Modalitas Pendidikan Nilai
Haryatmoko ;
Mengajar di Universitas Sanata
Dharma dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
30 September 2015
Pendidikan nilai bukan
hanya masalah tahu tentang ”apa yang baik”. Orang mengira ”mengetahui”
seakanakan sama dengan ”sudah melakukan”. Padahal, masih ada jarak antara
”tahu” dan ”tindakan”. Arah pendidikan nilai seharusnya fokus pada modalitas,
yaitu bagaimana menjembatani agar nilai-nilai menjadi tindakan nyata.
Nilai dianggap sesuatu
yang berharga bagi suatu kelompok masyarakat yang berupa standar perilaku
atau dasar moral untuk mengarahkan dan evaluasi tindakan (Kolthoff, 2007:
39). Nilai-nilai membentuk orang berkarakter: komitmen, jujur, kompeten,
terbuka, jiwa pelayanan, belarasa, dan pengorbanan. Pendidikan nilai tidak
lepas dari pembentukan habitus, yaitu melalui pelatihan, pembiasaan,
pengalaman, dan perjumpaan.
Perubahan habitus
hanya mungkin bila mampu mengurai simpul-simpulnya: menghadapi peserta didik
yang mencontek, ubah sistem menjadi ujian lisan; menghadapi
ketidakadilan/diskriminasi, buat prosedur yang sifatnya mengawasi.
Perubahan harus
didukung fasilitas, contoh supaya orang mau antre, saat giliran tiba wajib
menunjukkan nomor urut; supaya orang tumbuh rasa memiliki, sistem kepemilikan
diubah. Jadi, perubahan sikap/perilaku sulit terjadi kalau hanya mengandalkan
nasihat, khotbah, atau ajaran. Perhatian utama pendidikan nilai fokus pada
menyediakan modalitas yang menjembatani norma moral dan tindakan faktual.
Pembentukan karakter
Karakter pertama-tama
dibentuk bukan dari ”tahu”, melainkan dari tiga prinsip ini: pertama, oleh
apa yang kita lakukan, bukan oleh apa yang kita katakan atau ketahui; kedua,
setiap pilihan/keputusan bertindak mengarahkan akan menjadi orang semacam apa
diri kita; ketiga, karakter lahir dari keberanian bertindak tepat meski
menyadari penuh risiko.
Tiga prinsip ini
sebetulnya adalah saran untuk mengusahakan internalisasi nilai: kalau mau
efektif harus terlibat dalam kegiatan. Keterlibatan membawa pengalaman,
perjumpaan, dan pembiasaan melalui live-in atau pelayanan masyarakat.
Dengan prioritas
”melakukan” atau ”bertindak”, nilai-nilai yang dipraktikkan atau bentuk moral
yang dibatinkan bisa lebih efektif mengatur perilaku sehari-hari untuk
membentuk etos. Etos menandai karakter seseorang atau kelompok masyarakat.
Karakter mewujud dalam sifat kepribadian yang memengaruhi kemampuan
bertindak/bersikap sejalan dengan tanggung jawab moral.
Ada lima pilar
pendidikan karakter (bdk Berkowitz, 2002: 83) yang memengaruhi pembentukan
atau perubahan habitus. Pembahasan kelima pilar di bawah ini memperhitungkan
simpul-simpul habitus atau modalitas perubahan.
Pertama, pendidikan
etika. Tujuannya melengkapi peserta didik dengan pengetahuan, kemampuan mempertanyakan
dan menalar agar mengembangkan sistem nilai dan bertanggung jawab atas
keputusannya. Kematangan penalaran moral perlu dilatih melalui diskusi
pemecahan kasus-kasus dilema moral dan manajemen nilai. Dalam diskusi ada
penajaman konsep, pengayaan kategori dan pembiasaan menerima beragam
pemikiran.
Perkembangan kesadaran
moral tumbuh bukan hanya melalui informasi/pengetahuan, melainkan dengan
pengalaman dan perjumpaan: melibatkan aktivitas live-in di keluarga miskin,
di keluarga berbeda agama, atau tinggal di pesantren bagi non-Muslim. Ketika
membahas masalah jender, siswa diminta mengunjungi penjara perempuan, korban
pelecehan, wawancara korban KDRT.
Kedua, penjabaran
karakter dalam proses belajar-mengajar dengan memberdayakan peran para
pemangku kepentingan (pendidik, orangtua, yayasan, pejabat) melalui kesaksian
hidup pribadi dan praktik kelembagaan dalam menghayati core values, kode etik dan aturan sekolah.
Menurut Bourdieu,
penyampaian nilai-nilai paling efektif justru secara tersirat, yaitu melalui
teladan dan suasana kondusif. Maka, perlu memperhatikan bagaimana peserta
didik diperlakukan terutama oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan langsung
dengan peserta didik. Apakah peserta didik merasa diperlakukan secara baik,
dihormati, bukan diabaikan atau merasa di-bully?
Cara pendidik atau para pemangku bertanggung jawab memperlakukan orang lain
juga memengaruhi sikap peserta didik. Maka, peserta didik perlu dibantu
mengalami bahwa sekolah adalah tempat untuk mengembangkan diri, bukan
sebaliknya, dianggap meracuni atau menghambat secara psikologis.
Untuk menciptakan
suasana kondusif, kompetensi pedagogis pendidik berperan mendorong untuk
belajar dua hal (R Fisher, 2005: 510). Pertama, mengeksplorasi
masalah-masalah keprihatinan pribadi seperti cinta, persahabatan, konflik,
dan fairness; masalah hubungan diri-sosial seperti identitas, mendorong
perilaku adil, menerima perbedaan; kedua, mengembangkan gagasan sendiri,
mengeksplorasi dan menantang gagasan pihak lain, bisa jelas dan runtut dalam
berpikir serta membuat pertimbangan dengan penalaran jernih. Dengan demikian,
di sekolah, peserta didik bisa tenang berpikir dan meningkatkan kesadaran
moral. Model pendidikan ini membantu peserta didik lebih terbuka dan terampil
dalam komunikasi sehingga mampu menghindari tindak kekerasan.
Ketiga, sekolah
merumuskan karakter yang diharapkan melalui perwakilan semua pemangku
tanggung jawab. Sekolah bisa menuntut peserta didik mencapai karakter khas,
misalnya tajam dalam kompetensi (competence),
suara hati yang jernih (conscience),
dan hasrat belarasa (compassion).
Penguasaan pengetahuan
Kompetensi menuntut
penguasaan pengetahuan. Ini mungkin bila tumbuh minat membaca dan kemampuan
mengerti apa yang dibaca yang kelihatan dari keterampilan mengungkapkan diri
secara lisan dan tertulis. Keterampilan ini membantu mengemukakan gagasan
secara teratur dan logis sehingga tumbuh rasa percaya diri untuk belajar
secara sistematis apa yang dilakukan. Lalu mulai terbiasa membuat studi
terbatas untuk membentuk pendapat sendiri.
Suara hati tumbuh
dengan mengembangkan nalar moral: kemampuan untuk menalar hal yang
baik/jahat, benar/salah sehingga memungkinkan mengambil keputusan melalui
penilaian moral yang matang. Suara hati mendorong hasrat belarasa.
Hasrat belarasa
membuka kepedulian untuk bisa mengenali dan menjelaskan masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat, lalu berusaha menghasilkan jawaban-jawaban. Dengan
demikian, pendidikan tidak mengakibatkan peserta didik terasing dari cara
hidup orang-orang di lingkungannya yang berpendapatan lebih rendah.
Beberapa tuntutan di
atas bisa dipenuhi bila kurikulum didesain untuk menjawab kebutuhan itu dan
sekolah membuka kesempatan peserta didik untuk terlibat kerja relawan.
Banyaknya jam kerja relawan menjadi poin untuk diterima di jenjang pendidikan
lebih tinggi. Ada beragam bentuk kerja relawan: kerja untuk kepentingan umum
(bangunan publik, taman publik, lapangan, hutan); demi penerimaan pluralitas
(aktivitas lintas agama, rumah ibadat, membantu kegiatan agama lain); dan
kepedulian kepada yang lemah, seperti orang miskin, lansia, atau korban
bencana alam. Dengan terlibat, jiwa pelayanan akan tumbuh.
Kepedulian sosial itu
bisa berubah menjadi tanggung jawab politik. Caranya, peserta didik
dilibatkan secara aktif dalam membuat program Kartu Pelaporan Warganegara
(KPW) sebagai alat umpan balik terhadap pejabat publik (Sampford, 2006: 235).
KPW berisi laporan
tentang akses ke pelayanan publik, kualitasnya, masalah yang dihadapi
konsumen, responsif/tidaknya pelayan publik. Dari KPW akan tersingkap standar
kualitas pelayanan publik, biaya yang harus dibayar, termasuk ongkos yang
disembunyikan seperti suap. Model pendidikan nilai seperti ini membuat
peserta didik peduli kebutuhan sesama dan menjadi warganegara kompeten.
Keempat, pewujudan
karakter melalui keterampilan bidang khusus (seni, olahraga, organisasi)
melalui partisipasi kegiatan di luar sekolah. Model pendidikan melalui
kegiatan nyata ini adalah proses internalisasi nilai-nilai secara intensif
yang sekaligus menjadi forum perjumpaan dengan yang berbeda agama atau etnis.
Dari proses pelaksanaan kegiatan terungkap kedisiplinan, ketekunan, komitmen,
kejujuran.
Kelima, analogi
permainan melalui pendidikan sastra. Sastra membuka kemungkinan peserta didik
untuk berubah yang tidak dimungkinkan oleh visi yang melulu moral. Sastra
mendorong tumbuhnya inisiatif dan kreativitas karena peserta didik dibebaskan
dari ketakutan akan norma sosial dan sanksi sosial.
Dalam kebebasan,
nampak fenomena dasariah, proses lahirnya kreativitas: pertama-tama dalam
imajinasi terbentuk ”ada baru” dan bukan dalam kehendak. Imajinasi mendahului
kehendak. Dalam sastra, ada paradigma kehidupan yang memungkinkan mengasah
budaya dialog. Sastra dengan paradigmanya memberi kearifan untuk memahami
realitas dan membangun kehalusan budi karena sastra tak menggurui, tapi
menawarkan norma dan model kehidupan. Melalui kisah, pembaca bisa
menyimpulkan.
Kisah mendorong untuk
bertindak karena dengan meniru suatu model dibangun jembatan antara pikiran
dan praksis. Proses pertemuan antara dunia yang disarankan teks dan dunia
konkret pembaca memungkinkan transformasi diri, yaitu ketika teks mengubah
pembaca sehingga bisa memahami diri secara lebih baik. Sastra merupakan
cermin atau kendaraan wawasan, visi dan kedalaman perenungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar