Kembali ke Politik
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Nasional, Jakarta
|
KOMPAS,
23 September 2015
Belakangan ini, media
massa ramai oleh berita membajirnya pengungsi dari Suriah dan negara-negara
yang dilanda krisis politik ke negara-negara Eropa.
Mereka bergerak
melalui laut dan darat. Yang meninggal dalam perjalanan cukup banyak,
termasuk Aylan Kurdi, anak kecil yang tergeletak di pinggir pantai setelah
tenggelam di Laut Mediterania. Mata dunia terbelalak dengan krisis
kemanusiaan itu.
Negara-negara Eropa
terbelah sikap, ada yang menerima secara terbuka ada yang tidak. Eropa
menjadi pilihan karena mereka lebih terbuka ketimbang negara-negara kaya di
Timur Tengah. Tentu ada faktor lain yang dapat menjelaskan fenomena ini.
Negara-negara kaya Timur Tengah lebih memilih jalan yang pragmatis dengan
tidak mau kerepotan menampung pengungsi. Ini menggambarkan wajah paradoks
Timur Tengah.
Krisis politik telah
memicu krisis kemanusiaan yang lebih luas. Dalam hal ini, tampaknya tidak ada
jalan keluar kecuali dengan rumus kembali ke politik. Tidak ada negara tanpa
politik. Politiklah yang menggerakkan negara. Ketika para pemimpin politik
gagal mencapai konsensus dan jalan kekerasan yang mengemuka berlarut-larut,
harus ada jalan politik untuk mengakhirinya.
Dalam hal ini, David
Runciman dalam bukunya berjudul Politics
(2014) memberi ulasan menarik. Profesor Ilmu Politik Cambridge University
tersebut mengulas kekontrasan kondisi dua negara: Denmark dan Suriah. Apabila
Anda hidup di Suriah sekarang, kondisinya masih sangat runyam dan Anda
terjebak pada kondisi yang seperti neraka: hidup penuh dengan ketakutan,
kecemasan, kekerasan, ketidakpastian, kelaparan, dan keputusasaan. Perang
saudara telah meluluhlantakkan Suriah. Puluhan hingga ratusan ribu orang
tewas dalam tragedi kemanusiaan yang memilukan di abad ke-21 ini. Banyak yang
mengungsi ke berbagai negara.
Sebaliknya, Anda
merupakan orang yang beruntung manakala hidup di Denmark. Negara ini
dilukiskan Runciman sebagai versi lain dari ”surga”; hidup nyaman, sejahtera,
damai, tertib, dan beradab. Yang membedakan Suriah dan Denmark bukan
kenyamanannya, bukan pula sumber daya alam dan kekayaan khazanah sejarahnya.
Perbedaan Denmark dan Suriah ialah politiknya. Politik telah menolong Denmark
seperti keadaannya sekarang. Politik pulalah yang menjadikan Suriah seperti
sekarang.
Politik sebagai kunci
Bagaimana
penjelasannya? Mengapa politik menentukan? Runciman menjelaskan bahwa
politiklah yang bertanggung jawab apakah suatu negara menjadi negara nyaman
dan damai atau sebaliknya, berantakan dan penuh konflik. Tentu maksudnya
ialah bagaimana inisiatif para politisi yang berada di balik
kebijakan-kebijakan politik. Apakah mereka mampu menjadi pemimpin politik
yang berkualitas dalam menghadirkan kebijakan-kebijakan publik yang bagus
atau sebaliknya, manipulatif.
Merekalah, para
pemimpin politik, yang membuat Denmark dan Suriah menjadi yang sekarang. Ada
beberapa catatan yang perlu kita camkan. Pertama, soal kekerasan; bahwa
kontrol kekerasan ialah jantung dari politik. Politik ialah ikhtiar mencapai
tujuan-tujuan baik, tanpa kekerasan. Dalam politik ada argumen, dialog,
persetujuan, penolakan, titik temu atau konsensus dan sebagainya. Politik
ialah jalan damai, perang ialah jalan kekerasan. Yang terakhir ini terjadi
manakala politik gagal. Hakikat politik ialah mengendalikan kekerasan dan
negara merupakan kekuatan absah untuk itu. Dalam hal ini, khazanah politik
Barat memperkenalkan pandangan Hobbes bahwa negara itu seperti Leviathan,
yang suka menindas rakyatnya.
Namun, catat Runciman,
”politik (dunia) kita dewasa ini sudah jauh darigambaran Hobbes”, tetapi di
sisi lain, ”dunia Hobbes itu masih ada”. Runciman mengingatkan soal adanya
politisi bertangan kotor (dirty hands). Merekalah yang suka memakai kekerasan
sebagai jalan pintas. Cara-cara kotor tentu saja menodai politik.
Kedua, soal
perkembangan teknologi. Ini menyangkut bagaimana perkembangan teknologi
memengaruhi perilaku politik di satu sisi dan bagaimana para politisi memanfaatkannya.
Ketiga, soal keadilan. Bagaimana konstitusi menjamin keadilan bisa ditegakkan
oleh semua. Pun bagaimana demokrasi mampu diaktualisasikan oleh para politisi
sedemikian rupa.
Jadi, sebenarnya yang
diuraikan Runciman jelas. Politik itu kebijakan, seperangkat aturan. Ia
melibatkan orang-orang dan lembaga-lembaga. Pada praktiknya, politik
membentuk budaya politik para pelakunya, ada kesadaran dan kedisiplinan
bersama. Dalam konteks inilah kebijakan politik akan menggerakkan yang lain
pula, yakni kepastian hukum dan ekonomi yang berkembang. Ujungnya ialah
kesejahteraan bagi rakyat secara luas. Inilah politik sebagai berkah.
Politik pun bisa
menjadi musibah. Maka, rentetannya sebaliknya, yakni para politisi gagal
mengendalikan kekerasan, gagal membuat kebijakan yang baik dan benar, dan
gagal menciptakan stabilitas, yang ujung-ujungnya ialah kekacauan.
Politik dan kemanusiaan
Politik yang baik
tentu memberi ruang yang lapang bagi kemanusiaan sebab memang demikianlah
tarikan dasarnya. Politik dan kebijakannya lahir dari filosofi dan basis
nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, pentinglah kiranya membuang jauh egoisme
politik atau politik anti kemanusiaan. Berbagai peristiwa besar dunia,
setidaknya menandai dua perang besar pada abad yang lalu, yakni Perang Dunia
I dan II, telah secara jelas meninggalkan pesan-pesan kemanusiaan universal
itu.
Sayangnya, pada
praktiknya, politik lebih sering tidak berpihak kepada kemanusiaan. Konon,
Mahatma Gandhi mengatakan, dan ini diamini juga oleh Bung Karno, ”My nationalism is humanity”, bahwa
batas-batas nasionalitas kita adalah tak terbatas bagi kemanusiaan.
Nasionalisme sebagai produk politik sudah jelas terkandung di dalamnya pula
kemanusiaan. Ini terkait dengan konteks solidaritas kemanusiaan global yang
sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama. Kembali ke politik berarti
kembali ke dasar kemanusiaan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar