Dua Telinga, Satu Mulut
M Subhan SD ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
26 September 2015
Jalan pemimpin itu bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah
menderita.
(Kasman Singodimedjo, 1925)
Menjadi rakyat memang
tidak enak: selalu dipersalahkan, dianggap bodoh, dan tidak tahu apa-apa.
Dalam sejarah, rakyat selalu ditindas oleh rezim apa pun juga. Mobutu Sese
Seko, diktator Kongo, Afrika, yang berkuasa 1965-1997, misalnya,
memperlakukan rakyatnya sangat keji. Bukan saja terhadap lawan-lawan
politiknya, rakyat tanpa daya, seperti gelandangan atau pengemis, di Kinshasa
pun ditangkapi dan dibuang hidup-hidup ke sungai.
Barangkali menjadi
wakil rakyat akan lebih enak: hidup nyaman dengan segala fasilitas, merasa
paling benar dan paling tahu, bebas berkoar-koar seenaknya, bisa jalan-jalan
ke luar negeri bersama keluarga, hingga ber-selfie ria bersama tokoh asing.
Buktinya, wakil rakyat tenang saja mengajukan megaproyek gedung baru yang
anggarannya bisa mencapai Rp 2,7 triliun. Padahal, usulan itu adalah proyek
basi dan selalu ditolak rakyat setiap kali diajukan. Lalu, muncul lagi
rencana kenaikan tunjangan. Padahal, tunjangan wakil rakyat sudah
berderet-deret. Saat ekonomi sedang ngos-ngosan,
kok, tega-teganya minta kenaikan tunjangan?
Padahal, sebelumnya
sudah gaduh ketika ada wakil rakyat menyelipkan agenda bertemu Donald Trump,
salah satu bakal calon presiden Amerika Serikat, seusai menghadiri pertemuan
antarparlemen di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New Yok, Amerika
Serikat. Dalam keadaban berpolitik, pertemuan dengan satu bakal calon
presiden itu sungguh tidak elok. Jika ingin bertemu, semestinya semua
kandidat ditemui. Bagaimanapun, para wakil rakyat itu pergi ke New York atas
nama negara dan bangsa. Sayangnya, kita hidup dalam panggung politik yang
tidak punya keadaban.
Pertemuan itu pun
dapat dimaknai intensi atau sinyal keberpihakan orang Indonesia kepada Trump.
Apalagi, ketika Trump bertanya apakah rakyat Indonesia suka kepada dirinya,
lalu dijawab "iya", tentu jawaban basa-basi itu berimplikasi luas.
Di negaranya, Trump kerap kontroversial, bahkan dianggap berbahaya, antara
lain terkait dengan sikapnya yang rasis. Misalnya, The Economist (5/9) menurunkan "Why the Donald is dangerous" atau di The Atlantic (27/8) Michael Signer
menulis, "Trump and the Dangers of
Passionate Politics". Jurnalis Univision, Jorge Ramos, berdebat
sengit dengan Trump soal imigran, sampai dikeluarkan dari jumpa pers. Ramos
lalu bilang, "Donald Trump
berbahaya".
Meskipun demikian,
apabila wakil rakyat berselfie ria dengan Trump atau pendukungnya, tentu
boleh-boleh saja. Akan tetapi, jagalah martabat wakil rakyat yang datang ke
AS atas nama bangsa dan negara, bukan seperti fans yang gembira bertemu
idola. Wakil rakyat republik ini tidak boleh bermental inferior. Sepertinya,
revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo harus dimulai dari
bagian kepala (petinggi negara) sebelum sampai ke bagian ekor (rakyat
jelata).
Lalu, jangan pula
karena merasa telah bekerja dan berkorban untuk bangsa dan negara, lantas
bisa mengajak keluarga dalam acara resmi kenegaraan. Menarik menyimak ucapan
pemimpin rakyat Myanmar, yang juga pejuang demokrasi dan hak asasi manusia,
Aung San Suu Kyi, "Jika Anda
memilih untuk melakukan sesuatu, Anda tidak harus mengatakan itu sebuah
pengorbanan karena tidak ada yang memaksa Anda untuk melakukannya. Itu bukan
pengorbanan, itu pilihan."
Belum selesai isu itu,
tahu-tahu sejumlah unsur pimpinan DPR sudah pergi berhaji ke Haramain.
Kabarnya, mereka diundang Raja Salman bin Abdul Aziz, penguasa Arab Saudi.
Tentu sah-sah saja dan lumrah pula Raja Arab Saudi mengundang pemimpin
republik ini, termasuk pemimpin Parlemen. Kalau rakyat biasa, mungkinkah
mereka mendapat undangan berhaji? Terkadang ingin sekali mendengar mereka
menjawab, "Biarlah undangan Paduka Raja akan kami berikan kepada rakyat
kami karena mereka terlalu lama antre untuk berhaji".
Seorang pemimpin
adalah mereka yang mendahulukan urusan rakyatnya. Tahun 1925, salah satu
pendiri bangsa, yang kemudian menjadi Ketua DPR pertama (dulu bernama KNIP),
Kasman Singodimedjo (1904-1982), saat melukiskan sosok H Agus Salim, "Jalan pemimpin itu bukan jalan yang
mudah. Memimpin adalah menderita (een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is
lijden)". Khalifah Umar bin Khattab (memerintah 634-644) bahkan
memanggul sendiri karung gandum setelah tahu ada rakyat yang kelaparan.
Jadi, seandainya
menjadi wakil rakyat, saya akan lebih mengasah kepekaan, rasa malu, dan makin
tahu diri di tengah zaman penuh hipokrit ini. Secara teoretik, wakil rakyat
harus mengurus semua rakyat, bukan cuma yang memilihnya (di dapil
masing-masing) saat pemilu. Wakil rakyat juga agen perantara (the people's agents) sehingga harus
mengikuti kehendak pemilihnya, bukan mempunyai kehendak sendiri.
Itulah sebabnya,
mengapa kita memiliki dua telinga dan satu mulut. Dengan begitu, kata filsuf
Epictetus (55-135), kita dapat mendengarkan dua kali lebih banyak daripada
kita berbicara. Kecuali jika wakil rakyat sudah lupa diri. Tetapi, saya
menyadari, menjadi rakyat justru merasa lebih terhormat, tidak inferior, dan
bisa berdiri tegak sejajar bangsa asing, seperti diajarkan Bung Karno dulu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar