Belum Ada Tangga Turun untuk Rupiah
Ronny P Sasmita ;
Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia; Alumnus
Pascasarjana UI
|
MEDIA
INDONESIA, 28 September 2015
MENCERMATI tekanan internal dan eksternal yang
membuat rupiah sesak napas belakangan ini sebenarnya mirip memperhatikan
lemparan batu ke dalam lubuk sungai yang sejatinya berkemungkinan kecil untuk
mengapung kembali. Tak ada prediksi lain selain bahwa batu tersebut akan
mendarat mulus di permukaan terbawah dari lubuk sesuai yang dibayangkan.
Sejak masa akhir pemerintahan SBY sampai
setahun pertama pemerintahan Jokowi-JK, arah pergerakan rupiah sudah nyaris
‘confirmed’ melemah secara simultan. Data– data fundamental ekonomi nasional
terus menyemai efek psikologis market yang negatif kepada pasar. Pesimisme
semakin menggumpal yang akhirnya membuat pelaku pasar memilih untuk menunggu,
bahkan malah hengkang dari arena domestik menuju lokasi-lokasi yang lebih
pasti, stabil, dan menguntungkan.
Guncangan dari Tiongkok dan ketidakpastian
yang muncul akibat tarik-ulur kenaikan tingkat suku bunga The Fed telah
membuat segala daya dan upaya pemerintah bersama otoritas moneter menjadi tak
berpengaruh besar terhadap penguatan mata uang dan pasar ekuitas. Capital inflow semakin sulit didorong
meskipun surat utang terus membukukan penjualan yang hampir mendekati limit
APBN 2015.
Bahkan, Bank Indonesia (BI) memprediksi
kondisi ekonomi Indonesia sampai semester I tahun depan belum akan
menunjukkan perbaikan signifi kan. Prediksi ini tentu sangat bisa dipahami
jika melihat data-data indikator ekonomi yang ada. Lihat saja misalnya, data
defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) dan defisit
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Secara historis, kondisi defi sit dua sisi
ini sebenarnya jarang terjadi karena jika dilihat data dari tahun ke tahun
sejak akhir 2011 hingga sekarang, Indonesia hanya mengalami defi sit transaksi
berjalan saja.
Seperti sederhana, NPI mencatat transaksi
ekonomi antara penduduk Indonesia dan yang bukan penduduk Indonesia pada
suatu periode tertentu. Transaksi NPI terdiri dari transaksi berjalan, transaksi
modal, dan transaksi finansial, sedangkan neraca transaksi berjalan fokus pada
transaksi ekspor dan impor, baik barang maupun jasa, pendapatan investasi,
pembayaran cicilan, dan pokok utang luar negeri, serta saldo kiriman dan
transfer uang dari dan ke luar negeri.
Menurut BI, surplus baru akan terjadi ketika
situasi relatif tenang. Nah, situasi tenang tersebut diperkirakan hanya akan
berlangsung pada triwulan ketiga tahun depan. Artinya, pada triwulan III 2015
hingga triwulan II 2016, NPI diperkirakan masih akan tetap defisit.
Berdasarkan data saat ini, pada triwulan II
2015, defisit NPI yang sudah dialami Indonesia ialah sebesar US$ 2,93 miliar.
Defi sit terjadi karena surplus transaksi finansial turun ke posisi US$ 2,48
miliar dari US$ 6,31 miliar pada triwulan sebelumnya. Secara historis, Defi
sit NPI terakhir kali dialami Indonesia pada 2013 sebesar US$ 7,14 miliar.
Nah, dengan infl ow yang minim seperti inilah yang membuat BI akhirnya juga
ikut mengubah proyeksi pergerakan rupiah pada tahun depan, yakni dalam
kisaran Rp13.700 Rp13.900 per dolar AS.
Mengendurnya aliran dan arus dana masuk atau capital inflow, baik karena transaksi finansial
di dalam negeri yang kurang berprospek alias kurang menjanjikan maupun karena
kondisi ekonomi makro dalam negeri dan global yang cenderung menebar
kekhawatiran dan ketidakpastian, tentu akan menjadi duri domestik tersendiri
bagi rupiah untuk bangkit.
Sementara itu, gagalnya pemerintah dan pihak
legislatif dalam memproyeksikan perekonomian ke depan via APBN-P 2015 dan
APBN 2016 membuat kalkulasi-kalkulasi masa depan pelaku pasar pun ikut
meleset. Buyarnya proyeksi perekonomian pemerintah serta-merta akan membuat
rencana penerimaan negara pun meleset, baik dari sisi pajak maupun nonpajak.
Melesetnya kalkulasi penerimaan ini tentu buah dari melesetnya proyeksi
dinamika masa depan perekonomian secara keseluruhan yang akhirnya berlabuh
pada kekhawatiran perlambatan ekonomi untuk tahun ini dan tahun mendatang.
Sementara itu, tekanan secara global pun kian
tak bisa ditangkis. Data-data terbaru dari Tiongkok kian memperjelas masa
depan neraca perdagangan Indonesia dengan negeri panda yang notabene ialah
mitra dagang kedua setelah Amerika. Apalagi, setelah Asian Development Bank (ADB) memangkas proyeksi pertumbuhan
ekonomi negeri Tiongkok untuk tahun ini dan tahun depan menjadi masing-masing
6,8% dan 6,7%.
Penyusutan proyeksi ini jelas-jelas
mencemaskan Indonesia sebagai mitra dagang utama Tiongkok karena akan
serta-merta mengganggu stabilitas demand atas komoditas komoditas nonmigas
Indonesia. Jika demand terganggu,
kinerja produksi komoditas nonmigas dalam negeri pun akan terganggu.
Keuntungan
perusahaan akan terpangkas, pajak komoditas akan ikut menurun, dan masa depan
pasar tenaga kerja akan semakin suram yang kemudian akan mengganggu tingkat
konsumsi rumah tangga. Akhir proyeksi pertumbuhan akan terpeleset lagi.
Selain dari Tiongkok, gonjang-ganjing rencana
kenaikan tingkat suku bunga The Fed AS pun menebar ancaman tak berkesudahan
kepada ekonomi regional dan nasional. Di satu sisi, akan ada peluang bagus
untuk menggenjot ekspor karena rupiah yang terkulai tajam. Namun, di sisi
lain, tendensi penguatan dolar akibat ekspektasi kenaikan tingkat suku bunga
The Fed telah menekan harga minyak dunia dan komoditas-komoditas andalan dari
negara-negara emerging market,
termasuk Indonesia. Padahal, harga minyak dunia sudah terseok-seok menghadapi
kondisi pasokan yang berlimpah dan cadangan yang kian meningkat di
tengah-tengah lesunya permintaan.
Imbas semua ini terhadap mata uang rupiah
sangat bersifat segera. Lihat saja kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate
(Jisdor) pada Jumat (25/9) yang sudah mengintai level Rp14.700 per dolar AS.
Data yang diterbitkan BI pada hari itu menempatkan Jisdor di level Rp14.690
per dolar AS, merosot 67 poin, atau melemah 0,46% dari kurs pada Rabu (23/9).
Bagi pelaku pasar yang konsentrasi dengan pergerakan rupiah, level ini ialah
tanda-tanda akan munculnya level yang lebih tinggi lagi dalam beberapa hari
atau seminggu dua minggu ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar