Pertaruhan Jokowi di Beranda Indonesia
Freddy Numberi ; Mantan Menteri Perhubungan;
Mantan Menteri Kelautan dan
Perikanan
|
KOMPAS,
21 September 2015
Perbatasan suatu
negara, bagi seorang pemimpin negara, tak dimungkiri adalah suatu harga diri
yang tak dapat dipandang remeh oleh negara lain. Pasalnya, karena adanya
perbatasan itulah, suatu negara memiliki kedaulatan. Karena itu, bisa
dimaklumi jika Presiden Joko Widodo, saat sebelum menjadi presiden, dalam
acara debat dengan calon presiden Prabowo Subianto kala itu terkesan arogan. "Kita bikin rame," katanya
saat itu, terkait tekadnya jika terpilih menjadi presiden, ia akan tanpa ragu
melakukan tindakan yang tegas jika kedaulatan RI diancam negara lain.
Meski mengedepankan
diplomasi, dia menyatakan siap bertindak jika kedaulatan NKRI diganggu bangsa
lain. "Apa pun akan saya lakukan
jika kedaulatan kita diganggu, apa pun saya pertaruhkan," katanya
saat itu.
Kedaulatan teritorial
Mengawali dari prolog
menyangkut urgensi wilayah perbatasan, Jokowi saat masih calon presiden
tampak garang dan terkesan bahwa mempertahankan kedaulatan batas negara
merupakan harga mati. Sejatinya, seorang pemimpin bangsa dari suatu negara
memang harus seperti itu, apalagi Indonesia punya sejarah menyakitkan ketika
Sipadan-Ligitan lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi, berpindah ke pelukan
Malaysia.
Apakah langkah Jokowi
akan seperti janjinya? Sebagai gambaran, persoalan perbatasan hingga saat ini
masih tetap berpotensi memunculkan konflik. Seperti potensi konflik pada
daerah sengketa perbatasan laut, antara lain dengan Singapura (Selat
Philips), Vietnam (utara Kepulauan Natuna), dan pengaturan kembali perairan
Indonesia di sekitar Kepulauan Timor. Semrawutnya pengaturan Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) yang hingga kini belum terselesaikan dengan beberapa tetangga
juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah pada
konflik internasional.
Mengingat Indonesia
negara kepulauan yang sarat isu-isu maritim, wajar apabila isu-isu tersebut
menjadi perhatian serius dari pemerintah dan melibatkan aneka kepentingan
strategis, baik militer maupun ekonomi.
Menyangkut batas
teritorial, ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia
masih memiliki banyak "pulau tak bernama", membuka peluang negara
tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu.
Kedua, implikasi secara
militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim perlu
diperkuat armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusia.
Demikian juga TNI AU perlu diperkuat dan modernisasi pesawat tempurnya agar
dapat melakukan tindakan tegas terhadap pesawat-pesawat tempur milik Malaysia
yang berulang kali menerobos wilayah udara Indonesia.
Ketiga, Presiden
Jokowi perlu memiliki utusan khusus sebagai negosiator mumpuni yang menguasai
hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di fora internasional.
Secara gradual,
pembenahan dapat dimulai dari tataran domestik. Pertama, melakukan penelitian
dan penyesuaian kembali garis-garis (pangkal) pantai dan alur laut Nusantara.
Hal ini perlu segera dilakukan guna mencegah klaim-klaim dari negara lain.
Namun, sekali lagi, hal ini memerlukan kemauan politik pemerintah. Tanpa itu,
mustahil akan berhasil.
Kedua, mengintensifkan
kehadiran yang terus-menerus, pengembangan ekonom, dan jaminan pelestarian
terhadap pulau perbatasan. Tak terpenuhinya ketiga unsur itu menjadikan
Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia pada 17 Desember 2002.
Sampai di situ,
Presiden Jokowi tampaknya memang berupaya bekerja keras untuk melakukan
pembenahan. Paling tidak, janji Nawacita dalam butir "Membangun dari
Pinggir" yang menjadi andalan Jokowi kini diaplikasikan dengan berbagai
program oleh jajaran pembantunya di beberapa kementerian.
Membangun dari pinggir
berarti Jokowi peduli untuk mengupayakan pembangunan di beranda-beranda
Indonesia yang berbatasan dengan negara lain. Dan memang, dengan
tersejahterakannya warga di daerah-daerah perbatasan, dengan sendirinya
nasionalisme dan kedaulatan bisa terjaga dengan kuat.
Namun, keamanan
maritim pun pastinya tak bisa diabaikan. Pasalnya, tantangan keamanan maritim
yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara. Konflik antarnegara merujuk
tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim
berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Sayangnya, isu
keamanan maritim saat ini masih kurang mendapatkan perhatian serius. Lebih
jauh lagi, hal ini juga berpengaruh terhadap tingkat kesiapan domestik,
armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri.
Kemampuan militer armada laut kita masih terhitung minim, apalagi jika
dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan
militer yang "tidak layak tempur" karena usia tua.
Kemampuan diplomasi
Ketegangan akibat
beragam konflik dengan negara tetangga, terutama Malaysia, hingga kini masih
cukup menggelitik. Masih segar dalam ingatan kita, Soekarno pernah menyerukan
Komando "ganyang Malaysia" sebagai reaksi atas tuduhan
neokolonialisme (Nekolim). Semangat "ganyang Malaysia" beberapa
waktu lalu kembali menggema sebagai cermin nasionalisme kebangsaan, terkait
isu perbatasan yang kerap muncul.
Dalam relasi dunia
modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap
sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur
diplomasi menjadi pilihan utama dan logis. Namun, kembali lagi adanya
pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik
pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, seperti ditulis I
Basis Susilo-"Menghadapi Provokasi Malaysia"-(Kompas, 7 Maret
2005), kita lalai dalam merawat perbatasan.
ASEAN-mengutip Wawan
Fachrudin di Kompas beberapa waktu lalu-sebagai satu forum kerja sama
regional sangat minim perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena ia
dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak dapat campur
tangan. Memang, secara historis ASEAN dibentuk atas dasar persoalan politik,
yaitu adanya ketakutan peristiwa seperti "ganyang Malaysia"
terulang. Artinya, kerja sama regional Asia Tenggara ini ingin meminimalkan
intervensi satu negara atas negara lain.
Seperti mengidap
paranoid historis, menjadikan ASEAN tak memiliki kekuatan dalam menyelesaikan
masalah batas teritorial. Meski pembicaraan mengenai forum-forum kerja sama
seperti Forum Keamanan ASEAN atau Forum Maritim ASEAN memang merumuskan kerja
sama keamanan regional negara Asia Tenggara, realisasinya belum kelihatan.
Seharusnya, sebagai forum kerja sama regional, beragam persoalan regional
menjadi tanggung jawab bersama. Hanya saja, karena adanya prinsip
nonintervensi yang mendominasi, peran ASEAN menjadi tidak cukup mengemuka
dalam mengatasi persoalan perbatasan.
Kini, di era Jokowi
yang belum setahun menduduki jabatan presiden, rasanya patut menaruh harapan
besar untuk membenahi persoalan yang kerap muncul di area pagar negara
Indonesia. Tentu demi harga diri bangsa, dan kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar