Spirit Kosmopolitanisme Islam
Masdar Hilmy ; Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel
|
KOMPAS,
23 September 2015
Tepat pada hari ini,
Rabu (23/9), tidak kurang dari 1,4 juta anggota jemaah haji dari penjuru
dunia tengah berwukuf di padang Arafah. Secara leksikal wukuf bermakna
berdiam, berhenti, di sebuah tempat. Wukuf adalah bagian dari rukun haji,
sebuah ritual wajib dari seluruh rangkaian ibadah haji yang tanpanya ibadah
haji seseorang menjadi tak bermakna. Kata Nabi Muhammad SAW, al-hajju ’arafah (inti ibadah haji
adalah wukuf di padang Arafah).
Pertanyaannya, pesan
esoterik apa yang bisa digali dari ibadah haji, khususnya wukuf di Arafah?
Bagaimana agar pesan esoterik tersebut dapat ditransformasikan ke dalam
konteks kekinian di tengah meruyaknya spirit parokialisme-kauvinisme
keagamaan yang membabi buta? Bagaimana cara mengatasi mengentalnya politik
identitas keagamaan yang dimunculkan oleh gerakan-gerakan radikal seperti
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS)? Jawaban terhadap pertanyaan ini terangkum
dalam sebuah frasa: kosmopolitanisme Islam!
Universalitas + perbedaan
Secara sederhana,
kosmopolitanisme dapat dimaknai sebagai sense
of being part of the world, perasaan menjadi anggota atau warga dunia
yang satu. Dalam suasana kosmopolitan, batas-batas budaya bukan penghalang
bagi seseorang untuk melakukan mobilitas horizontal. Realitas sosial-budaya
yang berbeda justru menyediakan melting-pot bagi proses interaksi dan
dialektika antarbudaya tersebut. Perbedaan justru dapat menjadi faktor pemerkaya
bagi pendewasaan antarbudaya.
Kwame Anthony Appiah,
dalam karyanya Cosmopolitanism: Ethics
in a World of Strangers (2007), secara sederhana mendefinisikan
kosmopolitanisme sebagai ”universality
plus difference,” universalitas ditambah perbedaan. Menurut dia, poin
universalitas harus didahulukan sebelum perbedaan. Hal ini penting untuk
menyublimasikan aspek perbedaan dalam kerangka universalitas nilai-nilai
kemanusiaan. Budaya yang berbeda harus dihormati bukan karena ia penting di
dalam dirinya, melainkan karena manusia jauh lebih penting dan harus
ditempatkan di atas segala-galanya sebagai pemilik budaya.
Pola hidup
kosmopolitan diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai kerelaan untuk
memasuki, menyelami, dan merasakan realitas sosial-budaya yang berbeda dalam
semangat empati dan memberikan respek bagi setiap perbedaan yang dijumpainya.
Proses penyelaman terhadap budaya yang berbeda tersebut memungkinkan
seseorang untuk berdialog, saling ”menginterogasi” dan bahkan saling bertukar
nilai-nilai budaya.
Sepanjang perjumpaan
antarbudaya, mungkin saja muncul reaksi dan justifikasi subyektif atas budaya
eksternal. Hal ini bukan dalam rangka disamakan atau diseragamkan, melainkan
dibiarkan untuk tetap ada agar terjadi proses pembelajaran antarbudaya yang
berbeda.
Ibadah haji, terutama
wukuf di Arafah, adalah eksemplar ritual yang mengandung dimensi interaksi
dan pertukaran budaya paling tinggi, tetapi tetap dalam spirit penghormatan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Di situlah setiap orang
diperlihatkan ragam budaya dari penjuru dunia tanpa harus mempertanyakan
suku, ras, atau warna kulit seseorang, semata-mata agar dia mau belajar
saling memahami dan menghormati budaya orang lain.
Pengalaman masa lalu
Memang agak muskil
ketika kita menarik benang merah antara kosmopolitanisme haji dan kenyataan
empiris umat Muslim dewasa ini di sejumlah wilayah yang masih dilanda konflik
kekerasan dan peperangan. Bagaimana mungkin Islam yang awalnya sangat
kosmopolitan bisa tampil dalam wajahnya yang begitu tidak kosmopolit?
Akibatnya, mungkin saja banyak orang mengernyitkan dahi ketika mendengar
istilah kosmopolitanisme Islam. Di benak mereka, penyandingan Islam dengan
kosmopolitanisme terkesan oksimoron, contradictio in terminis.
Meskipun demikian,
entitas Islam kosmopolitan bukanlah angan-angan. Keberadaannya terjustifikasi
oleh teks suci ataupun realitas empiris umat Muslim. Islam merupakan salah
satu agama yang mendorong para pemeluknya untuk melakukan mobilitas
horizontal dalam rangka mencari dan menciptakan kemakmuran di muka bumi.
Tidak terhitung jumlahnya ayat-ayat Al Quran yang berbicara tentang hal ini.
Al Quran juga mengajarkan umatnya untuk melakukan proses interaksi budaya,
bukan untuk memusuhi dan mematikan budaya orang lain, melainkan agar saling
mengetahui dan mengenalnya (QS 39:13).
Terkait dengan watak
dasar kosmopolitanisme Islam, Bruce Lawrance (2012) menegaskan bahwa ”Islam is radically cosmopolitan in its
origins”. Islam pada awalnya sangatlah kosmopolitan. Ia bisa menerobos
belantara budaya asing dan bahkan menggantikannya sebagai budaya dominan di
banyak tempat tanpa pertumpahan darah. Terlahir di jazirah Arab, Islam
menyebar ke seluruh penjuru mata angin dengan cepat: dari Kordoba hingga Asia
Tenggara, dari Nil ke Oxus. Marshall GS Hodgson dalam The Venture of Islam (1974; volume 2) menyebut peradaban Islam
yang demikian ini dengan istilah ”Islamicate”.
Di masa lalu,
kota-kota besar tumbuh jadi kota kosmopolitan di bawah patronase imperium
Islam. Penerjemahan ilmu pengetahuan dari Yunani, Tiongkok, dan India
mengalami puncaknya pada abad XI. Proses asimilasi dan adopsi budaya, dari
dan ke Arab-Islam, bukanlah hal asing. Penggunaan astrolabe yang diadopsi
dari imperium Byzantium untuk kepentingan shalat lima waktu buktinya.
Keberterimaan dan
kepenganutan terhadap Islam di berbagai tempat merupakan bukti kualitas
kosmopolitanisme agama ini. Proses konversi yang terjadi di Nusantara juga
meneguhkan kenyataan kosmopolitanisme Islam. Pola penetrasi budaya bukanlah
penetrasi yang menyakiti, menistakan, dan merendahkan budaya lain, melainkan
malah merangkulnya. Terciptanya genre budaya baru sebagai konsekuensi
persilangan budaya di antara dua tradisi yang berbeda merupakan realitas tak
terbantahkan. Kenyataan demikian tidak untuk diratapi, tetapi dirayakan
sebagai buah kreativitas dan kelenturan budaya dalam Islam.
Jalan aksiologis
Memang tersua
resistensi ”kecil” di kalangan Muslim puris atas persilangan budaya ini.
Mereka menuduh para pelaku asimilasi budaya atas tuduhan ”peniruan” (tashabbuh). Menurut kaum puris,
asimilasi budaya dilarang karena dapat menggerus eksistensi ajaran Islam.
Namun, menurut al-Biruni, salah seorang filosof Muslim terbesar dari Persia,
proses asimilasi budaya yang dapat memperkaya khazanah peradaban Islam
bukanlah hal buruk. Secara sarkastik dia menegaskan, ”Bangsa Romawi juga
makan. Maka, jangan tiru perilaku mereka!”
Kondisi geopolitik
dunia butuh etos kosmopolitan yang diderivasi dari sumber-sumber normatif dan
empiris agama. Pesan esoterik ibadah haji adalah bagaimana agar
kosmopolitanisme menjadi etos peradaban umat Muslim yang tengah menghadapi
ancaman ekspansi ideologi radikal yang membabi buta. Spirit kosmopolitanisme
bukanlah sebentuk bidah yang dilarang agama, melainkan jalan aksiologis yang
niscaya dalam mengatasi berbagai tekanan sosial-budaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar