Sumbangan Pendidikan untuk Perdamaian Dunia
Titik Firawati ; Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional
dan Magister Perdamaian dan
Resolusi Konflik UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 21 September 2015
APA sumbangan pendidikan Indonesia untuk
perdamaian dunia? Jawabannya ialah sumbangan mencetak calon pemimpin dunia
yang problem solver. Hasrat itu
akan terwujud jika pendidikan dalam praktik dan teorinya mengutamakan arti
penting pemecahan masalah. Resolusi konflik bermula dari pendidikan.
Memandang suatu masalah sebagai masalah dan menanganinya hingga ke akar
itulah makna resolusi konflik, atau yang biasa kita dengar dengan istilah
pemecahan masalah (problem solving).
Dunia yang aman dan damai bergantung pada pemimpin-pemimpin yang berkehendak
sebagai problem solver.
Sayangnya,
kini tidak banyak pemimpin yang seperti itu.
Potret Aylan Kurdi membuktikan, untuk ke
sekian kalinya, para pemimpin dunia telah gagal dalam mengatasi masalah.Anak
Suriah berusia tiga tahun itu ditemukan di tepi Pantai Turki di tengah-tengah
perjuangannya bersama ayah, ibu, dan seorang saudaranya mencapai Pulau Kos,
Yunani. Semuanya tewas, kecuali sang ayah. Potretnya menggemparkan dunia,
tertelungkup lengkap dengan baju dan sepatu yang masih melekat di badannya
seperti sedang tertidur pulas, tapi ternyata sudah tak bernapas.
Kematian Aylan Kurdi ialah potret abadi
penderitaan manusia yang, selain para pemimpin, kita turut andil di dalamnya.
Kita sudah mendengar sejumlah warga negara Indonesia yang ‘berjihad’ bersama Islamic State (IS). Suara lantang dari
Indonesia menentang intervensi militer AS bersama sekutu terhadap IS juga
tidak terdengar. Lantas, apa upaya fundamental yang sudah kita desakkan untuk
menghentikan kekerasan yang ada?
Niat IS dan AS bersama sekutunya
berbeda,—-yang satu ingin mendirikan negara Islam dan satunya menciptakan
keamanan dan perdamaian-tapi kelakuan keduanya sama-sama menggelorakan
kekerasan yang justru memperumit masalah yang ada. Kini, beberapa negara
Eropa dipusingkan dengan masalah pengungsi.
Prinsip resolusi
konflik
Gagasan pentingnya pemecahan masalah terdengar
utopis, teoretis, normatif, rumit, atau lama. Yang justru dibutuhkan sekarang
ialah aksi nyata dan hasil cepat. Namun, bukannya yang utopis, teoretis, normatif,
rumit, atau lama yang justru selama ini mungkin kita abaikan sehingga tragedi
Aylan Kurdi terjadi. Intervensi militer AS, misalnya, merupakan contoh
konkret bentuk pengabaian tersebut. Malah, aksi nyata dan hasil cepat itu
gagal menyelesaikan masalah. Dengan demikian, resolusi konflik bisa dihadirkan
sebagai prinsip hidup sekaligus alternatif solusi yang betul-betul
dibutuhkan.
Meminjam ide revolusioner John Burton tentang
prinsip resolusi konflik, yaitu “Conflict
will have to be defi ned as a problem to be resolved rather than a situation
in which behaviours have to be controlled”. (Konflik harus diartikan sebagai sebuah masalah untuk diselesaikan
daripada sebuah situasi ketika perilaku harus dikontrol).
Ide revolusioner ini sebetulnya kritik Burton
terhadap orang-orang realis yang menurutnya melihat masalah sebagai agresi
(lawan) sehingga menanganinya dengan agresi pula.
Pandangan Burton sejalan dengan William W
Wilmot dan Joyce L Hocker, keduanya pakar konfl ik di level antarpribadi.
Mereka mengatakan, “When conflict is
viewed as a problem to be solved instead of a battle to be won or interaction
to be avoided, creative solutions can be found.” (Ketika konflik dipandang sebagai sebuah masalah untuk diselesaikan
daripada perkelahian untuk dimenangkan atau interaksi untuk dihindari,
solusi-solusi kreatif akan ditemukan).
Dalam konteks problem solving ala Burtonian, salah satu petunjuk mengatasi
masalah pengungsi di atas ialah meninjau kembali apa kebutuhan dasar manusia
(human needs) yang diabaikan di
Suriah sehingga negara-negara di Eropa harus mengalami ‘darurat pengungsi’.
Pendidikan dan
resolusi konflik
Karena dihadapkan pada salah satu contoh
persoalan dunia tersebut dan persoalanpersoalan kekerasan lainnya di Tanah
Air, pengetahuan dan keterampilan dalam mengasah kemampuan memecahkan masalah
menjadi penting. Pendidikan dasar dan menengah perlu (dan memang pada
esensinya) disiapkan sebagai lahan untuk menyemai bibit-bibit pembiasaan
memecahkan suatu masalah agar di kemudian hari seseorang terbiasa mendudukkan
masalah sebagai masalah, bukan demi prinsip ‘kekalahanmu ialah kemenanganku’,
dan menyelesaikan masalah dengan cara-cara kreatif. Pendidikan di Indonesia
sudah waktunya menghasilkan pemimpin-pemimpin dunia yang berkehendak sebagai
problem solver.
Jika dikaitkan dengan proses belajar-mengajar,
pembiasaan problem solving bisa dimulai di kelas baik antara guru dengan
murid maupun murid dengan murid yang dipandu guru. Untuk mewujudkan
pembiasaan itu, menurut Matthew McKay, sarjana komunikasi, diperlu kan
pendekatan komunikasi yang bersifat kooperatif daripada otoriter atau
permisif. Kooperatif maksudnya kekuasaan terletak pada orang dewasa (dalam
hal ini guru) dan anak (murid), sedangkan otoriter kekuasaan terletak pada
guru dan permisif kekuasaan terletak pada murid.
Masih menurut McKay, langkah-langkah yang
biasa diterapkan dalam rangka memecahkan masalah secara berurutan ialah
mengidentifi kasi dan mendefi nisikan masalah yang ada, menghasilkan
kemungkinan-kemungkinan solusi, mengevaluasi baik dan buruknya setiap
kemungkinan solusi tersebut, memilih solusi terbaik, menerapkan solusi yang
sudah dipilih, dan mengevaluasi hasil dari solusi yang sudah diputuskan.
Dengan menggunakan komunikasi yang kooperatif,
langkah-langkah memecahkan masalah di atas bisa dilatihkan pada anak-anak di
level SD, SMP, dan SMA atau bahkan anak-anak usia TK atau PAUD yang
disesuaikan dengan bahasa mereka. Tidak hanya dari jenjang sekolah,
pengetahuan dan keterampilan memecahkan masalah juga bisa diterapkan di semua
mata pelajaran atau ketika kegiatan ekstrakurikuler berlangsung. Dengan
demikian, metode hafalan yang dianggap sebagai cara jitu mendidik anak sudah
barang tentu menjadi tidak relevan, apakah masalah pengungsi Suriah bisa
diatasi dengan hafalan butir-butir Pancasila? Untuk keadaan tertentu seperti
mengingat istilah atau konsep, hafalan memang diperlukan, tapi manfaatnya
sangat terbatas.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya,
pendidikan di Indonesia sudah waktunya menghasilkan pemimpin-pemimpin dunia
yang berkehendak sebagai problem solver,
bukan orang-orang yang menghadiri pertemuan internasional yang mem bahas
masalah serius, tapi diam seribu bahasa karena malu, tidak punya ide, tidak
paham masalah, atau tidak peduli.
Motivasi tersebut perlu diupayakan lebih keras
mengingat pendidikan reso lusi konflik dapat menyumbangkan keuntungan yang
tak ternilai harganya terhadap pembentukan sikap dan watak anak Indonesia
sebagai calon pemimpin dunia. Misalnya, mengedepankan arti penting kerja sama
daripada kompetisi atau agresi, kesetaraan, kedewasaan, tanggung jawab,
kreativitas, visi jangka panjang, dan yang paling penting memanusiakan
manusia.
Sekali lagi, sumbangan pendidikan Indonesia
untuk perdamaian internasional ialah melahirkan calon pemimpin global yang problem solver. Impian ini hanya bisa
diwujudkan melalui pendidikan yang berorientasi pada pemecahan masalah.
Beginilah kira-kira bentuk nyata sumbangan pendidikan Indonesia yang dari
dulu telah dicita-citakan menjadi bagian tak terpisahkan dari usaha
menciptakan perdamaian dunia yang abadi. Selamat
memperingati Hari Perdamaian Internasional! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar