Ancaman Perang Asap di Lingkungan ASEAN
Rene L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
30 September 2015
Pernyataan mantan
Menlu Singapura Kasiviswanathan Shanmugam (Menlu yang baru adalah Vivian
Balakrishnan) pekan lalu di Facebook tentang kabut asap di negaranya akibat
pembalakan hutan di kawasan Sumatera yang dampaknya mencapai Singapura
menjadi menarik dalam perkembangan hubungan antarnegara ASEAN.
Kita melihat
dimulainya diplomasi sosial media sebagai bentuk kekecewaan atas terjadinya
kabut asap berkepanjangan selama satu bulan terakhir di Singapura. Atau, bisa
jadi karena Shanmugam tahu tidak akan mengurus masalah luar negeri lagi, ia
geram tentang asap yang menyelimuti negaranya.
Dalam lingkup lebih
luas, kita merasakan adanya kebuntuan dalam mendiskusikan kabut asap yang
melintas setidaknya ketiga negara ASEAN, Singapura, Malaysia, dan sebagian
Thailand. Persoalan kabut asap selain menyengsarakan ketiga negara ASEAN juga
menyengsarakan penduduk di kawasan Sumatera dan Kalimantan yang menjadi
sumber asap akibat pembalakan semena-mena dan selalu berulang setiap tahun.
Celakanya, generasi
pemimpin Indonesia sekarang tidak memiliki kemampuan mengantisipasi, apalagi
menyelesaikan inti persoalan asap tahunan ini. Kita mencatat tiga persoalan,
pertama, kepentingan komersial terlalu dominan yang seenaknya melindas
kekhawatiran banyak negara atas keamanan lingkungan hidup, khususnya terkait
emisi karbon.
Kedua, birokrasi
Indonesia tidak peduli dengan pengurangan emisi gas karbon karena perilaku
pemerintahnya yang lemah dan tidak memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi
serta dibumbui dengan masalah korupsi yang korosif. Dan, ketiga, otonomi
daerah-daerah Indonesia menjadi terlalu kuat sehingga keputusan terkait
pembalakan hutan ataupun kesadaran lingkungan terletak pada para gubernur
ataupun bupati.
Celakanya menjadi
bertambah ketika komentar pejabat seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla dan
Kepala Staf Presiden Teten Masduki berbicara seolah-olah Indonesia adalah
Sinterklas memberikan kenikmatan oksigen ke negara tetangga di luar musim
kabut asap yang terjadi 1-2 bulan setiap tahunnya.
Apakah mereka lupa
atau tidak tahu, Indonesia tahun 2014 meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Perjanjian ASEAN
tentang Pencemaran Asap Lintas Batas). Perjanjian ini memberikan pemanfaatan
sumber daya di negara ASEAN dan di luar negara ASEAN untuk mengatasi
persoalan yang sudah puluhan tahun tersebut. Melalui ratifikasi ini,
sebenarnya Indonesia bisa memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan
dan ikut aktif mengarahkan keputusan ASEAN mengendalikan kebakaran lahan atau
hutan.
Ada dua faktor lain
yang menyebabkan persoalan kabut asap ini. Pertama, Presiden Joko Widodo
sejak awal memerintah sudah menunjukkan ketidakpahamannya tentang ASEAN dan
tidak berminat menjadikan persoalan regionalisme sebagai mandala perspektif
kebijakan luar negerinya.
Ini yang menjelaskan
mengapa Presiden Jokowi menunjuk Wapres-nya menghadiri Sidang Umum PBB atau acara
internasional penting lainnya. Ditambah kurangnya pemahaman tentang
regionalisme dan multilateralisme di kalangan para menteri sekarang ini,
beberapa tampuk pimpinan di Indonesia tidak memiliki pengetahuan dan
memberikan masukan yang tidak tepat dalam menyelesaikan persoalan kabut asap
ini.
Kedua, sejak tahun
2004, Indonesia tidak mampu menghasilkan kebijakan konkret memperjuangkan
diplomasi emisi karbon sesuai Protokol Kyoto. Indonesia sampai sekarang tidak
pernah berhasil melaksanakan dehutanisasi dan degradasi hutan mengurangi
jumlah emisi karbon.
Dalam Masyarakat ASEAN
2015 yang pengejawantahannya mulai Januari 2016, kesepakatan program PBB
melalui program REDD (Reducing Emission
from Deforestation and Forest Degradation), jumlah emisi karbon diperhitungkan
dalam volume total perdagangan bebas Indonesia. Indonesia harus bersikap
terbuka terhadap persoalan ini karena perhitungan perdagangan karbon
mengurangi emisi polusi lingkungan hidup selalu melekat pada masalah
regionalisme dan multilateralisme.
”Perang asap” di
lingkungan ASEAN, yang menjadi cemooh banyak pihak, harus segera dicermati
para pejabat di segala lini pemerintahan Presiden Jokowi. Selain persoalan
pembalakan masif berbagai hutan di Indonesia oleh para konglomerat, persoalan
serius lain adalah pengentasan kemiskinan berkepanjangan di berbagai sumber
kebakaran hutan yang selalu terlupakan oleh siapa pun yang berkuasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar