Bergeming Setelah Pidato ”Rating”?
Effendi Gazali ;
Peneliti Komunikasi Politik;
Berkesempatan Menyelesaikan
Disertasi Bersama Profesor Denis McQuail:
Penulis Buku-buku Teks Utama
tentang Media Performance
|
KOMPAS,
26 September 2015
Jokowi telah membuat
sejarah. Baru pertama kali kata ”rating” disebut khusus dalam pidato
kenegaraan. Bahkan pada pidato kenegaraan pertamanya di depan MPR.
Dalam kesempatan itu
Jokowi antara lain menyatakan, ”Lebih-lebih,
saat ini ada kecenderungan semua orang merasa bebas, sebebas-bebasnya, dalam
berperilaku dan menyuarakan kepentingan. Keadaan ini menjadi makin kurang
produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibanding memandu publik
untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif. Masyarakat
mudah terjebak pada ’histeria publik’ dalam merespons suatu persoalan,
khususnya menyangkut isu-isu yang berdimensi sensasional.”
Mengapa ”rating”?
Belum seluruh rakyat
Indonesia memahami apa itu rating
yang dimaksud Presiden. Namun, sebagian besar anggota MPR dan hampir semua
insan media akrab dengan rating.
Sederhananya, rating dapat berarti
pemeringkatan berdasar jumlah khalayak yang diperoleh suatu sajian media. Di
sana-sini ia dipertukarkan dengan ”sharing”
yang mengacu pada seperberapa bagian jumlah khalayak yang diperoleh itu.
Dari sisi ilmu
komunikasi mana pun, rating diperlukan. Ia merupakan pedoman, utamanya bagi
pemasang iklan untuk mengekspos produknya ke sebanyak mungkin khalayak. Tentu
akan ada segmen-segmen khusus untuk produk yang akan disesuaikan dengan
karakteristik khalayak yang terekam dari rating.
Masalah rating
sederhananya hanya dua. Pertama, apakah rating diukur dengan benar. Ini
persoalan validitas dan reliabilitas. Mahasiswa yang lulus pelajaran
statistik seyogianya bisa melakukan evaluasi. Pertanyaannya: konsistenkah
rating di Indonesia dievaluasi, atau lebih tepatnya diaudit?
Dalam hal tersebut,
sudah puluhan tahun pengguna rating di Indonesia relatif bergeming. Malah isu
dialihkan menjadi: kalau tidak suka dengan yang ada, silakan membuat rating
lain. Lalu hegemoni kapitalisme mutakhir langsung akan menyerbu. Kalau mau
membuat rating lain, haruslah yang setara. Istilah yang lazim digaungkan
”apple-to-apple”. Belum lagi, mana mungkin melawan mereka. Pengalamannya sudah
puluhan tahun. Juga telah beroperasi di puluhan negara. Bahkan memiliki
teknologi waktu riil dan alat pencatat berteknologi termutakhir.
Padahal, belum banyak
fakta ilmiah yang menyatakan teknologi tertentu yang termutakhir jauh lebih
baik dalam mencatat apa itu ”menonton televisi”. Justru rekaman penelitian
menunjukkan pemirsa tertidur di depan televisinya. Bahkan kadang hanya hewan
peliharaan yang sedang menonton. Dalam pendekatan yang sangat kualitatif, apa
yang terjadi kalau sekelompok orang sedang sepakat memaki-maki sebuah
tayangan televisi selama sepuluh menit misalnya? Maka, selama itu—sebelum
mereka pindah saluran—mereka tercatat sebagai bagian khalayak yang menonton
dalam konteks ”menyukai” tayangan tersebut.
Beberapa pihak kini
menyambut pidato Presiden dengan membuat sebuah rating. Kita belum tahu
apakah ini akan terus- menerus, misalnya untuk enam bulan. Atau hanya sebagai
sebuah stil foto untuk melakukan semacam audit. Yang jauh lebih substansial
sebetulnya adalah mendirikan Konsil Rating Media. Di Amerika hal tersebut
didirikan atas perintah Kongres sejak 1960-an. Tujuannya konkret. Satu,
memastikan rating itu valid, reliabel, dan efektif. Dua, memastikan kriteria
etika dan transparansi minimal kepada publik. Tiga, dapat melakukan audit terhadap
proses rating. Empat, juga memberikan akreditasi.
Jadi, gebrakan membuat
rating di luar penyedia jasa yang ada tentu bermanfaat. Namun, bagaimana
kalau hasil dari dua (atau bahkan tiga) rating berbeda? Di situlah justru
kehadiran Konsil Rating Media lebih substansial! Boleh saja punya satu rating
asal memang valid dan reliabel
setelah diaudit pihak kompeten dan punya otoritas. Sebaliknya, akan baik pula
kalau Konsil Rating Media mengumumkan tidak ada hasil rating yang sementara
ini valid dan reliabel daripada insan media serta khalayak disesatkan oleh
pedoman yang keliru!
”Rating” itu dewa
Persoalan kedua dengan
rating menyangkut bagaimana menggunakannya. Katakanlah telah ada satu rating
teraudit. Tentu dia memetakan inilah selera pasar. Pertanyaannya: apakah
seluruh selera pasar harus dipenuhi. Sebagian menjawab ya, utamanya untuk
menghibur karena rakyat sudah lelah dengan beban hidup. Lebih banyak lagi
ahli ilmu komunikasi menjawab tidak! Siapa pun yang lulus dari departemen
atau fakultas ilmu komunikasi tidak layak mendewakan rating. Inilah yang
kadang disebut sebagai lulusan tukang. Mereka seperti tidak pernah terpapar
kuliah filosofi komunikasi.
Tegasnya: ketika
rating menunjukkan selera pasar sedang berjalan ke arah berlawanan dengan
nilai-nilai keutamaan bangsa, Jokowi (senada dengan ribuan ilmuwan komunikasi
dari aneka masa) menyatakan harus ada upaya memperbaiki selera pasar
tersebut! Karena itu, dalam Konsil Rating Media harus masuk juga organisasi
pemasang dan pembuat iklan karena merekalah yang punya uang. Mereka yang
sesungguhnya menentukan mau bergeming dengan selera pasar atau
memperbaikinya.
Keadaan di tanah air
kita sekarang terbalik. Direktur program TV yang bisa menebak dan menjaga
selera pasar telah dipuja-puja bagai dewa. Bahkan pemilik stasiun umumnya
takut kalau mereka ngambek atau pindah. Produser acara sibuk belajar tren apa
yang sedang harus diikuti agar kebagian rating. Mulai dari merumuskan judul,
memilih pengisi acara yang ”ramah rating”, sampai apakah hari ini harus
berkonflik sensasional atau memelas di layar televisi.
Pemasang iklan
cenderung diam. Mungkin sampai suatu saat kalau anggota keluarganya terkena
dampak tindakan kekerasan, budaya instan, narkoba, dan tak produktif. Itu pun
barangkali hanya sampai tingkat individu.
Berbagai artikel dan
surat pembaca di Kompas telah memprotes selera ini dengan keras. Pemerhati
kebudayaan Indra Tranggono dalam tulisan ”Revolusi Mental Belum Terjadi”
(Kompas, 8/1/2015) mempertanyakan bagaimana revolusi mental bisa dilangsungkan
jika menghadapi para penguasa modal industri hiburan di televisi saja
pemerintah dan penyelenggara negara tidak mampu? Victor Menayang (alm), ketua
pertama Komisi Penyiaran Indonesia, dalam diskusi di Leiden (2002) pernah
menyatakan, media massa tidak boleh dikelola dengan pemikiran ”economic animal”.
Sementara itu, guru
besar komunikasi Dedy Nurhidayat (alm) justru selalu mengharapkan masyarakat
sipillah yang meneriakkan hal ini. Hampir mustahil terdengar dari pasar. Dan,
selama sejarah Indonesia, belum pernah disuarakan (oleh) Istana.
Kini, justru Jokowi
yang melantangkannya. Fakta memang memperlihatkan hasil rating cenderung berjalan berlawanan dengan proses revolusi
mental. Setelah sebulan pidato berlalu, apakah DPR, Kemenkominfo, KPI, dan
masyarakat sipil telah tepat mengelola momentum ini. Atau memilih bergeming
seperti beberapa dekade terakhir? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar