Kotot Sukardi dan Satyalacana Kebudayaan
Muhidin M Dahlan ; Kerani
|
KORAN
TEMPO, 17 September 2015
Allahu akbar! Kotot
Sukardi akhirnya dianugerahi Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada 2015.
Siapa Kotot Sukardi?
Ekky Imanjaya menemukan secuitan informasi mengenai Kotot di majalah Film
Varia di Film Museum Amsterdam dan KITLV Leiden. Dari catatan yang kemudian
ditulis Ekky di Amsterdam Surprises
(2010:142) itu, kita menemukan frase "Kotot Sukardi" yang hanya
dikutip untuk menjelaskan bahwa Basuki Effendy-yang filmnya berjudul Pulang, dan menerima medali dalam
Festival Film Internasional Karlovy Vary ke-8-memiliki senior di Lekra
bernama Kotot Sukardi.
Nama Kotot juga
disebut A. Teeuw di buku Modern Indonesian Literature (1967:110) sebagai
penulis naskah drama Bende Mataram yang berlatar Perang Jawa (1825-1830). Dan
lagi-lagi nama Kotot juga disebut dalam barisan "daftar" di buku
Yudiono K.S. yang berjudul Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (2007:94).
Ketika sampai pada
pembahasan soal seni, buku Sejarah Nasional Indonesia VI (1975:408) mencatut
nama Kotot, lagi-lagi dalam "daftar" di kereta gelap sejarah
sebagai "tokoh-tokoh seniman dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra),
sebuah ormas PKI yang mendukung konsepsi Presiden Sukarno dan mendesak agar
seluruh kehidupan seni diperpolitikkan sesuai dengan garis partai
mereka."
Nama Kotot Sukardi
memang tak sementereng Bachtiar Siagian yang disebut-sebut secara anumerta
dalam sejarah film kita. Namun, dalam barisan sutradara nasional beraliran
kiri, Kotot adalah nama pertama yang disebut-disusul Bachtiar, Tan Sing Wat,
dan Basuki Effendi.
Kotot Sukardi adalah
satu dari 40-an anggota Pimpinan Pusat Lekra hasil Kongres Nasional pada
24-29 Januari 1959 di Solo, Jawa Tengah. Sekaligus ia menjadi Wakil Ketua
Lembaga Film Indonesia (LFI) yang didirikan Lekra untuk penciptaan di dunia
layar lebar. Lembaga yang diketuai Bachtiar Siagian inilah yang diserahi
tugas "menjaga" Manipol Sukarno di bidang perfilman nasional.
LFI pertama kali
mengadakan Konferensi Nasional pada 1960, di mana empat tahun kemudian mereka
menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah yang baik bagi berlangsungnya
Festival Film Asia-Afrika III (FFAA III) yang diikuti oleh 27 negara. Acara
ini kemudian diikuti dengan gerakan massif pemboikotan agen-agen perfilman
imperialis Amerika.
Di bawah bendera Panitia
Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS), gerakan nasional
"tolak film imperialis" berdentang yang berakhir klimaks: badan
distribusi film Amerika AMPAI dan vila-vilanya di Cisarua jatuh pada
Maret-April 1965, selain tentu saja berhasil meretur Dewan Film Indonesia dan
mengubah komposisi Panitia Sensor Film.
Setelah Gestok 1965,
nama seniman-seniman kiri, termasuk Kotot Sukardi, raib dalam sejarah budaya
Indonesia. Sayup-sayup namanya kini muncul dalam pencarian daring sebagai
mantan pegawai Kementerian Penerangan dan juga pendiri Persatuan Artis Film
Indonesia (PARFI) pada 10 Maret 1956. PARFI yang didirikan di Gedung SBKA
Manggarai, Jakarta, menempatkan nama Kotot Sukardi sebagai anggota.
Beberapa judul filmnya
pun turut disebut-sebut. Bahwa Kotot membikin film Si Pintjang (1952) yang
diikutkan dalam Festival Internasional di Karlovy-Vary (Republik Cek) pada
1952. Bahwa Kotot Sukardi menyutradarai film yang diangkat dari cerita rakyat
Bali berjudul Jayaprana (1955). Bahwa ia juga menyutradarai film Melati di
Balik Terali yang rilis pada 1961 dengan bintang-bintang seperti Chitra Dewi
dan Rasyid Subadi.
Demikianlah, jika
sejarah kita adalah sejarah "daftar", Kotot Sukardi adalah
langganan daftar itu. Di film, ia adalah "seniman daftar"; di
sastra, ia juga "sastrawan daftar". Di buku sejarah nasional, ia
juga penghuni daftar "hantu sejarah". Kecuali Si Pintjang yang oleh
web Filmindonesia.or.id masih bisa dilihat fisiknya di Sinematek Indonesia,
Jakarta, tak ada karya film Kotot yang bisa ditonton dan tak mudah menemukan
karya sastranya untuk dibaca.
Dan si "seniman
daftar" yang menghuni daftar Pengurus Pusat Lekra sejak 1959 itu
dianugerahi Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan oleh pemerintahan
Presiden Yang Terhormat Joko Widodo. Sebuah penghargaan yang bahkan Pramoedya
Ananta Toer pun tak pernah mendapatkannya.
Perasaan saya
mendapatkan kenyataan tidak biasa ini antara bangga dan menyedihkan. Bangga
karena kerja seniman Lekra untuk bangsa dan negara pelan-pelan diberikan pengakuan,
walau secara anumerta. Menyedihkan, karena Lekra-dan tentu saja PKI-masih
abadi sebagai hantu!
Seperti hantu, sejarah
Kotot Sukardi sudah lama raib bersama paham yang diusungnya. Kapan Kotot
Sukardi lahir, kapan dan dengan cara bagaimana ia meninggal, di mana
kuburnya, bagaimana keadaan keluarganya setelah "lindu politik"
1965, adalah pertanyaan dasar yang jawabannya sedang saya cari-cari.
Atau barangkali
ambtenaar-ambtenaar yang memberikan anugerah Satyalancana kepada Kotot
Sukardi sudah menyusun sebuah informasi lengkap. Bila itu benar, wah, itu
kerja hebat. Kerja yang membuat masyarakat (film) tahu, Kotot punya andil
dalam memajukan film dan kebudayaan Indonesia.
Proficiat untuk Kotot
Sukardi, si hantu dalam sejarah film Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar