Kegelapan adalah Anugerah
Herry Tjahjono ; Terapis Budaya Perusahaan
|
KOMPAS,
03 September 2015
Tamparan demi tamparan krisis semakin pedas terasa. Kehidupan
semakin sulit, rasa frustrasi menyeruak di mana-mana.
Situasi krisis beranalogi dengan kondisi kegelapan. Dan, dalam
kegelapan, yang muncul cenderungrespons frustrasi: meraba-raba, menabrak
kanan-kiri, memaki-maki. Maka, unjuk rasa buruh pada 1 September 2015adalah
sebagian dari respons frustrasi terhadap kegelapan itu.
Namun, benarkah kegelapan atau krisis harus dimaki-maki?Jepang
dan Jerman hanya sebagian kecil contoh negara yang menjadi besar karena mampu
melewati krisis dan memenanginya. Keduanya adalah negara yang kalah perang
dan berada dalam situasi krisis puncak saat itu—kegelapan total —tetapi dari
sanalah mereka justru mampu keluar menjadi bangsa maju.
Memaki-maki
kegelapan
Sementara kita bangsa Indonesia sejak kemerdekaan langsung
menikmati anugerah alam dan negeri yang gemah ripah loh jinawi dan berujung
pada ninabobonyanyian ”tongkat kayu jadi tanaman”. Namun, bukan berarti kita
tak pernah menghadapi krisis. Kita juga mengalami krisis demi krisis, tetapi
kita jadi rentan terhadap krisis.
Respons kita terhadap krisis atau kegelapan bukan berorientasi
pada mencari titik terang, melainkan sibuk dengan kegelapan itu sendiri. Kita
memaki-maki kegelapan itu, kita sibuk dengan rasa frustrasi kita. Ini bukan
hanya di level rakyat, melainkan juga para pejabat dan pemimpin negeri ini.
Perilaku elite yang sibuk dengan kegelapan itu sendiritecermin
dari berbagai perilaku frustrasi: saling serang atau pertentangan
antarmenteri, menteri dengan wakil presiden, wakil presiden dengan presiden,
mantan presiden dan presiden, wakil rakyat dengan gubernur, dan seterusnya.
Perilaku saling incar satu sama lain, perilaku saling menyalahkan, mencari
kambing hitam. Rakyat, para elite, dan pemimpin sama-sama terjebak dalam
kegelapan yang sama dan kesibukan yang sama.
Korea Selatan termasuk bangsa yang piawai mengelola krisis dan
memenanginya, bahkan sikap mental mereka mendarah daging ke segenap dimensi
kehidupan.
Contoh konkret adalah apa yang disampaikan Lee Kun-hee, tokoh
kunci kebangkitan Samsung: karyawan tidak boleh puas meski sedang berada di
puncakdan harus selalu merasa dalam keadaan krisis.Sebab, persaingandunia
industri sangat ketat. Kesadaran akan krisis adalah kebutuhan tiap waktu.
Samsung harus berpikir dan bekerja lebih keras dari sebelumnya. Kita pun
sekarang tahu kenapa Samsung adalah raksasa industri yang disegani. Sementara
Korea Selatan berhasil lebih dulu menjadi bangsa maju meski umur
kemerdekaannya relatif sama dengan kita.
Alergi kita terhadap krisis itu bahkan tecermin dari cara kita
mengartikan kata krisis itu sendiri. Cara kita mengartikan krisis ini
berpengaruh besar pada cara kita menyikapi krisis. Meminjam uraian Rhenald
Kasali (Kompas.com, 31 Agustus 2015): ”…di Barat, krisis dimaknai sebagai
’sebuah titik belok’—for better or for worse. Di Tiongkok, ia sebagai wei-ji
yang artinya ’kesempatan’ atau ’peluang’ dalam bahaya”.
Namun, di sini, di Indonesia, John Echols dan Hassan Shadily
(Kamus Bahasa Inggris-Indonesia) menjelaskan krisis sebagai sebuah situasi
yang gawat, genting, atau kemelut. Sebagai tambahan, dalam konteks lain,
Dahlan Iskan secara implisit sesungguhnya berbicara tentang esensi wei-ji ini
saat mengulas kehebatan Tiongkok dalam mengatasi tantangan dan krisis,
termasuk krisis ekonomi saat ini, dengan melakukan devaluasi atas yuan.
Belajar dari sejarah dan orang-orang besar yang telah memenangi pertempuran
dengan berbagai krisis terbesarnya, perlu disampaikan dua sikap mental
terkait kegelapan/krisis sebagai berikut.
Pertama, kegelapan bukanlah fokus, melainkan setitik sinar di
ujung terowongan. Jika kita terfokus pada kegelapan terowongan, respons kita
ditentukan oleh kondisi yang ada dalam kegelapan itu sendiri. Jika kondisi
serba krisis, penuh tekanan, kita kehilangan spirit, cenderung meringkuk,
atau paling tidak sekadar mengamankan diri. Kita akanmenjadi pecundang
kehidupan. Jalan keluar dan sukses adalah penantian, tergantung apakah
kondisi berpihak kepada kita atau tidak. Namun, jika kita fokus pada setitik
sinar terang, meski ia ada di ujung terowongan, segelap apa pun situasi di
sekeliling kita, hidup menjadi pilihan tanpa pusing dengan kondisi kegelapan
di sekitar. Kita yang akan menentukan untuk jadi pemenang yang tetap positif
dan penuh daya hidup menyapa kehidupan.
Kedua, lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.
Pepatah Tiongkok inilah yang membuat bangsa itu cenderungmampu berkelit dari
masa sulit dan terus jadi lebih besar seusai krisis. Sementara kita lebih
gemar mengutuk dan memaki-maki kegelapan itu sendiri, setidaknya menyalahkan
nasib. Itu tidak akan mengubah apa pun, situasi di sekitar kita, juga tidak
diri kita sendiri.
Mari
menyalakan lilin
Dalam konteks bangsa kita saat ini, pemecahan masalah krisis tak
bisa kita serahkan sepenuhnya kepada para pemimpin atau pemerintah. Setiap
warga negara wajib menyalakan lilin masing-masing. Sekecil dan sesuram apa
pun lilin kita, mari mulai kita nyalakan. Sekecil apa pun yang kita punya
atau mampu, mari mulai kita berikan dan kerjakan maksimal.
Pemerintah dan pemimpin punya kewajiban menyalakan lilin-lilin
mereka sendiri. Namun, semua lilin mereka itu tak akan menyala benderang bagi
bangsa ini jika kita tak menyalakan lilin yang kita punyai. Berhenti mengutuk
kegelapan, nyalakan lilin.
Dua sikap mental itu akan mengubah cara pandang kita terhadap
kegelapan. Kegelapan atau krisis adalah anugerah, bukan lagi bencana. Saat
ini, sikap mental kita masih menganggap krisis sebagai bencana. Itu sebabnya,
perilaku kita adalah perilaku frustrasi yang sibuk dengan kegelapan dan
krisis itu sendiri. Maka, yang kita lakukan dalam kegelapan hanya terus
meraba-raba, saling tendang dan sikut, serta memaki kegelapan itu sendiri.
Ketika kegelapan menjadi anugerah, kita akan menjadi pemenang.
Jika sebaliknya, kegelapan sebagai bencana, nasib kita sebagai bangsa sudah
tergambar jelas: pecundang! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar