Sentimen Primordialisme Pilkada
Agustar ; Pengamat dan Aktivis Politik; Tinggal di
Batam
|
KOMPAS,
19 September 2015
Setiap menjelang
agenda politik lokal digelar, seperti pemilihan kepala daerah serentak,
sentimen primordialisme pun kembali menyubur. Proses rekrutmen elite,
misalnya penjaringan calon kepala daerah, selalu dikaitkan dengan semangat
reservasi terhadap "putra daerah" (tempatan) dan menolak segala
yang berbau "non-putra daerah".
Dikotomi "orang
kita" dan "bukan orang kita" diapungkan ke pusaran opini
publik. Pada tataran inilah publik sering digiring dan terjebak pada
eksklusivisme politik primordial, menafikan semangat pluralisme dan
multikulturalisme yang melingkupi atmosfer sosial, politik, ekonomi, dan
budaya masyarakat.
Pengabaian terhadap
pluralisme dan multikulturalisme bisa menghambat demokrasi. Karena itu, unsur
akomodatif secara inklusif dalam ranah politik elite menjadi kata kunci bagi
suksesnya demokratisasi di tingkat lokal. Pengingkaran terhadap aspek-aspek
tersebut akan mengaborsi demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang di
daerah.
Perlu kiranya
dicermati, esensi persoalan pembangunan demokrasi ke depan tidak semata-mata
harus diletakkan pada indikator proses reservasi elite di sumbu kekuasaan,
terlepas dari aroma sentimen primordialisme atau tidak. Hal yang paling
krusial justru bagaimana para elite secara mutualistik membuat
kebijakan-kebijakan populis yang bersifat inklusif bagi masyarakat.
Dengan kata lain,
orientasi kebijakan populis elite, apakah bersifat inklusif ataukah
eksklusif, jauh akan lebih bermakna bagi publik ketimbang konfigurasi elite
itu sendiri dalam peta kekuasaan: apakah dia berasal dari dukungan
primordialisme atau tidak. Maka, relevan dengan persoalan di atas, demokratis
atau tidaknya pemegang kekuasaan hasil pilkada sangat ditentukan sejauh mana
kemampuan dan kemauan yang bersangkutan menelorkan kebijakan-kebijakan
populis inklusif untuk pembangunan masyarakat.
Reservasi putra daerah
Konstelasi
perpolitikan kita setelah rezim Orde Baru memang sarat dengan dilema,
kontroversi dan paradoks. Ketika reformasi digulirkan dan demokratisasi
dielaborasikan, kita dihadapkan pada paradigma otonomi daerah yang kental
spirit reservasi terhadap "putra daerah". Padahal, otonomi daerah
sendiri memikul beban berat berupa pencerahan dan percepatan proses
demokratisasi di daerah.
Ketika paradigma
otonomi daerah digelar, elite politik lokal seyogianya bisa mempertimbangkan
bahwa otonomi daerah secara esensial merupakan bagian dari proses
demokratisasi di Indonesia. Ia bukan suatu proses adaptasi bentuk
pemerintahan otoriter yang kaku dalam level yang lebih rendah di daerah. Hal
ini perlu mendapat perhatian serius mengingat beberapa hal.
Pertama, nuansa
pemerintahan daerah yang terkesan otoriter, di mana kekuasaan ekonomi dan
politik berada di satu tangan, bisa jadi akan mengulangi episode gaya
pemerintahan masa lalu. Pemerintahan model begini tidak populer di mata
rakyat dan akhirnya menghasilkan pemberontakan masyarakat atas kubu kekuasaan
yang cenderung mementingkan diri sendiri.
Kedua, bagaimana
menghargai semangat pluralitas (keberagaman), yang kalau dikerucutkan sebagai
multikulturalisme, merupakan keniscayaan yang ada di setiap daerah. Isu yang
mempersoalkan masalah putra daerah atau bukan sebenarnya berakar dari
pemikiran dikotomis antara pihak "kita" dan pihak
"mereka" sebagai suatu yang bersifat diametral. Pada kondisi
seperti inilah pemegang sumbu kekuasaan harus mampu menjadi agen pemersatu
lewat kebijakan populis-inklusif.
Ketiga, dalam konteks demokratisasi,
siapakah yang bisa mengklaim bahwa "putra daerah" akan menghasilkan
pemimpin yang lebih baik daripada "putra dari daerah lain"?
Betulkah putra daerah akan lebih diterima masyarakat setempat ketimbang putra
dari daerah lain? Sebenarnya apakah faktor yang mendasari masyarakat memilih
pemimpinnya: apakah isu tentang putra daerah atau bukan putra daerah jadi
agenda yang sangat penting?
Keempat, sebenarnya
konsep tentang "putra daerah" sendiri merupakan hal yang sangat
problematik. Sebab, siapa yang masuk kategori putra daerah dan apa indikator
untuk bisa disebut atau mengklaim diri sebagai putra daerah sangatlah sumir.
Apakah mereka yang telah dua-tiga generasi tinggal di satu wilayah secara
tetap bisa otomatis disebut putra daerah? Ataukah putra daerah harus memiliki
keterikatan keluarga dengan budaya dominan setempat? Apakah seorang dari
kebudayaan dominan di satu wilayah, tetapi lebih banyak menghabiskan hidupnya
di wilayah lain, berhak disebut sebagai putra daerah?
Sejumlah pertanyaan di
atas diajukan untuk menggugat mitos-mitos yang cenderung menyesatkan di era
otonomi daerah ini. Semisal, "putra daerah adalah pilihan terbaik",
"putra daerah sanggup mengembalikan potensi daerah".
Kapabilitas-profesionalitas
Padahal, jalan pikiran
seperti di atas bisa saja terjerumus ke chauvinisme baru yang berkembang
dengan cara mereservasi putra daerah dengan segala cara, tanpa pertimbangan
etis aspek kompetensi elite secara normatif. Dan, ini bisa mendorong arah
suatu pemerintah fasis baru dalam level yang lebih kecil.
Sementara itu, argumen
tentang putra daerah yang sebenarnya hendak menyebut sebagai "penduduk
asli" itu pun tidak lepas dari kerumitan tersendiri sebagai sebuah
konsep. Dalam perkembangan wilayah di Indonesia yang disebabkan proses
migrasi selama puluhan atau bahkan ratusan tahun, tidak ada suatu wilayah
yang bisa mengklaim dirinya sebagai wilayah yang hanya dihuni penduduk asli.
Arkeolog Perancis ahli Indonesia, Dennys Lombard, telah mengemukakan, wilayah
Nusantara telah ratusan tahun lalu mengalami proses percampuran budaya dengan
empat kebudayaan besar dunia: India, Tiongkok, Barat, dan Islam.
Dalam alam globalisasi
ataupun perkembangan masyarakat diasporik, keaslian bukan hal penting-juga
bukan hal paling utama untuk dibicarakan-karena pada akhirnya identitas
manusia selalu berbaur dan merupakan proses pencarian dan penemuan yang tiada
akhir. Memang ada ketakutan-ketakutan yang bisa dinalar bahwa proses
globalisasi akan mereduksi identitas yang selama ini dibangga- banggakan,
identitas eksklusif yang menjadi penanda, pembeda dengan komunitas lain.
Namun, hal tentang
pembeda dalam konteks otonomi daerah bukan terpresentasi dalam bentuk
reservasi terhadap putra daerah. Sebaliknya mungkin pembeda itu terletak pada
kapabilitas dan profesionalitas dari berbagai pihak untuk bisa membawa
wilayah itu pada suatu tujuan yang dirumuskan bersama. Dalam konteks ini,
persoalannya kemudian adalah apakah kita betul-betul mengenal
perbedaan-perbedaan yang ada di sekitar kita, baik dalam konteks potensi ekonomi,
peta konflik politik, peta konfigurasi penguasaan ekonomi, maupun kekuasaan
elite lokal?
Meski berbagai
pertanyaan itu bisa dijawab, tidak dengan sendirinya proses demokratisasi
akan berlangsung. Namun, setidaknya dengan mempertimbangkan sejumlah pertanyaan
itu mungkin kita bisa meniti proses demokratisasi secara lebih jernih, lebih
elegan, lebih visioner. Artinya, ke depan kita tidak lagi semata-mata
mengutamakan kepentingan ekonomi dan politik kelompok elite baru dengan
menggunakan label penuh mitos, seperti "putra daerah" dan berbagai
label kepentingan ekonomi dan politik lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar