Hukum Bukan Sekadar Ilmu, tapi Juga Gerakan
Moh. Mahfud MD ;
Guru Besar Fakultas Hukum UII Jogjakarta;
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
|
JAWA
POS, 26 September 2015
RABU tengah hari, tiga hari yang lalu (23/9),
saya baru mendarat di Kuala Lumpur, Malaysia. Saya berada di sana untuk
memenuhi janji menyampaikan khotbah Idul Adha di KBRI keesokan harinya. Di
sana saya sekaligus berbicara tentang ”Islam dan Kebangsaan” dengan warga NU
dan komunitas Gusdurian yang menggelar acara diskusi di Universitas Islam
Antarbangsa Malaysia.
Saat makan siang, Duta Besar Indonesia di
Kuala Lumpur Herman Prayitno menyampaikan berita duka itu. ”Adnan Buyung
Nasution wafat, Pak,” katanya. Inna
lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Sehebat apa pun manusia, setinggi apa pun
kedudukannya, sebanyak apa pun kekayaannya, akhirnya akan kembali kepada-Nya.
Adnan Buyung Nasution atau akrab disapa Bang Buyung sudah kembali kepada-Nya.
Bang Buyung kini tinggal menjadi kenangan indah bagi dunia penegakan hukum di
negeri ini.
Saya mengenal nama Bang Buyung sejak masih
menjadi mahasiswa tingkat sarjana muda (tingkat III) pada awal 1980-an.
Namanya begitu moncer di seantero Indonesia sebagai advokat dan perannya
sebagai pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang penuh idealisme itu.
Bang Buyung menyadarkan kita bahwa Indonesia
ini membutuhkan banyak advokat atau pengacara yang berintegritas dan
profesional. Sebab, banyak orang miskin yang diperlakukan sewenang-wenang dan
disiksa tanpa mendapat pembelaan hukum.
Bang Buyung mengajarkan, hukum bukan sekadar
pasal-pasal dan cara menafsirkannya agar sinkron secara horizontal dan
vertikal. Di balik halhal yang teknis-prosedural seperti itu, ada yang lebih
penting: keadilan sebagai sukma hukum. Hukum tidak bertumpu pada otak atau
logika semata, tapi juga pada bisikan hati nurani agar hukum bisa ditegakkan
sesuai dengan sukmanya, yaitu keadilan.
Tanpa menjadi dosen resmi, saat itu Bang
Buyung telah mengajari para pelajar bidang hukum bahwa hukum itu bukan
sekadar ilmu, tapi juga gerakan. Gerakan membela kaum yang lemah. Gerakan
menegakkan keadilan.
Melalui berbagai kegiatannya, Bang Buyung
telah melahirkan banyak pejuang penegak hukum, bukan hanya para pembelajar
hukum sebagai ilmu. Dia berkeliling ke berbagai tempat untuk mengampanyekan
gerakannya dalam penegakan hukum dan keadilan. Dari binaannyalah lahir
tokoh-tokoh pejuang hukum di berbagai tempat.
Di Jakarta, misalnya, ada nama Todung Mulya
Lubis dan Abdul Rahman Saleh. Di Jogjakarta ada nama Artidjo Alkostar, Dahlan
Thaib, Kamal Firdauz, dan Henry Yosodiningrat. Di Jawa Timur ada nama Zaidun,
Munir, dan lain-lain. Otto Hasibuan dan Bambang Widjojanto juga jebolan LBH
hasil besutan Bang Buyung.
Bang Buyung juga mampu memancing orang dari
luar fakultas hukum untuk menjadi pejuang-pejuang hukum. Sebutlah Mulyana W.
Kusumah yang orang FISIP UI, Hendardi yang lulusan ITB, atau Teten Masduki
yang lulusan IKIP. Pasca peluncuran LBH pada 1979/1980 oleh Bang Buyung,
dunia penegakan hukum di Indonesia menjadi meriah.
Di kampus-kampus banyak mahasiswa yang mengidolakan
dan ingin menjadi advokat seperti Bang Buyung. Kalau Bang Buyung hadir dalam
sidang atau berdiskusi di kampus, banyak mahasiswa yang histeris
mengelu-elukannya. Seruannya selalu konsisten, ”Kalian harus berjuang
menegakkan hukum dan keadilan. Negara kita ini negara hukum.”
Pada awal 1980-an saya termasuk salah seorang
yang sering mengejar acara-acara Bang Buyung. Penampilannya selalu memukau.
Logikanya bagus. Sikapnya tegas, bahkan terkesan garang.
Seusai kuliah, saya sering diundang dalam acara-acara
penting Bang Buyung, baik acara temu ilmiah maupun acara keluarga. Saya juga
selalu diundang pada hari ulang tahunnya. Bahkan diundang untuk berbicara
atau memberikan sambutan dalam acaraacara penting yang diadakannya. Karena
rasa hormat saya pula, saya menyempatkan diri hadir saat Bang Buyung
dikukuhkan sebagai guru besar pada Melbourne Law School, The University of
Melbourne, Australia.
Meski begitu, saya juga sering mengkritik Bang
Buyung, baik langsung maupun melalui SMS. Bahkan juga menulis di koran. Saat
dia membela terdakwa korupsi, saya kritik dia dengan mengingatkan bahwa dia
mengajari kita untuk menegakkan keadilan. Dia menjawab, ”Saya tak pernah
membela kejahatan atau korupsinya. Saya membela hakhaknya agar tidak
diperlakukan sewenang-wenang.”
Dulu Bang Buyung memanggil saya dengan nama
saya saja, Mahfud. Tapi, sesudah saya menjadi menteri, sejak 2000-an dia
memanggil saya ”adik” atau ”dinda”. Meski begitu, dia selalu korek dan
bersikap sebagai profesional sejati. Ketika menangani perkara di Mahkamah
Konstitusi dan saya yang memimpin sidang, Bang Buyung tetap berlaku hormat
terhadap pengadilan.
Setiap diberi kesempatan berbicara, Bang
Buyung selalu berdiri dengan penuh hormat, memulai pembicaraan dengan
membungkuk hormat, dan mengakhirinya dengan membungkuk pula. Saya yang kalau
bertemu dengannya di luar sidang biasanya dipanggil ”Mahfud” atau ”adik”
saja, di dalam sidang Bang Buyung memanggil saya ”yang mulia” dengan serius,
tanpa dibuat-buat.
Sebenarnya, sebelum terbang ke Malaysia, saya
sudah berjanji dengan Todung Mulya Lubis untuk bertemu dengan Bang Buyung.
Bang Buyung sudah mengiyakan. Tapi, Allah telah memanggilnya sebelum
pertemuan itu berlangsung. Selamat jalan, Bang Buyung. Sejarah dunia
penegakan hukum akan mencatat nama Abang dengan tinta emasnya.
Beristirahatlah di sana dengan tenang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar