The Fed,
Spekulasi Likuiditas Global dan Volatilitas Rupiah
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 21 September 2015
THE Fed (Federal
Reserve) atau Bank Sentral Amerika Serikat (AS) kini tengah bimbang dan
terjepit. Melalui ketuanya, Janet Yellen, mereka telah berkali-kali
menjanjikan kenaikan suku bunga, yang saat ini Fed Funds Rate (FFR) dipatok
0,25%. Namun, berkali-kali pula mereka seperti `ingkar janji'. Suku bunga tak
kunjung naik sehingga menimbulkan gejolak volatilitas mata uang di seluruh
dunia, termasuk (terutama) rupiah. Mengapa itu semua terjadi? Bagaimana
penjelasannya dan bagaimana hal ini berpengaruh terhadap rupiah?
Cerita bermula dari krisis finansial global (global financial crisis) yang
disebabkan jatuhnya harga surat berharga derivatif di sektor perumahan
berkualitas kelas dua (subprime
mortgage) yang ditandai dengan bangkrutnya lembaga keuangan investasi (investment bank) Lehman Brothers pada
pertengahan 2008.
Untuk meredam krisis, The Fed menurunkan suku
bunganya hingga level terendah 0,25%. Itu mirip dengan yang sudah terjadi di
Jepang sejak 1990-an, yaitu suku bunga amat rendah, nyaris nol (zero interest rate), yang terus bertahan
hingga sekarang. Tujuan kebijakan suku bunga rendah ini ialah mendorong
perekonomian melalui meningkatnya konsumsi rumah tangga serta investasi. Suku
bunga rendah dimaksudkan sebagai upaya merelaksasi likuiditas di pasar uang
sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, karena pada saat itu tingkat
kepercayaan konsumen (consumer's
confidence index) sedang rendah, kebijakan itu tidak terlalu efektif.
Karena itu, ketua The Fed saat itu, Ben S Bernanke, beserta wakilnya, Janet
Yellen, berinisiatif melakukan pencetakan uang untuk menambah relaksasi
likuiditas (quantitative easing
atau QE). Uang dari QE itu kemudian dibelikan surat-surat berharga pemerintah
AS (T-bills dan T-bonds) agar harganya tidak jatuh selama krisis.
Langkah efektif
Kebijakan QE berlangsung tiga tahap. Tahap
pertama dicetak US$1,6 triliun (2009), tahap kedua juga US$1,6 triliun
(2011), dan tahap ketiga pada awalnya dicetak US$85 miliar per bulan,
kemudian berangsur-angsur menurun (2013). Dari seluruh tiga tahap tersebut,
tercetak sekitar US$4,2 triliun. Jumlah itu sangat besar karena ekuivalen
dengan lima tahun Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sebagai
perbandingan, PDB AS saat ini US$17,5 triliun.
Kebijakan QE ini tampaknya efektif.
Pelan-pelan kurs US$ melemah, yang berarti menguntungkan bagi AS untuk
menambah daya saing produkproduknya. Hebatnya, penambahan suplai US$ itu
ternyata tidak diikuti dengan inflasi karena mata uang US$ menyebar ke
seluruh dunia, bukan cuma di AS. Inflasi di AS terjaga di level 2%, bahkan di
bawah itu.
Peredaran US$ mengalir deras ke Indonesia
hingga mencapai puncaknya pada Juli 2011. Pada saat itu, cadangan devisa kita
mencapai US$124,6 miliar, atau jauh lebih tinggi daripada sekarang US$105
miliar. Besarnya cadangan devisa Indonesia berbanding lurus dengan kekuatan
kurs rupiah. Pada saat itu, rupiah mencapai titik tertinggi Rp8.600 per US$.
Pada Mei 2013, tanda-tanda perekonomian AS
mulai membaik. Pengangguran mulai terpangkas tajam. Sejak itu, kurs US$ mulai
menguat seiring dengan kinerja perekonomian AS yang baik. Sejak itulah rupiah
mulai pelan-pelan melemah terhadap USD tanpa pemerintah Indonesia bisa
menahannya. Seiring dengan hal itu, The Fed pun mulai merancang kebi jakan
yang intinya ingin mengoreksi kebijakan sebelumnya (suku bunga rendah 0,25%
plus pencetakan uang). Ke depannya, QE akan dihentikan karena sudah dianggap
cukup. Jika QE terus menerus dilakukan, dikhawatirkan jumlah peredaran US$
akan berlebihan (over supply) yang
bisa memantik hasrat investor global melakukan tindak spekulasi. Ini sesuai
dengan teori Keynes (1936) bahwa motif seseorang untuk `memegang' uang ada
tiga, yaitu motif transaksi, berjaga-jaga (precautionary), dan spekulasi.
Orang yang kelebihan duit akan mulai melakukan
spekulasi karena kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi. Ini bahaya dan bisa
menimbulkan volatilitas pasar uang dunia. Menurut saya, hal ini sudah terjadi
saat ini. Kurs bisa bergejolak setiap hari hanya karena penyebab yang sepele.
Hanya mengantisipasi rapat dewan gubernur bank sentral AS saja, sudah menjadi
ajang spekulasi. Rupiah tak terkecuali. Gerakan rupiah dari hari ke hari
seperti mainan roller coaster,
naik-turun semaunya untuk merespons isu-isu yang `remeh-temeh'. Semua berita
menyangkut perekonomian AS bisa menyebabkan US$ menguat atau melemah secara
gampang sekali.
Yellen takut jika suplai uang US$ di seluruh
dunia dipakai menjadi alat berspekulasi. Menurut saya, ketakutan itu pada
dasarnya sudah terjadi. Mata uang US$ sudah menjadi favorit bagi para
investor global dan dipakai sebagai alat berspekulasi. Negara-negara
berkembang (termasuk emerging markets)
yang fundamental ekonominya diragukan atau `nanggung' menjadi sasaran empuk
bagi permainan spekulasi ini. Celakanya, rupiah termasuk kategori ini!
Untuk meredam spekulasi likuiditas US$ yang
sudah berlebih di pasar uang global, Yellen menginginkan kenaikan suku bunga
AS. Idealnya US$ yang sudah beredar secara masif ke seluruh dunia akan
dipanggil kembali melalui mekanisme transmisi kenaikan suku bunga. Dengan
kata lain, US$ akan disterilisasi agar tidak berkembang liar menjadi ajang
spekulasi.
Kekhawatiran AS
Namun, apa yang terjadi? Rencana awalnya, suku
bunga The Fed akan mulai dinaikkan pada triwulan pertama 2015, lalu
berturut-turut akan terus dinaikkan hingga mencapai 1% pada akhir 2015.
Rencana ini ternyata tidak berjalan mulus. The Fed harus mempertimbangkan
kembali rencananya karena kenaikan suku bunga akan menyebabkan US$ menguat
lebih jauh.
Selagi The Fed masih kebingungan, apakah jadi
menaikkan suku bunganya atau tidak, tiba-tiba pemerintah Tiongkok melakukan
devaluasi yuan. Tindakan ini benar-benar mengejutkan dan tidak terantisipasi
sebelumnya. Pemerintah Tiongkok merasa daya saingnya tergerus oleh fenomena
kenaikan upah tenaga kerja dan kian mahalnya harga tanah di wilayah industri
Tiongkok di bagian timur dan sepanjang pantai timur daratan `Negeri Tirai
Bambu' ini. Hal ini menyebabkan daya saing produk-produk mereka terkikis. Devaluasi
yuan ialah senjata ampuh untuk mempertahankan daya saing Tiongkok.
Mengapa Tiongkok bisa `seenaknya' menentukan
kurs yuan tanpa melalui mekanisme pasar? Jawabnya bisa, mereka memiliki
cadangan devisa terbesar di dunia, US$ 3,8 triliun, sehingga bisa dipakai
sebagai penopang kebijakan kurs mereka.
Devaluasi yuan jelas memukul perekonomian AS karena
AS ialah mitra dagang terbesar Tiongkok. Selama ini, AS mengalami defisit
ratusan miliar US$ terhadap Tiongkok. Devaluasi yuan akan memperpanjang dan
memperbesar defisit AS tersebut. Karena itu, kenaikan suku bunga AS hanya
akan memperparah keadaan. Jurang kurs antara US$ dan yuan akan kian menganga.
Artinya, defisit AS akan berkembang kian memburuk. Inilah alasan The Fed
ragu-ragu untuk menaikkan suku bunganya.
Ekonom top AS Joseph Stiglitz sudah memberikan
isyarat agar The Fed membatalkan niatnya menaikkan suku bunga. Demi
keselamatan perekonomian AS, suku bunga AS harus tetap dipertahankan rendah
seperti sekarang 0,25%. Lalu, bagaimana respons The Fed? Di tengah-tengah
kebimbangan ini, yang bisa mereka lakukan hanyalah tetap menahan suku bunga,
jangan diutak-atik dulu. Mereka masih akan menunggu perkembangan perekonomian
AS dan perekonomian global sebelum menentukan nasib suku bunga.
Sampai titik ini, saya melihat bahwa The Fed
harus mengikuti saran Stiglitz. Itu saya pikir ialah pilihan terbaik. Namun,
bagi perekonomian global, itu memberikan sinyal buruk karena para pemilik
modal global masih akan melanjutkan kegiatan spekulasinya. Artinya, mata uang
global masih akan melanjutkan tren volatilitasnya, termasuk rupiah.
Bagi
Indonesia, tidak akan ada obat mujarab yang bisa mengubah posisi rupiah.
Tidak ada quick fix, atau mencari
solusi secara instan. Kebijakan deregulasi September 2015 cukup baik untuk
memperbaiki iklim dan struktur investasi di masa mendatang, tapi tidak
serta-merta bisa membuat rupiah menguat. Volatilitas mata uang dunia masih
akan berlanjut karena likuiditas yang berlebihan akibat kebijakan QE di masa
sebelumnya masih akan terus `bergentayangan' mencari jenis aset dan lokasi
favorit. Bandul itu masih akan berayun-ayun sebelum tenang dan stabil di
titik tertentu.
Tugas
pemerintah Indonesia ialah membuat kebijakan yang seramah mungkin terhadap
investor untuk mengurangi gejolak atau menurunkan volatilitas rupiah. Berikanlah iklim
usaha yang sebaik-baiknya sehingga investor kerasan tinggal dan berlama-lama
di sini. Hambatan-hambatan birokratis yang tidak perlu harus dipangkas habis.
Hanya dengan cara itulah, kita bisa mereduksi volatilitas. Selebihnya,
likuiditas global yang mengalir deras ke AS menjadi urusan seluruh negara di
dunia dengan AS sebagai pemegang kunci terpentingnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar