Menyoal Kampanye Pilkada Serentak
Bambang Arianto ;
Direktur Riset Bulaksumur Empat;
Mahasiswa S-2 Jurusan Politik dan
Pemerintahan ( JPP) Fisipol UGM Jogjakarta
|
JAWA
POS, 25 September 2015
PROSES pemilihan kepala daerah (pilkada)
serentak tentu bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan. Tapi, bagaimana
ritual lima tahunan tersebut dapat membawa muatan edukasi dan pendidikan
politik di balik keramaian massa atribut kampanye.
Pasalnya, selama ini model kampanye lebih
banyak menyerupai pengerahan massa (bandwagon)
yang akhirnya menggiring pemilih kepada dua hal. Yakni, mengedepankan
keunggulan calon yang kita dukung dan menjelekjelekan lawan politik.
Eksesnya, model kampanye seperti itu berdampak
pada menurunnya daya tarik pemilih untuk berpartisipasi dan terlibat aktif
dalam kontestasi politik, baik di aras lokal maupun pusat.
Dalam historiografi politik Indonesia, model
kampanye pemilihan umum (pemilu), baik legislatif maupun eksekutif baik era
Orde Lama maupun Orde Baru, lebih banyak menggambarkan model kampanye dalam
bentuk pawai bersama, pidato politik, apel akbar, dan arak-arakan.
Pelibatan para figur publik seperti pejabat
serta kaum pesohor sebagai bintang kampanye akhirnya menjadi ciri khas
kampanye era 1970-an (Danial, 2009). Artinya, kampanye saat itu belum
dijadikan ajang untuk menyampaikan berbagai program partai politik secara
jelas dan tuntas kepada pemilih.
Kalaupun ada, itu lebih bersifat pertunjukan
tanpa makna dan ajang obral janji-janji politik oplosan. Sedangkan di era
reformasi, model kampanye lebih didominasi fenomena ”Amerikanisasi”.
Misalnya, perang antarlembaga survei, konsultan politik, hingga ruang publik
harus disesaki beragam bentuk baliho dan spanduk.
Kampanye Kreatif
Dalam konteks pilkada serentak 2015, Komisi
Pemilihan Umum (KPU) berniat menjadikan ritual kampanye sebagai ajang
pendidikan politik dengan cara membatasi pemasangan alat peraga kampanye.
Peraga kampanye yang boleh dipasang hanyalah yang telah disediakan KPU
daerah, termasuk dalam bentuk media luar ruangan maupun iklan media massa
cetak maupun elektronik.
Untuk media sosial, KPU hanya memperbolehkan
satu akun untuk Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya. Lalu, alat
peraga yang boleh dibuat oleh tim kandidat politik hanya berupa kaus, topi,
mug, kalender, kartu nama, pin, pulpen, payung, dan stiker maksimal berukuran
10 x 5 cm.
Fakta tersebut menegaskan semakin sempitnya
media alat peraga kampanye. Karena itu, para kandidat politik harus dapat
menyikapi dengan kreatif agar alat peraga tetap dapat memengaruhi pemilih
tanpa harus melanggar regulasi yang sudah ditentukan KPU.
Alternatif terbaik adalah mengemas alat peraga
kampanye dengan nilai-nilai kreativitas agar kemudian menjadi model kampanye
kreatif. Tujuannya, kampanye dapat efisien, efektif, dan dapat diterima
khalayak umum. Dalam konteks ini, kampanye kreatif merupakan proses yang
dirancang sebagai komunikasi politik dengan cara-cara yang unik, jenaka,
pelesetan, dan humor.
Kampanye kreatif ditujukan untuk memberikan
kesadaran kepada publik bahwa kontestasi politik merupakan momentum
menyenangkan dan kesukariaan yang dapat melahirkan kegembiraan politik.
Kegembiraan politik yang dimaksudkan adalah
mengembalikan tujuan luhur dari politik guna memberikan pencerahan dan
mengarahkan masyarakat ke hidup yang lebih baik dengan penuh pengorbanan dan
tidak hanya berhenti pada kalkulasi untung-rugi.
Itu mengapa, pada kontestasi presidensial
2014, kita banyak menemui model kampanye kreatif yang digagas para relawan
politik seperti video, musik, game, dan desain grafis. Bahkan, kontestasi
presidensial 2014 merupakan ritus kampanye yang paling kreatif sepanjang
sejarah.
Epilog
Pada akhirnya, bila kemudian kita ingin
mengembalikan hakikat kampanye sebagai wahana edukasi dan pendidikan politik,
sejatinya kehadiran kampanye kreatif mutlak diperlukan. Kampanye kreatif
diharapkan dapat menggiring lahirnya model kampanye yang lebih transformatif,
yakni kampanye yang mengedepankan pendekatan modern berbasis literasi
politik.
Walhasil, mengedepankan kampanye kreatif diyakini
dapat menggaet pemilih mengambang (swing
voters) dan pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) untuk segera beralih
dari pemilih tradisional menuju pemilih rasional.
Sekaligus, penanda bila ritual pilkada
serentak pada 9 Desember 2015 merupakan wahana pembelajaran politik yang
menarik, asyik, dan tentunya menghibur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar