda dan saya enggak minta-apa-apa, hanya memiliki keyakinan penuh meski
deg-degan kalau ada turbulensi, bukankah seharusnya dengan Yang Mahakuasa,
yang tak terlihat itu pun Anda dan saya bisa melakukan hal yang sama, tanpa
harus bawel meminta sejuta permohonan?
Maka sekarang, saya
melatih untuk tidak meminta, tetapi melaporkan saja apa yang saya rasakan dan
yang saya hadapi. Misalnya, saya takut terbang, saya kesepian, saya lapar.
Kalau dulu, waktu saya kelaparan, saya berdoa minta ayam goreng, dan ayamnya
harus paha, ayamnya harus buatan si A, digoreng biasa dan enggak usah pakai
tepung.
Sekarang, saya hanya
melaporkan bahwa saya lapar. Mau dikasih ayam kek, dikasih empal gentong kek,
atau hanya sayur-mayur, yaa. karena itu Tuhan yang memutuskan, saya pasti tak
akan kecewa. Yang penting kelaparan saya terbayar. Bukankah itu pesan
utamanya? Bukan soal ayam atau empal, kan?
Itu karena meminta dan
melaporkan adalah dua hal yang berbeda. Meminta itu mengharapkan kalau bisa
terjadi seperti yang diminta. Melaporkan itu tidak mengharapkan apa-apa.
Meminta itu tidak mengandung kepasrahan kepada yang dimintai, sedangkan
melapor itu memberi kesempatan yang dilaporkan berkuasa atas laporan itu.
Maka, kalimat penutup
macam "biarlah kehendak-Mu yang jadi" itu, menurut saya, akan cocok
sekali untuk doa yang isinya melaporkan, dan bukan yang minta secara detail.
Berdoa secara detail, menurut saya yang bodoh ini, adalah sebuah pengerdilan
atas kebesaran Tuhan.
La wong Tuhan itu tak
terbatas, meminjam istilah dalam doa wanita di atas, disebutkan Engkau yang
memiliki kehidupan. Nah, kalau demikian, kok dibatasi dengan permintaan
panjang lebar saya yang terbatas itu?
Berdoa itu seyogianya
supaya Tuhan berkuasa atas hidup saya seperti yang dikatakan dalam doa
penutup wanita di atas itu, dan bukan agar Tuhan tahu saya mau ini dan itu,
dan memenuhi yang ini dan yang itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar