Memahami September
Irwansyah ;
Dosen di Departemen Ilmu Politik UI;
Mahasiswa di Asia Research
Center, Murdoch University, Australia
|
INDOPROGRESS,
28 September 2015
SETIAP menjelang dan
memasuki bulan September, percakapan publik di berbagai media massa di
Indonesia dipanaskan oleh perdebatan soal sejarah politik masa lalu yang
penuh darah dan air mata rakyat, terutama terkait ‘malapeta 1965’. Kita
sebagai bangsa terus terikat pada rantai peristiwa yang dikenang luas
masyarakat berjangkar pada peristiwa penculikan sejumlah jenderal Angkatan
Darat oleh sebuah gerakan politik yang bermanuver pada September 1965.
Semenjak September tahun itu, kita terus disandera oleh Malapeta yang
mengikuti pemusnahan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta segala hal yang
dapat diasosiasikan dengannya – mulai dari pemusnahan manusia dan organisasi
hingga pemusnahan ideologi dan pengetahuan.
Malapetaka kemanusiaan
itu berupa pembantaian massal lebih dari ratusan ribu warga negara karena
dianggap komunis atau bersimpati kepada komunis. Pembantaian massal yang
masih disusul dengan intimidasi, diskriminasi, hingga pelabelan
(stigmatisasi) tanpa akhir pada para penyintas (termasuk keluarganya) sebagai
ancaman negara dan masyarakat. Dari kebanyakan buku sejarah dan berbagai
pemberitaan hingga saat ini, kita dijelaskan bahwa alasan pembantaian itu
pada intinya adalah sebagai ‘hal (keji) yang perlu dilakukan untuk membasmi
bahaya komunis’ dan ‘reaksi balik dari kekejaman kaum komunis pada masa
sebelumnya’.
Mengenai bagaimana
cara kita menyelesaikan ‘bahaya komunis’ dan ‘kekejaman komunis’ ternyata
tidak pernah menjadi soal yang jelas dipahami sejak September 50 tahun lalu
itu. Nyatanya ‘malapetaka 1965’ tersebut justru membukakan jalan lebar bagi
deretan panjang pelanggaran HAM lain yang dilakukan secara sistematik dan
terlembaga oleh rezim Orde Baru (Orba). Rezim politik yang merebut kekuasaan
dan mempertahankannya selama 32 tahun sejak Suharto mengambil alih kekuasaan
dari Sukarno pada tahun1966. Dampak mendalam dari berbagai pelanggaran HAM
sejak masa Orba tersebut terus terwarisi dalam kondisi dan sistem politik
Indonesia hingga saat ini.
Bagaimana sesungguhnya
perkembangan soal yang hingga saat ini terus diperdebatkan itu? Jawaban yang
paling mudah adalah bahwa dalam kondisi politik Indonesia saat ini, setelah
17 tahun sejak lengsernya Suharto, penyelesaian atas persoalan HAM masa lalu
selalu gagal dilakukan. Kita rasanya perlu mengajukan pertanyaan naif:
mengapa kita tidak mampu meniadakan warisan persoalan sejarah kelam persoalan
HAM masa lalu yang terus membebani hingga saat ini? Padahal dalam ruang
politik saat ini lebih mungkin bagi masyarakat untuk menggugat dan
mempersoalkan berbagai pelanggaran HAM oleh rezim otoriter Orba.
Tampaknya pendekatan
yang mendominasi upaya penuntasan pelanggaran HAM masa lalu adalah pendekatan
kelembagaan (institusionalisme dengan akar paradigma liberal) dan pendekatan
normatif Hak Asasi Manusia. Secara sederhana kita melihat konsentrasi utama
dari perjuangan untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu nyaris berkutat
penuh pada upaya mencari solusi kelembagaan dan peraturan negara. Tentu saja
kita mendukung harapan mulia untuk mendorong penuntasan pelanggaran HAM masa
lalu yang berkekuatan hukum dan mengikat. Namun bila kita mencermati apa yang
terjadi selama era ‘reformasi’ hingga saat ini, justru yang tampak adalah
kebuntuan penyelesaian di setiap pemerintahan pasca Suharto terjadi di
wilayah hukum dan kelembagaan. Menyadari persoalan yang kita temui di tingkat
permukaan adalah kebuntuan hukum dan kelembagaan, seharusnya membuat kita
mempertanyakan secara kritis kenyataan material dan struktural yang
melandasinya.
Orientasi dari
pendekatan dominan ini akhirnya bertumpu pada gerakan moral mencari pemimpin
yang punya niat baik dan mau menunjukkan kemauan politik menuntaskan
pelanggaran HAM masa lalu. Kita tentu tidak lupa orientasi tersebut menjadi
salah satu tema politik yang vital pada momen pemilu 2014 lalu. Faktanya
sejak masa pemilu itu kita sudah melihat malapetaka 1965 telah dijadikan
rambu-rambu yang membatasi persaingan antar elit oligarki yang berkompetisi.
Tidak mengherankan bila pemerintahan Jokowi saat ini pun mendaur ulang pola
kebijakan pemerintahan sebelumnya untuk melanjutkan impunitas (pembiaran).
Pada saat yang bersamaan, mobilisasi histeria anti komunis oleh sejumlah
tokoh masyarakat dan kalangan pro militerisme kembali digencarkan di tingkat
masyarakat. Jadi di satu sisi kita melihat solusi negara dan elit politik
atas persoalan pelanggaran HAM masa lalu telah mengalami kebuntuan. Akan
tetapi di sisi lain elit politik terus merasa perlu menjaga agenda anti
komunis tetap berlanjut di masyarakat.
Analisa atas problem
ketidakmampuan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, menurut hemat saya,
harus dipahami sebagai problem struktural konflik sosial sebagaimana
dijelaskan oleh teori-teori politik terkini tentang Indonesia. Misalnya,
melalui ‘tesis oligarki’ ataupun ‘warisan otoriterisme yang hadir dan
berkelanjutan dalam transformasi institusi di era demokrasi’. Penjelasan
sederhananya, kedua pendekatan ini mencoba memahami proses yang menyejarah
dari keberlanjutan kekuatan, kebijakan dan politik anti demokratik di era
paska Orba. Melakukan analisa pertarungan kepentingan ekonomi dan politik
berbagai kelompok dan aliansi sosial yang memengaruhi kondisi politik dan
hasil-hasilnya.
Faktanya penjelasan
struktural atas konflik sosial maupun pendekatan institusionalisme historis
kurang digunakan secara luas oleh kalangan akademis maupun aktivis di
Indonesia. Misalnya, dalam memahami posisi kekuatan politik yang berperan
signifikan dalam ‘malapetaka 1965’, seperti kalangan militer – termasuk para
purnawirawan yang kini aktif secara bisnis dan politik. Secara de jure telah
terjadi beberapa pembatasan atas peran sosial dan politik militer, tapi
secara de facto justru kalangan militer berperan vital dan sangat
berkepentingan atas reorganisasi kekuasaan dalam jaringan oligarki baik di
tingkat nasional maupun lokal. Logika yang sama dapat diterapkan untuk
memahami berbagai kelompok dan kekuatan sosial yang ada saat ini, terutama
dalam kaitannya dengan isu penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.
Sebaliknya kita lebih
sering mendengar pembahasan soal keseriusan dan kemauan politik (political will) pemerintah dari
kebanyakan studi dan advokasi yang ada saat ini. Jawaban dari pembahasan
semacam ini akan mengarahkan pada argumen bahwa niat baik bisa diwujudkan
dalam berbagai bentuk dan tidak dapat ditentukan waktunya. Atau analisa
psikologis atau kepribadian pejabat pemerintah, desas desus tentang latar
belakang pejabat negara, dsb.
Sementara itu soal
kepentingan negara dan para elit politik yang mendominasinya tidak terlalu
kita periksa. Belum lama ini dengan terang benderang pemerintahan Jokowi
mengatakan bahwa Negara tidak akan meminta maaf kepada korban Gerakan 30
September. Statemen ini untuk menanggapi pertanyaan sejumlah kalangan terkait
wacana melakukan permintaan maaf kepada keluarga PKI. Pemerintah merasa
kepentingan mereka adalah mengatasi masalah ekonomi ketimbang masalah penyelesaian
pelanggaran HAM masa lalu, khususnya terkait malapetaka 1965. Pembahasan
mengenai pendefinisian kepentingan pemerintah yang semacam itu dipisahkan
dari kepentingan ekonomi politik negara yang tercermin pada fenomena
penggusuran, represi, intimidasi, hingga diskriminasi yang terus dialami
rakyat pekerja. Kita seharusnya dapat melihat lebih terang hubungan antara
operasi politik oligarki dan warisan kebuntuan penuntasan kasus pelanggaran
HAM.
Kita, terutama
generasi yang tidak terlibat langsung dalam konteks “malapetaka 1965” punya
kepentingan memperdebatan secara luas langkah-langkah strategis untuk membawa
kita keluar dari lingkaran setan yang dibentuk oleh rambu-rambu persaingan
elit politik oligarki. Langkah strategi haruslah berkaitan dengan tujuan kita
yaitu mencegah terulangnya pelanggaran HAM masa lalu pada generasi pasca
Orba. Kepentingan kita semakin mendesak justru ketika pejabat-pejabat publik
semakin berani menggunakan retorika tidak peduli HAM dan siap melibas siapa
saja yang dianggap mengganggu kepentingan negara dan modal. Tak kurang
mengkhawatirkan, tidak sedikit kalangan masyarakat awam dan bahkan aktivis
yang memberi toleransi terhadap retorika semacam itu.
Fondasi untuk itu tak
lain adalah memerangi kesenjangan ekonomi dan politik yang bersifat structural ini. Tentu tetap perlu ada
perjuangan mendorong upaya kelembagaan, termasuk perundangan dan mekanisme
penegakan HAM. Akan tetapi pada akhirnya keadilan kelembagaan baru bisa
dilaksanakan bila basis ekonomi ekonomi politik dari pertarungan politik juga
berubah. Yakni kala kelompok yang lemah di masyarakat terorganisir solid
dalam melakukan perimbangan kekuasaan mengimbangi kekuatan kalangan yang
menguasai jaringan dan sumber daya ekonomi dan politik, termasuk kendali atas
negara. Fondasi inilah yang lenyap sejak akhir September 50 tahun lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar