UUPA Setelah 55 Tahun
Maria SW Sumardjono ;
Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM; Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
25 September 2015
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang terbit pada 24
September 1960 pada awalnya dimaksudkan untuk menjadi lex generalis bagi
semua peraturan terkait sumber daya agraria/sumber daya alam, setidaknya jika
ditilik dari sepuluh pasal UUPA.
handining
Dalam perjalanan
waktu, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengalami pasang surut, bahkan
cenderung menjadi dilematis. Hal ini tampak saat posisi UUPA dihadapkan pada
UU sektoral lainnya dan keraguan sikap untuk mempertahankan atau meninggalkan
UUPA yang dapat dicermati dalam berbagai kerancuan kebijakan/peraturan
perundang-undangan di bidang pertanahan.
Judul ”agraria”
sebagai obyek pengaturan sudah sejak semula mengundang polemik karena, dari
keseluruhan pasal UUPA, hanya sepuluh pasal yang dimaksudkan untuk mengatur
semua sumber daya alam (SDA), termasuk tanah. Hampir 80 persen UUPA mengatur
tentang tanah. Karena mayoritas pengaturan UUPA berkenaan dengan tanah, dari
situlah awal polemik bermula antara apakah UUPA itu bersifat lex generalis
atau lex specialis.
Bahwa UUPA mayoritas
memuat ketentuan tentang tanah itu dapat dipahami karena pada 1960-an masalah
berkaitan dengan SDA selain tanah belum merupakan hal yang strategis.
Prioritas ketika itu adalah bagaimana upaya mencapai keadilan dalam
penguasaan/pemilikan tanah sebagai kebutuhan dasar manusia untuk pemenuhan
sandang, pangan, dan papan. Masalah investasi dan potensinya memicu konflik
penguasaan/pemilikan SDA belum diantisipasi.
Ketika pada 1970-an UU
sektoral mulai diterbitkan untuk mengakomodasi investasi dalam rangka
pertumbuhan ekonomi, UU sektoral terbit dengan semangat pragmatisme sesuai
visi dan misi masing-masing sektor. Falsafah dan prinsip dasar penyusunan UU
terkait SDA yang diamanatkan UUPA tak diakomodasi dalam UU sektoral. Dengan
kata lain, UUPA telah terdegradasi menjadi lex specialis dihadapkan pada UU
sektoral lain. Meski degradasi oleh kekuatan eksternal itu disayangkan,
tetapi dapat dipahami. Dalam perkembangannya, yang lebih memprihatinkan
adalah pengeroposan UUPA secara internal lewat berbagai kebijakan/peraturan
perundang-undangan pertanahan.
Sejatinya, semenjak
tahun 1998 sudah mulai mengemuka wacana tentang perlunya merevisi UUPA (KPA
dan KRHN, ”Usulan Revisi UUPA”, Oktober 1998). Setidaknya ada empat kelompok
pemikiran terhadap UUPA, yakni bahwa (1) UUPA perlu dipertahankan karena
melindungi hak-hak masyarakat; sengketa pertanahan itu terjadi karena
penyimpangan pejabat pelaksana; (2) UUPA melindungi hak-hak masyarakat,
tetapi peraturan pelaksanaannya yang menyimpang; (3) UUPA harus diubah agar
lebih pro pasar; dan (4) UUPA perlu dikritisi karena adanya penyimpangan oleh
pejabat pelaksana dan adanya peraturan pelaksanaan yang menyimpang dari UUPA
(Noer Fauzi, ”Sendi-sendi Pembaruan Agraria”, September1999).
Dalam rangka
penyempurnaan UUPA, tercatat empat RUU tentang Pertanahan dan dua RUU yang
bersifat lex generalis. Yang cukup menarik adalah bahwa dalam setiap diskusi
rancangan UU itu wacana yang selalu mengemuka adalah: dengan terbitnya UU
yang akan datang, bagaimana kedudukan UUPA, masih dipertahankan atau dicabut
berlakunya? Perlu dipahami bahwa sesungguhnya hal itu bukan pertanyaan,
melainkan permasalahan yang perlu dipikirkan jalan keluarnya, justru karena
kedudukan UUPA yang unik: sebagian ketentuannya dimaksudkan sebagai lex generalis walaupun belum tuntas,
tetapi mayoritas materi muatannya bersifat lex specialis.
Dilema yang berlanjut
Terbitnya berbagai RUU
tentang Pertanahan dan berbagai peraturan pelaksanaan UUPA itu menimbulkan
kekhawatiran terkait nasib UUPA. Sejumlah pihak khawatir, jika UUPA tidak
dipertahankan, semakin terbuka kemungkinan terjadinya penyimpangan dari UUPA
dalam berbagai kebijakan/peraturan perundang-undangan pertanahan.
Kekhawatiran itu diredam melalui komitmen yang dicapai BPN RI dengan Komisi
II DPR dalam suatu Rapat Dengar Pendapat Umum, 29 Juni 2007. Disepakati, UUPA
tidak diubah, tetapi cukup disiapkan RUU tentang pertanahan. Apakah dilema
ini dapat diatasi dengan komitmen tersebut? Tampaknya tidak demikian halnya.
Pertanyaannya,
pertama, bagaimana daya ikat komitmen politis ini, apakah berlaku selamanya
atau hanya untuk kurun tertentu? Apakah dengan tetap diberlakukannya UUPA
dapat dijamin bahwa kebijakan/peraturan perundang-undangan pertanahan akan
sejalan dengan falsafah dan prinsip dasar UUPA? Ternyata jawabannya: tidak
selalu! Yang terjadi justru timbulnya gagasan dan sejumlah
kebijakan/peraturan perundang-undangan pertanahan yang secara sadar atau tak
sadar telah mengeroposi UUPA dalam rangka memenuhi kebutuhan yang cenderung
pragmatis. Hal itu dapat dicermati dalam beberapa contoh berikut.
Pertama, keberadaan
lembaga ”hak” pengelolaan (HPL) yang semula dimaksudkan sebagai ”fungsi”
pengelolaan, tetapi karena kebutuhan pragmatis bergeser menjadi ”hak” yang
lebih menonjolkan sifat keperdataan ketimbang fungsi publiknya. Ciri
keperdataan HPL tampak dari kemungkinan diberikannya hak atas tanah di atas
tanah HPL kepada pihak ketiga (aspek komersial HPL). Meski secara normatif
HPL diupayakan dikembalikan pada fungsi publiknya melalui PP No 40/1996
tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai atas Tanah dan secara tak langsung melalui UU
No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara jo PP No 27/2014 tentang Pengelolaan
BMN/BMD, tetapi sampai kini masih sulit mengembalikan HPL dalam fungsi
publiknya terutama menyangkut hubungan hukum antara pemegang HPL dan pihak
ketiga.
Cukup mengherankan HPL
yang berawal dari beheersrecht yang
terbit dalam suasana batin asas domein melalui PP No 8/1953 itu sampai saat
ini, walaupun yang berlaku adalah asas hak menguasai dari negara, tetap tak
mudah menata kembali HPL dalam fungsi publiknya.
Kedua, Pasal 18 UUPA
jo UU No 20/1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada
di Atasnya telah ditinggalkan oleh UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Keppres No 55/1993 dan Pepres No 36/2005
jo Perpres No 65/2006 masih memegang teguh prinsip yang membedakan antara
pengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah. Ketika pemerintah memerlukan
tanah untuk kepentingan umum dan lokasi pembangunan tak dapat dipindahkan,
sedangkan musyawarah dengan pemegang hak menemui kegagalan, lembaga
pencabutan hak atas tanah dibuka kemungkinannya untuk berlaku. Dalam UU No
2/2012, lembaga pencabutan hak atas tanah diganti dengan penitipan ganti
kerugian di PN setempat dan penyelesaian keberatan masyarakat terhadap lokasi
pembangunan dilakukan melalui PTUN dan MA; sedangkan keberatan mengenai ganti
kerugian diselesaikan melalui PN dan MA. Tak diperoleh kejelasan alasan
penghilangan lembaga pencabutan hak atas tanah dalam UU No 2/2012.
Ketiga, penghapusan
hak ulayat yang diatur dalam Pasal 3 UUPA melalui Peraturan Menteri ATR/Ka
BPN No 9 Tahun 2015 dan menggantikannya dengan hak komunal atas tanah, yang
secara yuridis-normatif ataupun historis-sosiologis berbeda pengertiannya
dengan hak ulayat. Akibatnya, terjadi kekosongan hukum dan ketidakpastian
hukum dalam pengaturan tentang hak ulayat dengan dihapuskannya Pasal 3 UUPA
dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Ka BPN No 5/1999 (Maria Sumardjono,
”Ihwal Hak Komunal atas Tanah”, Kompas, 6/7/2015 ).
Keempat, upaya
menggantikan asas pemisahan horizontal yang bersumber pada hukum adat (Pasal
5 UUPA) dengan asas perlekatan/vertikal sebagaimana tampak dalam DIM nomor
103 (versi 7/1/2013) yang diusulkan pemerintah dalam pembahasan RUU
Pertanahan inisiatif DPR tahun 2014. Tidak ada penjelasan konseptual tentang
penggantian asas ini. Dalam kenyataannya, pemahaman tentang asas pemisahan
horizontal yang diakomodasi dalam UU No 4/1996 tentang Hak Tanggungan itu
dijelaskan secara komprehensif dalam Penjelasan Umum butir 6 UU No 4/1996.
Kelima, upaya
memperkenalkan lembaga hukum baru, yakni Hak Guna Ruang (HGR) dalam DIM nomor
280 dan yang terkait, tanpa memberikan penjelasan komprehensif terkait alasan
konseptual yang melandasinya dan penjabaran tentang isi kewenangan HGR
tersebut. Sejauh mana urgensi pembentukan HGR jika terhadap Pasal 4 Ayat (2)
UUPA dapat dilakukan interpretasi ekstensif sehingga terhadap penggunaan
ruang di bawah tanah jika pemegang haknya berbeda dengan pemegang hak di
atasnya dapat diberikan HGB/HP (bawah tanah) yang isi kewenangannya mutatis
mutandis sama dengan HGB/HP menurut UUPA. Untuk penggunaan ruang bawah tanah
yang berbeda adalah teknis pendaftarannya.
Keenam, pendapat
otoritas pertanahan bahwa WNA dapat memiliki unit apartemen dengan hak pakai
(HP) yang jangka waktunya ”seumur hidup pemegang hak” atau sepanjang pemegang
hak masih mempunyai izin tinggal di Indonesia. Pendapat ini jelas
bertentangan dengan Pasal 41 UUPA jo PP No 40/1996 di samping bertentangan
dengan konstitusi sesuai putusan MK No 21,22/PUU-V/2007 (Maria Sumardjono, ”Properti untuk Orang Asing”, Kompas, 24 /7/2015).
Ketujuh, usulan
reformasi UUPA yang disusun Tim Konsultan ADB, 2 Juli 2010 (TA 7038-INO: Enhancing the Legal and
Administrative Framework for Land) yang antara lain menekankan prioritas
pendaftaran tanah sebagai instrumen untuk memfasilitasi keberadaan pasar
tanah (tanah sebagai komoditas!). Juga diusulkan untuk menggantikan asas
pemisahan horizontal dengan asas vertikal yang jelas berbeda kerangka
dasarnya (hukum adat vs hukum Barat). Demikian juga usul penyederhanaan jenis
hak atas tanah menjadi hak milik (HM) dan HP berdasarkan analoginya dengan Freehold dan Leasehold dalam sistem hukum Anglo Amerika, tanpa memahami bahwa
sesuai Pasal 5 UUPA dalam konsepsi pemilikan tanah menurut hukum adat dikenal
adanya HM dan HP. Berbagai contoh sesat pikir itu menunjukkan pengeroposan
UUPA terjadi ketika UUPA masih berlaku.
Masa depan UUPA
Mengingat posisi UUPA
yang dilematis itu (Maria Sumardjono , ”Quo Vadis UUPA”, Kompas, 24/9/2010),
pertanyaan ”apakah” UUPA dapat/tidak dapat diubah menjadi tak relevan. Yang
lebih mendasar, ”kapan” UUPA masih diperlukan atau sudah tak diperlukan lagi
keberadaannya? Jika perubahan/ revisi/penyempurnaan UUPA itu dilakukan
terhadap substansi yang khusus mengatur tentang pertanahan dengan cara
melengkapi dan menyatukan aturan pelaksanaan UUPA yang tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan serta meluruskan tafsir yang menyimpang
dari UUPA, selama pasal-pasal yang substansial ditujukan untuk semua SDA
belum diakomodasi dalam suatu UU yang bersifat lex generalis sebagaimana intensi awal UUPA, terbitnya UU tentang
Pertanahan itu tidak serta merta dapat meniadakan berlakunya UUPA.
Oleh karena itu, ke
depan masih ditunggu transformasi UUPA dalam suatu UU tentang Pertanahan (lex specialis) dan suatu UU yang
ditujukan untuk mengatur prinsip-prisip pemilikan/penguasaan SDA (lex generalis). Dalam merancang kedua
RUU itu, di samping berlandaskan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 perlu
dilandasi dengan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam sesuai TAP MPR No IX Tahun 2001 dan putusan MK yang relevan.
Sementara kedua UU itu
belum terbit, seyogianya dihentikan pengeroposan UUPA melalui
kebijakan/peraturan perundang-undangan pertanahan yang cenderung pragmatis
dan abai terhadap konsepsi dasar UUPA. Di samping secara normatif merusak
sistem hukum, kebijakan pertanahan ”jalan pintas” itu berpotensi memicu
kesenjangan yang kian parah dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan
tanah serta semakin memicu terjadinya konflik/sengketa pertanahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar