Rabu, 02 September 2015

Ekonomi 2015 dan Krisis 1997

Ekonomi 2015 dan Krisis 1997

Anwar Nasution  ;  Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi UI
                                                     KOMPAS, 02 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Beberapa indikator, seperti nilai tukar rupiah yang terus melemah, meningkatnya suku bunga bank, menurunnya ekspor dan tingkat harga ekspor kita di pasar dunia, juga kegagalan panen di sentra produksi padi, sebenarnya sudah memberikan gambaran bahwa ekonomi Indonesia tengah menghadapi kesulitan.

Namun, seperti pemerintahan Soeharto pada 1997, pemerintahan Jokowi juga mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. Padahal, ekonomi sudah menunjukkan adanya empat bentuk gejolak eksternal yang mengancam. Namun, tidak ada kebijakan ataupun upaya pemerintah untuk mengatasinya. Pemerintah justru menghabiskan energi dan waktunya untuk cekcok sendiri.

Gejolak eksternal pertama berkaitan dengan berakhirnya boom komoditas primer mulai akhir tahun 2011. Sejak itu, baik permintaan maupun tingkat harga internasional hasil tambang, pertanian, dan perikanan terus merosot hingga saat ini.

Gejolak eksternal kedua berkaitan dengan kemungkinan peningkatan tingkat suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat, the Federal Reserve System. Berita akan adanya kenaikan tingkat suku bunga menyedot aliran modal, dari negara-negara membangun, kembali ke AS. Pada gilirannya, aliran balik dana ini telah meningkatkan suku bunga pinjaman pemerintah, dunia usaha, dan mengempaskan harga SBI, SUN, dan efek-efek yang diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta.

Gejolak eksternal ketiga adalah musim kering berkepanjangan yang menyebabkan gagal panen di sentra produksi beras.

Gejolak eksternal keempat adalah devaluasi mini renminbi (1,9 persen), mata uang Republik Rakyat Tiongkok. Koreksi kecil itu dipersepsikan masyarakat sebagai awal kembalinya perang mata uang. Padahal, bank sentral RRT berjanji menggunakan sistem devisa mengambang dan menyerahkan nilai tukar kepada pasar.

Alasan pertama pemerintah mengapa fundamental ekonomi kuat adalah karena indikator ekonomi makro masih baik hingga tahun 2014. Selalu disebut bahwa ekonomi Indonesia masih tumbuh 5 persen pada 2014 dengan tingkat laju inflasi 6,4 persen. Pada tahun itu, defisit APBN hanya 2,2 persen, di bawah maksimum 3 persen, sedangkan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) di bawah 30, jauh dari batas maksimum 60 persen. Defisit neraca berjalan hanya 3 persen dari PDB, jauh dari batas mencemaskan 8 persen.

Alasan kedua adalah perbankan sangat sehat dengan CAR tinggi dan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) rendah. Tidak dijelaskan CAR dan NPL itu diukur pada berapa tingkat harga komoditas primer, suku bunga, nilai tukar rupiah, ataupun pertumbuhan ekonomi.

Katanya OJK sudah melakukan stress test, tetapi tak pernah diumumkan asumsi ataupun metoda perhitungannya. Di tengah gejolak eksternal dan eksesnya, sulit membayangkan bagaimana nasabah kredit bank di sektor pertambangan, pertanian dan real estat, ataupun manufaktur bisa melunasi kredit tepat waktu.

Sebelum krisis tahun 1997, Bank Indonesia juga selalu mengatakan industri perbankan sehat, cukup modal, dan rasio kredit macet sangat kecil karena sebagian besar kredit bank adalah kredit program yang diasuransikan Askrindo. Sumber dana pun disediakan BI lewat kredit likuiditas. Namun, semua hanya ilusi karena pemeriksaan bank hanya memantau apakah kredit sudah disalurkan sesuai sasaran tanpa memperhitungkan delapan jenis risiko yang dihadapi. Pemeriksaan pembukuan bank pun banyak bohongnya sehingga harus diperiksa ulang kantor akuntan internasional pasca krisis.

Selain dari krisis perbankan, krisis ekonomi 1997 juga terjadi karena besarnya pinjaman luar negeri sektor korporat. Karena tak ada kewajiban melapor ke BI, tidak diketahui jumlah utang luar negeri swasta. Baru ketahuan ketika utang luar negeri harus diambil alih pemerintah.

Waktu itu, dunia usaha Indonesia merupakan sekelompok kecil kroni Orde Baru yang menerima limpahan privatisasi, berupa transfer monopoli dari sektor negara. Mereka menjadi pemilik proyek besar, seperti tol, pembangkit listrik, telepon, dan air minum. Karena tidak punya modal, para kroni itu meminjam kredit jangka pendek dalam mata uang asing dari bank di luar negeri.

Terjadilah dua bentuk kesalahan (the original sins). Kesalahan pertama adalah kredit jangka pendek untuk membelanjai proyek jangka panjang. Terjadilah kesenjangan jangka waktu (maturity mismatch). Kesalahan kedua, kredit dalam valuta asing untuk membiayai proyek dengan penerimaan rupiah. Terjadilah kesenjangan mata uang (currency mismatch).

Dewasa ini, pinjaman luar negeri sektor swasta menjadi lebih luas, termasuk sektor pertambangan, perkebunan, perikanan laut, real estat, perhubungan laut dan udara, serta industri pariwisata. Seperti di masa lalu, pengusaha Indonesia penggelap pajak memarkir uang hasil ekspornya di Singapura dan tidak pernah melaporkan pinjaman luar negerinya. Banyak penggelap pajak yang dibekingi pejabat.

Jalan keluar

Kebijakan pemerintahan Jokowi menggambarkan tidak ada ahli strategi ekonomi makro dalam pemerintahan. Koordinasi pun tidak ada karena kabinet terlalu bongsor organisasinya dan berantam melulu.

Penghapusan subsidi listrik dan BBM sudah tepat karena hanya dinikmati orang kaya dan mengalihkannya untuk pembangunan infrastruktur. Namun, program kesehatan melalui BPJS terlalu luas dan mahal sehingga akan membebani anggaran negara lebih besar daripada penghematan subsidi BBM dan listrik.

Program pemerintah Jokowi hanya terfokus pada percepatan pengeluaran APBN dan tidak menyentuh investasi modal swasta, peningkatan ekspor, dan pengeluaran konsumsi masyarakat. Perizinan usaha di tingkat pusat disederhanakan, tetapi di tingkat daerah belum berubah. Tingkat suku bunga di Indonesia tertinggi di ASEAN. BUMN Indonesia hanya jago kandang dan tidak mampu bersaing di pasar dunia. Larangan dan kuota impor semakin luas sehingga sistem perdagangan semakin restriktif dan inward-looking. Tidak ada perbaikan administrasi perpajakan untuk meningkatkan penerimaan.

Kemampuan departemen teknis dan pemda menghabiskan anggaran sangat terbatas. Setelah 15 tahun reformasi belum ada upaya meningkatkan kemampuan mereka melaksanakan ketiga UU Keuangan Negara tahun 2003 dan 2004. Ketiga UU itu menggunakan pembukuan modern dua sisi dengan sistem pelaporan terjadwal. Pemda tidak punya perencana dan aparat pewujud tanggung jawabnya: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Dalam jangka pendek, ekonomi Indonesia mengalami kesulitan likuiditas. Tidak punya cukup dollar untuk membelanjai transaksi dagang dan modal luar negerinya. Gubernur BI menyebut bahwa ia akan minta bantuan dari Jepang, RRT, dan Korea Selatan dengan fasilitas imbal beli (currency swap) dalam rangka Chiang Mai Initiative (CMI). Akan tetapi, kemampuan ketiga negara itu untuk memberikan bantuan sangat terbatas karena kesulitan ekonomi dalam negeri. Selain itu, meminta dana CMI dalam jumlah besar juga perlu restu IMF.

Keadaan ekonomi RRT sekarang kira-kira sama dengan AS 2008, yang dilanda krisis keuangan karena terlalu banyak kredit real estat. Untuk menghindari krisis 2008, RRT mengekspansi kredit bank untuk membangun infrastruktur dan real estat. Selama ini, mesin penggerak pertumbuhan ekonomi negara itu adalah ekspor dan investasi modal. Sekarang, banyak rumah dan kantor di RRT tanpa penghuni dan jalan raya tanpa mobil. Akibatnya, sistem perbankan rapuh dan pasar modalnya anjlok. Belakangan ini RRT menurunkan tingkat suku bunga kredit bank untuk memacu konsumsi masyarakat sebagai penggerak ekonomi.

Negara yang punya uang saat ini adalah AS. Mampukah Presiden Jokowi meyakinkan AS dan negara donor lain untuk memberikan pinjaman lunak dan hibah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar