Pengungsi Korban Konflik
Bagong Suyanto ; Dosen Pascasarjana FISIP Universitas
Airlangga
|
KOMPAS,
19 September 2015
Di balik terjadinya
konflik sektarian, perang, dan penindasan yang terjadi di sejumlah negara,
salah satu imbas masalah yang saat ini menarik perhatian dunia adalah nasib
para pengungsi (refugees).
Kisah menyedihkan dan
bagaimana seharusnya menangani nasib para pengungsi akibat konflik ini
sebetulnya isu lama. Namun, isu ini kembali mencuat tatkala masyarakat luas
menyaksikan nasib tragis seorang bocah pengungsi asal Suriah yang tewas
mengenaskan di pantai dekat kawasan wisata Bodrum, Turki.
Foto-foto kematian
Aylan Kurdi (3 tahun) yang beredar luas di media sosial dan dunia maya tidak
hanya membetot rasa haru masyarakat, tetapi juga berhasil meluluhkan hati
para pemimpin dunia untuk lebih peduli nasib pengungsi.
Dalam lima tahun
terakhir, arus para pengungsi dari sejumlah negara yang dilanda konflik
dilaporkan terus meningkat. Sejumlah negara tujuan, seperti di Eropa dan Australia,
tak banyak yang peduli. Bahkan, beberapa negara, seperti Jerman dan Inggris,
enggan turut andil dalam menangani nasib pengungsi. Namun, akibat kisah
kematian Aylan Kurdi, kakak, dan ibunya itu banyak diekspos ke media massa,
kini para pemimpin dunia pun mulai terketuk hatinya.
Sejumlah negara di
Eropa dan di luar Eropa telah menyatakan kesediaannya memperbesar kuota
penerimaan pengungsi.
Korban konflik
Pengungsi pada
dasarnya adalah individu atau kelompok masyarakat yang tidak lagi merasakan
kedamaian dan keamanan serta kehilangan perlindungan di negara mereka sendiri
akibat perang, konflik sektarian, ataupun karena ulah penguasa setempat yang
kejam. Para pengungsi ini umumnya orang-orang atau keluarga yang terpaksa
melintasi perbatasan internasional untuk mencari perlindungan akibat ancaman
keamanan dan situasi politik yang tidak menentu.
Lebih dari sekadar
karena tidak memiliki pekerjaan dan tempat tinggal, para pengungsi lari
mencari perlindungan ke luar negeri karena mereka takut akan menjadi korban
penyiksaan, entah itu akibat perbedaan ras, agama, sebagai kelompok
minoritas, ataupun karena perbedaan ideologi politik tertentu.
Konflik yang terjadi
antara pejuang Kurdi dan milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS),
perang yang terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah, dan berbagai tindak
penindasan yang terjadi di negara komunis menyebabkan sebagian warga
masyarakatnya nekat lari ke luar negeri agar tidak ikut menjadi korban.
Ketakutan akan keselamatan di negeri sendiri menyebabkan ribuan, bahkan
ratusan ribu penduduk korban perang, lebih memilih mengungsi ke sejumlah
negara yang memungkinkan untuk dijangkau.
Di sejumlah wilayah
konflik, ancaman yang dihadapi warga masyarakat bukan hanya kelaparan dan
kedinginan, melainkan yang mengerikan adalah ketika sanak keluarga mereka
menjadi korban penculikan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Di Damaskus, Suriah,
misalnya, tak sedikit warga menjadi korban pembantaian akibat perang saudara.
Di Irak dan Suriah, sebagian warga juga jadi korban pembantaian dan
pemerkosaan milisi NIIS.
Hidup tanpa
perlindungan pada akhirnya menyebabkan banyak warga masyarakat nekat
menerobos ganasnya lautan dan kawat pagar berduri untuk mencari kehidupan
yang lebih aman dan menjanjikan. Dengan naik kapal atau lebih tepatnya perahu
yang jauh dari layak, ribuan orang ditengarai tewas sebelum tiba di tanah
impiannya.
Sebagian warga
pengungsi lain yang beruntung mungkin telah berhasil mendarat dan tiba di
negara tujuan mereka. Namun, karena politik suaka dan kebijakan negara yang
kurang peduli pada nasib para pengungsi, akhirnya nasib mereka pun hingga
kini banyak yang masih terkatung-katung. Berhasil keluar dari daerahnya yang
tengah berkonflik bukan berarti nasib para pengungsi itu bakal lebih baik.
Kebijakan politik dan keterbatasan
dana serta kurangnya kepedulian negara-negara tujuan pengungsi sering
mengakibatkan para pengungsi dan keluarganya hidup terkatung-katung. Kisah
para pengungsi adalah kisah yang sarat dengan air mata kesedihan,
kesengsaraan, dan hal itu makin menjadi-jadi tatkala kepedulian bangsa-bangsa
seolah tumpul.
Hathaway (1991) dalam
bukunya The Law of Refugee Status
menyatakan, persoalan yang kerap kali dihadapi para pengungsi adalah
ketidakjelasan status mereka di mata hukum, dan hal itu mengakibatkan posisi
tawar pengungsi akibat konflik menjadi lemah meskipun dari segi hak asasi
manusia mereka sesungguhnya berhak memperoleh perlakuan yang bermartabat dan
komitmen dari negara-negara yang menjadi tujuan pengungsi.
Skema penanganan
Di era setelah Perang
Dingin, para pengungsi yang keluar dari negara komunis dan kemudian lari ke
luar negeri biasanya diberi perlindungan oleh negara-negara Barat yang
pro-Amerika karena lebih didasari pertimbangan politik dan ideologis daripada
pertimbangan kemanusiaan. Setelah Perang Dingin, apa yang menjadi dasar
sebuah negara mau menerima pengungsi?
Setelah Perang Dingin,
negara-negara maju, seperti Uni Eropa, Australia, dan Amerika, cenderung tak
lagi bersikap longgar terhadap pengungsi. Para pengungsi yang berjuang untuk
menyelamatkan diri dan anggota keluarganya lebih sering dipandang sebagai
pencari kerja atau bahkan dianggap sebagai beban dan ancaman daripada
dipahami sebagai korban situasi politik dan orang yang tengah mencari
keselamatan.
Dengan melihat
pengungsi sebagai pencari kerja, para pemimpin negara tujuan pengungsi pun
menjadi berhati-hati dan tak lagi mudah menerima pengungsi. Di tengah kondisi
perekonomian Uni Eropa sendiri yang melemah dan dalam krisis serta karena
situasi lapangan kerja di negara mereka yang juga tengah melambat, tentu
keputusan untuk menampung pengungsi harus dilakukan ekstra hati-hati.
Kepala Badan Pengungsi
PBB dalam berbagai forum telah berkali-kali menyerukan agar Uni Eropa yang
menjadi salah satu negara tujuan para pengungsi bersedia menyediakan paling
tidak 200.000 tempat relokasi dan mau membantu menangani nasib para pengungsi
yang tidak menentu. Meski sejumlah pemimpin Uni Eropa, seperti Jerman,
Perancis, dan Spanyol, telah menyatakan sepakat menangani persoalan pengungsi
dengan cara menambah kuota penampungan, bagaimana skema pasti tentang nasib
dan upaya penanganan pengungsi ke depan hingga kini mereka masih meraba-raba.
J Benthall (1993)
dalam bukunya Disaster, Relief and the Media melaporkan bahwa selama ini di
berbagai media, kisah dan upaya penanganan para pengungsi sering kali masih
digambarkan dengan berbagai aksi pengumpulan dana dan cenderung memersepsikan
pengungsi dengan kesengsaraan, ketidakberdayaan, dan ketergantungan yang
hanya membutuhkan bantuan-bantuan ekonomi. Padahal, lebih dari sekadar
bantuan untuk menyambung hidup dan bantuan kebutuhan dasar, seperti makan,
tempat tinggal, dan pakaian, tak kalah penting para pengungsi butuh
penanganan yang lebih mendasar berkaitan dengan proses rehabilitasi
sosial-psikologis yang mengendap di kepala mereka.
Sebagai korban
konflik, para pengungsi niscaya mengidap rasa trauma dan guncangan kejiwaan
yang mendalam. Mereka adalah orang-orang yang tumbuh dengan jiwa yang
terluka, yang jika tidak ditangani dengan benar, bukan tidak mungkin di masa
depan kehidupannya bisa terjerumus menjadi bagian dari orang-orang yang
mengidap dendam kesumat yang mendalam. Seperti dikatakan Malkki (1990), para
pengungsi sesungguhnya orang-orang yang berada pada situasi liminalitas atau
situasi antara, yang sangat rentan terjerumus ke dalam sikap inferior atau
sebaliknya berkembang menjadi orang yang berpotensi mengembangkan perilaku
radikal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar