Izin Pemeriksaan Anggota Legislatif
Emerson Yuntho ;
Anggota Badan Pekerja ICW
|
KOMPAS,
29 September 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI,
SELASA — (22/9), memutuskan keharusan adanya izin dari presiden apabila
penegak hukum ingin melakukan pemeriksaan terhadap anggota DPR.
Putusan MK lahir
setelah adanya permohonan pengujian Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pasal ini mengatur,
pemanggilan dan permintaan keterangan oleh penyidik terhadap anggota DPR yang
melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD). Dalam amar putusan, Hakim Konstitusi menyatakan,
frasa ”persetujuan tertulis dari MKD” diubah menjadi frasa baru ”persetujuan
tertulis dari presiden”.
Tidak saja anggota
DPR, dalam putusannya MK juga menyatakan, untuk memeriksa anggota DPD dan
MPR, penyidik harus dapat izin pemeriksaan dari presiden. Sementara izin
pemeriksaan anggota DPRD provinsi harus dikeluarkan menteri dalam negeri dan
izin pemeriksaan anggota DPRD kabupaten/kota dikeluarkan gubernur. Dalam
pertimbangannya, MK menyatakan, adanya izin itu dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan hukum memadai dan bersifat khusus bagi anggota legislatif dalam
melaksanakan fungsi dan hak konstitusionalnya.
Enam hal
Terdapat sedikitnya
enam hal yang penting dicermati setelah putusan MK tentang keharusan izin
untuk memeriksa anggota legislatif yang tersangkut masalah hukum.Pertama, MK
dapat dinilai tak konsisten karena bertentangan dengan putusan sebelumnya
yang juga berkaitan dengan izin pemeriksaan. Pada 26 September 2012, MK
membatalkan ketentuan yang mengharuskan adanya izin dari presiden untuk
memeriksa kepala daerah.
MK menyatakan,
sepanjang masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, penegak hukum dapat
langsung memeriksa kepala daerah tanpa meminta izin presiden selaku kepala
negara. MK juga beralasan, izin presiden pada tahap penyelidikan dan
penyidikan berpotensi menghambat proses hukum dan secara tak langsung
mengintervensi sistem penegakan keadilan. Persetujuan tertulis presiden untuk
memeriksa kepala daerah dinilai tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup.
Pasalnya, sebagai subyek hukum, kepala daerah pun harus mendapat perlakuan
yang sama di hadapan hukum.
Kedua, berpotensi menghambat
penegakan hukum, termasuk upaya pemberantasan korupsi yang melibatkan anggota
legislatif. Pada praktiknya, anggota legislatif, baik di tingkat pusat maupun
di daerah, merupakan salah satu pelaku korupsi yang banyak diproses oleh
penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan
Korupsi. Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sepuluh tahun
terakhir, terdapat sedikitnya 60 anggota DPR yang diproses secara hukum
karena terlibat perkara korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri tahun 2014
menyebutkan, terdapat 3.169 anggota DPRD se-Indonesia yang tersangkut perkara
korupsi selama kurun waktu 2004-2014.
Ketiga, keharusan
adanya izin dari presiden akan menambah masalah birokrasi. Belajar dari
pengalaman sebelumnya ketika penyidik harus mendapatkan izin dari presiden
untuk memeriksa kepala daerah, prosesnya harus melalui birokrasi yang cukup
panjang. Misalnya, penyidik kejaksaan negeri ingin memeriksa kepala daerah
yang tersangkut korupsi. Prosesnya, permintaan izin tak bisa langsung
diajukan oleh kejaksaan negeri kepada presiden, tetapi harus melalui tahapan,
antara lain, melalui kejaksaan tinggi, Kejaksaan Agung, lalu ke Sekretariat
Negara dan kemudian baru diterima presiden. Artinya, jika ada keharusan izin,
butuh waktu cukup lama bagi penegak hukum untuk memeriksa seorang pejabat
publik.
Akibat proses
birokrasi yang rumit, dalam catatan ICW, pada 2011, penuntasan sedikitnya 30
perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah terhambat hanya karena menunggu
persetujuan presiden.
Persoalan hukum baru
Keempat, berpotensi
menimbulkan persoalan hukum baru. Putusan MK hanya menyatakan, pemeriksaan
anggota legislatif harus seizin pihak eksekutif, tetapi menjadi persoalan
apabila izin tertulis dari pihak eksekutif tak juga dikeluarkan meski sudah
diajukan oleh penegak hukum. Muncul pertanyaan, apakah proses hukum terhadap
anggota legislatif tetap dapat dilanjutkan ataukah harus dihentikan. Tidak
juga disebutkan berapa lama pengajuan izin pemeriksaan harus segera
diputuskan oleh pihak eksekutif. Hal ini berpotensi menimbulkan kemacetan
ataupun intervensi terhadap penegakan hukum yang sedang berjalan.
Kelima, diskresi
pemberian izin untuk pemeriksaan anggota Dewan akan sangat mungkin
dipolitisasi atau disalahgunakan oleh pihak eksekutif. Secara tak langsung
pihak eksekutif, yaitu presiden, mendagri, dan kepala daerah, yang berkuasa
saat ini memiliki latar belakang kader parpol tertentu. Jika disalahgunakan,
izin pemeriksaan anggota Dewan yang dianggap sebagai oposisi dari pihak
eksekutif akan lebih cepat keluar jika dibandingkan anggota Dewan yang pro
eksekutif yang berkuasa.
Keenam, tugas
memberikan izin pemeriksaan kenyataannya akan menambah beban pihak eksekutif,
dalam hal ini presiden, mendagri, dan gubernur. Padahal, tugas yang dimandatkan
oleh konstitusi ataupun UU juga belum tentu sepenuhnya dapat terlaksana
dengan baik, apalagi ditambah dengan tugas baru soal pemberian izin.
Lepas dari sejumlah
polemik yang ada, putusan MK soal izin pemeriksaan anggota legislatif adalah
sebuah realitas hukum yang harus dihadapi. Tak ada upaya hukum banding atas
putusan itu karena, menurut hukum, putusan MK bersifat final dan
mengikat.Selain mendorong revisi UU MD3, solusi sementara yang dapat
dilakukan adalah Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan kebijakan dalam
bentuk instruksi presiden untuk percepatan pemberian izin pemeriksaan
terhadap anggota legislatif yang tersangkut masalah hukum. Jika dalam 30 hari
belum keluar izin pemeriksaan dari pejabat yang berwenang, penegak hukum
dapat langsung memproses anggota legislatif tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar