1965 – Tahun Matahari Tenggelam: Sebuah Refleksi
Aboeprijadi Santoso ;
Wartawan; Pernah bertugas untuk Radio Nederland Seksi Indonesia
(1982-2007); Koresponden di Jakarta (2008-2012); Menulis di berbagai media
|
INDOPROGRESS,
16 September 2015
SEKITAR Lebaran 25
Desember 1965. Saya sudah lupa tanggalnya, tapi apa yang saya saksikan pada
hari-hari itu kemudian melekat di benak hingga sekarang. Kembali dari Malang
menuju Bandung, selepas Yogya, tiba-tiba semua kendaraan berhenti. Di jalanan
orang hilir mudik. Semua diam atau berbisik-bisik. Tak ada tentara. Ada yang
muram, setengah lari kembali ke rumah. Ada yang hanya saling pandang. Aneh,
tak ada riang selepas Lebaran itu. Yang ada kegalauan yang membuat kami –
kala itu saya masih di bangku terakhir SMA – masygul, terheran-heran ada apa
gerangan. Maka kami pun menuju tepi jembatan tempat banyak orang berkumpul
dan memandang ke bawah, ke sungai. Sejumlah jasad terkapar di pinggir dan
tengah sungai yang dangkal. Terkejut dan terhenyak sesaat, saya tak
menghitung jumlahnya. Yang pasti ada puluhan.
Mikrokosmos
Mereka menonton, diam,
lalu pergi. Pertama kali saya menyaksikan puluhan mayat manusia menjadi
tontonan publik dan membiarkannya. Kami pun melanjutkan perjalanan pulang.
Tak ada yang istimewa
dari kesaksian itu – kecuali bahwa hanya mimik dan raut wajah mereka menjadi
bahasa yang bercerita. Sebelumnya, sejak Oktober, sudah ada kabar media
tentang aksi-aksi “Basmi PKI” (Partai Komunis Indonesia). Kebanyakan orang
mungkin tak segera menyadari skala dan betapa mendalam apa yang terjadi bagi
masyarakat. Bandung memang bukan tempat yang tepat untuk merasakan getaran
drama dan tragedi yang tengah berlangsung. Tetapi, bahasa wajah di Jawa
Tengah tadi menunjukkan bahwa orang menyadari benar yang terjadi, bahwa
mayat-mayat terkapar di sungai itu hanyalah sebuah mikrokosmos dari
malapetaka yang lebih besar. Sebuah porsi lokal dari gambar besar yang
menjelma menjadi warna zaman. Meski diam, takut, atau berbisik-bisik,
khalayak desa menyadari sebuah tragedi sedang melanda bangsa ini – dan sebuah
aparat negara berada dibaliknya.
Inilah pembantaian
manusia terbesar di Nusantara sejak, sebutlah, anak buah Jan Pieterzoons Coen
membantai penduduk Pulau Banda, sejak aksi Kapten Westerling di Sulawesi
Selatan, sejak Jepang memaksakan Romusha, sejak aksi pemuda terhadap tawanan
Belanda di masa yang disebut ‘Bersiap’ 1945-46. Kini, dua dasawarsa setelah
merdeka, bangsa ini menjadi korban ketika setengah juta nila tumpah, merusak
sebelanga susu republik – yaitu republik hasil perjuangan bangsa itu sendiri.
Dua Zeitgeist
Tiga tahun kemudian,
1968, semasa mahasiswa di Leiden, Belanda, setiap hari saya bersepeda
melewati sebuah jembatan-gantung yang ditandai graffiti Soeharto Moordenaar
(Soeharto Pembunuh). Di Amsterdam beredar poster bertajuk ‘The Archipelago of
Prisons’ (Kepulauan Penjara) terbitan Amnesty International sekitar 1974.
Tahun 1968 hingga 1980an pergolakan di Dunia Ketiga mewarnai Eropa. Di
Belanda, guru besar sejarah dan sosiologi Asia Prof. Dr. W. F. Wertheim yang
memimpin Komittee Indonesie dan majalah Feiten en Meningen, memelopori kajian
kritis dan penyadaran masyarakat akan isu kediktaturan dan kekejaman di
Indonesia, tepat di saat Belanda memulihkan hubungan dengan Indonesia.‘Terug
van weggeweest’ (‘Belanda Kembali lagi ke Indonesia’), begitu istilah
sinisnya. Di Paris, semacam Mekkah gerakan mahasiswa tahun 1970an, filsuf
Jean-Paul Sartre menyulut kebangkitan cendekia dan perhatian dunia pada Dunia
Ketiga. Di Stockholm, filsuf Bertrand Russel menggugah nurani dunia melalui
Vietnam War Crime Tribunal (1971) dan mengingatkan bahwa di Indonesia dalam
enam bulan jatuh korban sebesar Perang Vietnam dalam beberapa dekade
(1954-1975). Sementara pemboman-permadani atas Kamboja melahirkan rezim Khmer
Rouge yang tak kalah kejam dengan rezim Orde Baru di Indonesia.
Betapa kontras zaman
telah memuncak. Di Dunia Ketiga, rezim-rezim di Asia dan Amerika Latin
menemukan ‘solusi’ Perang Dingin dengan jalan pintas berupa kediktaturan
militer dan pembantaian massa, di satu pihak, justru ketika di Eropa tuntutan
Zeitgeist (warna zaman) menyoal ‘solusi’ semacam itu dan di Amerika
masyarakat bangkit menentang Perang Vietnam, di lain pihak. Pada titik itulah
orang menohok hipokrisi dunia: percaturan negara (geo-politik) yang
mencurahkan perhatian besar terhadap kekejaman rezim komunis ala Khmer Merah
di Kamboja, tetapi pada saat bersamaan bungkam tentang pembantaian manusia
1965-1966, yang memukul sayap kiri di Indonesia.[1]
Kejahatan beranak-pinak
Tahun 1990-2000an,
konsep ‘Dunia Ketiga’ tadi lenyap dari khasanah publik, narasinya hilang dari
wacana dunia, dan tokoh-tokoh tadi telah tiada. Tetapi ‘1965’ masih melekat,
merasuki naluri masyarakat, menjadi trauma bangsa, dan kini perlahan tampil
di permukaan publik dengan upaya-upaya lokal menggali kuburan-kuburan massal,
fakta dan khasanah baru seputar tragedi itu. Pasca-1998, tahun ‘1965’ itu
terbit kembali. Ada yang menyebutnya ‘Prahara’, ada yang memilih istilah
‘Holocaust’ dari khasanah Nazi di Jerman 1940an yang lebih mengena bagi
Tragedi Besar ‘1965’.[2]
Di pertengahan 1990an
itulah seorang pemilik hotel di Kuta berkisah kalem tentang perburuan dan
pembunuhan di desanya bagaikan hal keseharian yang wajar saja – tanpa sesal
dan pahit. Sehari sebelumnya, seorang supir bus yang membawa saya ke kota
Denpasar bercerita serupa dengan semangat kebanggaan seorang jago – juga
tanpa sesal dan pahit. Menyesal saya tak merekam cerita mereka. (Bali saat
itu tempat transit dalam perjalanan tugas saya ke Timor Timur).
Betapa pun, setidaknya
orang mulai bicara – bahkan kepada orang dari luar desa mereka. Gejala-gejala
seperti itu menandai suasana zaman saat bintang Sang Jenderal Besar merosot,
legitimasi rezimnya mulai goyah, tapi juga saat tragedi-tragedi berdarah yang
membuka jalan bagi Orde Baru makin terungkap – bahkan berkepanjangan seperti
di Timor Timur dan Aceh.
Di provinsi ke 27 itu,
dunia memantau lebih intensif sehingga di akhir pendudukan militer di sana,
ketika gelombang kekerasan melandanya selepas jajak-pendapat Agustus 1999,
badan PBB UNAMET dapat menyimpulkan bahwa amuk ABRI dan milisi sepanjang paro
kedua September menjadi-jadi justru karena mereka kaget dan marah. Bukan saja
karena kalah dalam referendum, tapi karena kalah dan menjumpai situasi kebalikan
di tahun 1965-66, ketika mereka bisa menghabisi musuh-musuhnya dengan
leluasa.[3] Kehadiran ratusan pejabat asing, pengamat asing, LSM dan media
dunia menghalangi perburuan massal. Tapi, pada gilirannya, itu mendorong
aparat memacu operasi mendeportasi sekitar 200 ribuan warga Tim-Tim ke NTT
dalam tempo kurang dari seminggu, dengan mengerahkan truk-truk, kapal dan
Hercules. Saya menyaksikannya di kota Dili dan di bandara Comoro.
Di tahun yang sama,
akhir 1999, warisan ‘1965’ itu juga membayangi operasi tentara di Aceh. Rumah
Geudong, sebuah gedung mewah disewa oleh RPKAD untuk menjadi lokasi
pemeriksaan dan penyiksaan.[4] Sementara di desa Jim-Jim, juga di Kabupaten
Pidie, seorang ibu bercerita bagaimana tentara merendahkan martabat musuhnya
dengan menelanjangi seorang perempuan dan menyuruhnya lari memutari lapangan
volley. Tersangka separatis itu menjadi ‘hiburan’ bagi satuan serdadu yang
menyaksikannya. Seminggu kemudian, kembali ke Amsterdam, dalam wawancara
saya, mantan tokoh Gerwani Ibu Sulami bercerita bagaimana tahanan perempuan
‘dihukum’ lari telanjang mengelilingi sebuah kampung di Solo. Lapangan volley
di Aceh 1990an dan kampung di Solo 1970an itu cuma saksi bisu dari penistaan
yang sama. Bandingkan dengan ‘pameran’ kepala manusia di Kediri 1965[5] dan
foto kepala gerilyawan Fretilin dalam adegan pamer ‘kejayaan perang’ di
Tim-Tim 1980an. Sepercik kebuasan yang terwariskan.
Jadi, ‘1965’ adalah
tahun yang berkepanjangan. Dia berekor panjang berkat hegemoni
politik-ideologis yang memungkinkan impunitas berjalan laju, tapi juga karena
mewariskan metode dan juklak-juklak sanksi dan represi. Cara-cara itu bukan
monopoli tentara. Manakala perlu, intimidasi pun dilakukan terhadap pers oleh
sementara diplomat (saya mengalaminya di Paris dan di Den Haag awal 1990an)
dan oleh polisi (Jayapura, Papua, 2000).
Genosida
Walhasil, Tragedi
Besar 1965 itu sesungguhnya tak pernah berdiri sendiri. Dia semacam diskursus
dan model perilaku yang diprojeksikan ke depan, menjadi pola yang ditularkan
ke masa kini. Sebuah induk yang beranak-pinak berkat hegemoni kuasa, arus
ideologis, modus siksa, macho dan jagoisme – di Tim-Tim, di Aceh dan di
berbagai tempat pelanggaran HAM yang lain.
Sementara ‘1965’ itu
sendiri berskala luas, meliputi konsekuensi fisik, psikologis dan material
dari genosida, serial pembantaian massal, perburuan, penahanan, pemusnahan,
aniaya, kekerasan seksual, penghilangan-paksa, kerja-paksa, perbudakan,
pengasingan dirantau (eksil), stigmatisasi dan diskriminasi sosial-politik
dan rasial.[6]
Tragedi Besar 1965 itu
ibarat matahari tenggelam yang perlahan terbit kembali. Bayang-bayangnya mau
tak mau akan tampil – lagi dan lagi – di permukaan, karena ‘1965’ bukan
sekadar peristiwa, melainkan rangkaian kejahatan yang bertujuan spesifik
namun berdampak luas dan mendalam. Dengan kata lain, Genosida: sebuah proyek
dengan muatan niat dan tekad untuk menghabisi suatu kelompok spesifik –
kelompok tertuduh-politik – dengan dalih “terlibat” G30S,[7] dan berdampak
perubahan sosial dan politik yang luar biasa bagi masyarakat dan negara.
Agak mirip Spanyol
pasca-Franco di paro awal 2000, Indonesia pada dasawarsa yang sama
menyaksikan upaya-upaya awal untuk memproduksi memori masa silamnya yang
kelam – untuk setidaknya mencari kebenaran sejarah – melalui publikasi, film,
media, penggalian kuburan massal dan perdebatan tentang isu dan kisah-kisah
seputar 1965.[8] Kemudian ada upaya Komnas-HAM dan terobosan Joshua
Oppenheimer dengan kedua filmnya – ‘The Act of Killing’ (2012) dan ‘The Look
of Silence’ (2014) – yang menggugah kesadaran khalayak di Indonesia dan
menjadi momentum baru menjelang setengah abad ‘1965’.[9]
Syahdan, generasi baru
datang yang, mau tak mau, akan tampil dengan pertanyaan “apa yang terjadi”,
“mengapa, dan bagaimana, bangsa ini melakukan pembunuhan massal dan sejumlah
kejahatan terhadap sesama mereka sendiri”, dan “bagaimana mungkin kita selama
ini begitu lama mendiamkannya”.
Sebaliknya,
kekuatan-kekuatan yang berkepentingan tentu tak tinggal diam. Mereka akan,
dan telah, mengancam dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan “mengapa harus
minta maaf kepada musuh?” ketika pokok masalah sebenarnya adalah azas
keadilan dan reparasi bagi korban.[10] Atau menyerukan stereotip “kalau
mereka menang, kami-lah yang akan dibunuh” – persis senada seruan tokoh Nazi
Himmler tentang nasib bangsa Jerman yang bakal terpuruk jika kaum korbannya –
Yahudi – berkuasa. Di situ sejarah cuma diandaikan belaka, tapi toh ‘if
history’ itu menjadi mitos sekaligus perisai yang ampuh.
Semua itu seperti
mengatakan bahwa alasan-alasan politik layak menjadi dalih untuk menghabisi
nyawa manusia, yang juga sesama warga bangsa, dan sekaligus untuk mengingkari
hak-hak sosial-politik mereka yang tertuduh maupun organisasi-organisasi
tertuduh yang – padahal – berstatus legal pada saat menjadi korban
pembantaian itu.
Dengan begitu, sebuah
diskursus yang ditanamkan dengan kuat oleh Orde Baru sejak Oktober 1965,
telah beralih menjadi pelindung kepentingan mapan. Mereka menjadi
kekuatan-kekuatan yang merintangi upaya keadilan sekaligus tampil melindungi
para pelaku yang resah akan kemungkinan terancam sanksi-sanksi politik dan
hukum. Dan akan selalu menjauhkan kebenaran sejarah dari kesadaran khalayak
luas. Atau, seperti sebagian kalangan di Jerman pasca-PD-II, akan terus
menyangkal: “Wir haben es nicht gewusst” (Kami tidak tahu apa-apa). ●
|
Catatan :
1] Di awal 1970an soal pembantaian 1965
mulai hangat dibicarakan di kalangan cendekia di Leiden. Disini Jusfiq Hadjar
yang sering mengangkat isu tersebut dalam perdebatan di KITLV dengan Onghokham,
Lance Castle, Peter Carey, dll.
[2] Aboeprijadi
Santoso, Indonesia’s 1965 Holocaust
remembered,
http://www.thejakartapost.com/news/2005/11/14/indonesia039s-1965-holocaust-remembered.html
[3] Geoffrey
Robinson di: Aboeprijadi Santoso, What of truth commission for East Timor?
http://www.thejakartapost.com/news/2005/01/10/what-truth-commission-east-timor.html
[4] Aboeprijadi
Santoso, Of Pain and Humiliation: The Velvet Protests in Aceh, The Jakarta Post
13 Dec. 1999, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1999/12/18/0007.html
[5] Pipit Rochijat,
Am I PKI or Non-PKI?, Indonesia, Vol. 40, Okt. 1985, hal. 37-56.
[6] Aboeprijadi
Santoso, The 1965 controversy and
need for people’s
tribunal, http://www.thejakartapost.com/news/2015/04/16/the-1965-controversy-and-need-people-s-tribunal.html
[7] John Roosa,
Pretext for Mass Murder, The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État
in Indonesia, 2006.
[8] Aboeprijadi
Santoso, A Spanish lesson for Indonesia’s 1965,
http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2014/12/08/a-spanish-lesson-for-indonesias-1965/
[9] Aboeprijadi
Santoso, The ‘1965’ killers – What’s
gone ‘wrong’ with Indonesia,
https://www.academia.edu/3262094/The_1965_killers_What_s_gone_wrong_with_Indonesia_2013_
[10] Sri Lestari Wahyuningrum,‘Apology
for PKI’: Sorry is not the point,
http://www.thejakartapost.com/news/2015/08/28/apology-pki-sorry-not-point.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar