Relevansi RUU Kamnas
Adrianus Meliala ;
Kriminolog FISIP UI;
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional
|
KOMPAS,
26 September 2015
Pembahasan RUU
Keamanan Nasional termasuk yang paling lama, paling melelahkan, dan mungkin
paling mahal ongkos politiknya. Padahal, baru sampai tingkat pemerintah.
Ada dua penyebab
utama. Pertama, ketidaksamaan cara pandang instansi terkait tentang konsepsi
”keamanan”. Kedua, kekhawatiran RUU ini jadi jalan masuk bagi kembalinya elan
militer yang terlalu jauh mengurusi masalah sosial-politik seperti pernah
terjadi di era Orde Baru. Pada versi terakhir, RUU ini konon masih ada
pasal-pasal yang mengindikasikan bakal kembalinya elan militer tersebut.
Sementara upaya
memasukkan RUU Kamnas dalam pembahasan ke DPR terus dilakukan, demikian pula
upaya untuk menolaknya, lembaga-lembaga yang tergabung dalam sektor keamanan
di Indonesia berjalan terus seperti biasa. Lembaga-lembaga itu memang tidak
membentuk diri menjadi, atau berperan membentuk sistem keamanan, tetapi toh bekerja.
Tak seperti RUU
Kamnas, UU yang mirip fungsinya justru bisa lolos dari DPR, yakni UU
Penanganan Konflik Sosial. Setelah dua tahun disahkan, UU ini toh tak atau
belum pernah dipakai mengatasi konflik sosial itu sendiri. Jadi, secara
kebutuhan, tampaknya tidak atau belum ada masalah yang membutuhkan RUU
Kamnas. Belum terbukti Indonesia akan lebih buruk (apalagi lebih baik) dengan
RUU ini.
Tunggal atau bauran
Berdasarkan situasi di
atas, kita tampaknya harus menerima kenyataan bahwa model tunggal (unified model) dalam rangka keamanan
di Indonesia sulit untuk diberlakukan. Dimulai dari peran Presiden dan Dewan
Keamanan Nasional yang kemudian membagi-bagi peran berbagai lembaga di
bawahnya, model keamanan ini kemudian menciptakan sistem yang khusus sebagaimana
terdapat pula dalam bidang hukum, ekonomi, atau politik.
Model ini juga
mensyaratkan ketentuan bahwa ada UU payung dan di bawahnya terdapat berbagai
UU teknis. Demikian pula terdapat pembagian antara yang bertanggung jawab
mengurusi keamanan domestik dan keamanan lebih luas. Sekali lagi,
kelihatannya model itu tak diminati instansi-instansi di sektor ini.
Sebaliknya, kita harus
mulai membiasakan bahwa model bauran (mixed
model) adalah yang hidup (dan bisa hidup) di Indonesia. Inilah model
dengan perspektif hukum berdampingan dengan perspektif militer, intelijen,
ataupun perspektif polisi pamong praja. Semua berjalan sendiri-sendiri dan
tidak bergesekan karena bekerjanya mekanisme informal (seperti hubungan baik
antarpimpinan, kemampuan menahan diri yang tinggi antarpimpinan), atau
kuatnya orientasi akan ”bahaya bersama” (common
enemy) yang menyatukan orang.
Berbagai lembaga yang
berada dalam sektor keamanan ini sudah terlalu besar dan mengakar untuk
ditata ulang, sebagaimana menjadi harapan RUU Kamnas. Karena besar dan
mengakar, pasti timbul kepentingan sektoral. Situasi di atas tidak efisien,
memang. Namun, harmoni toh tercipta. Masih terkait model bauran, masyarakat
Indonesia semakin memahami, perspektif hukum adalah yang terkuat dan kemudian
didampingi perspektif lain-lain. Kegiatan penegakan hukum oleh lembaga
penegak hukum dalam rangka menciptakan keamanan sudah diterima sebagai
”bahasa” yang nyaman oleh masyarakat Indonesia dan dunia. Mengapa demikian?
Ini tampaknya sejalan
dengan mutu kehidupan demokrasi di Indonesia dan dunia. Semakin baik
demokrasi, semakin baik pula penegakan hukumnya. Masalah keamanan, demikian
pula pertahanan, dianggap hal yang juga harus ditangani secara demokratis,
dengan instansi-instansi terkait harus menjalankan rule of law sebaik-baiknya.
Demokrasi dan hukum di
Indonesia kemudian berkelindan dengan konsep tata kelola yang baik (good governance), yang juga telah
mulai dipraktikkan sejak satu dekade lalu. Pemerintahan yang baik tak
otomatis dikatakan menjalankan good
governance mengingat terdapat persyaratan yang lebih banyak dan harus
dipenuhi oleh suatu pemerintahan guna menjadi good and clean government. Persyaratan itu antara lain anti
korupsi, anti diskriminasi, perlakuan sama, efisiensi dan efektivitas,
demokratis, akuntabilitas, dan menghormati HAM.
Persyaratan-persyaratan
itu kemudian dimanifestasikan dalam praktik tata negara dengan, sebagai
contoh, instansi represif pemegang senjata harus tunduk dan patuh pada
perintah otoritas sipil yang dipilih berdasarkan hasil pemilu sah. Tata
kelola dalam pemerintahan juga diperlihatkan dalam hal terbaginya kekuasaan
politik, kekuasaan hukum, dan kekuasaan perwakilan politik. Jika kelak
terwujud, seyogianya Dewan Keamanan tak mengubah konstelasi tata kelola
tersebut.
Kesulitan kepolisian
Untuk kepolisian,
situasinya kian sulit mengingat dimilikinya ”dua kaki”, yakni sebagai penegak
hukum serta pemelihara keamanan dan ketertiban. Berbeda dengan tugas
pemeliharaan keamanan yang hingga kini tak memiliki sistem, sistem peradilan
pidana (sebagai bagian dari sistem hukum) termasuk yang terkuat, tetapi juga
(anehnya) paling mudah diintervensi (mengingat kewenangannya yang mengurusi
”nasib” orang).
Maka, membiarkan
kepolisian hanya mengurusi satu kaki saja tentu tak bijak. Dalam hal ini,
memang kelihatannya ada yang belum selesai terkait kepolisian yang
strukturnya masih di bawah Presiden secara langsung. Saat kepolisian tak happy di bawah kementerian tertentu,
lalu mau di bawah apa? Modalitas kewenangan Komisi Kepolisian Nasional tak
cukup kuat untuk ”mengatasi” kepolisian selain juga karena ketidakmauan
kepolisian sendiri. Perlu dipikirkan solusi bahwa RUU Kamnas tak perlu ada
sepanjang fungsi representasi kepolisian dibenahi.
Apabila Polri tak
menghendaki berada di bawah kementerian, bisa diusulkan memperkuat Komisi
Kepolisian Nasional sebagai buffer
politik Polri. Juga bisa tetap dibentuk Dewan Keamanan Nasional dengan
berlandaskan peraturan presiden yang mengacu pada UU yang menyebutkan hal
itu, tetapi berlaku untuk hal-hal khusus saja. Sementara pada kondisi biasa
(kondisi tertib sipil), UU pada umumnyalah yang berlaku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar