Pengalihan Pengelolaan Haji, Mungkinkah?
Ibnu Burdah ;
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam;
Dosen Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
JAWA
POS, 28 September 2015
MUNGKINKAH pengelolaan ibadah haji dialihkan?
Penyelenggaraan haji saat ini ditangani oleh
pemerintah Arab Saudi di bawah Kementerian Haji (wizarah al-hajj). Mengingat Saudi adalah negara monarki (malakiy), pengelolaan itu sebenarnya
berada di bawah kekuasaan satu keluarga kecil saja, yakni keluarga Bin Saud.
Jadi, sejak 1932, urusan besar umat Islam
sedunia, dari Maroko hingga Indonesia, bahkan umat Islam yang berada di Benua
Amerika, Eropa, dan Australia, serta sejumlah negara Asia Timur, ’’hanya’’
diurus oleh satu keluarga.
Pascatragedi Mina yang menewaskan lebih dari 700
jamaah Kamis lalu (24/9), desakan keras agar pengelolaan ibadah haji
dialihkan kembali terdengar.
Namun, suara keras itu datang dari negara atau
kelompok-kelompok yang memang sudah tak memiliki hubungan baik dengan dinasti
Saudi.
Iran, seperti biasa, menjadi negara paling
garang mengkritik Saudi. Hampir seluruh pejabat tinggi terkait, bahkan
pemegang Velayat Faqih, melontarkan kritik keras terhadap Saudi.
Melalui berbagai media internasional Iran
seperti Press TV dan alAlam, mereka menuduh keluarga kerajaan Saudi
bertanggung jawab atas peristiwa ini. Demonstrasi antiSaudi juga merebak di
berbagai kota di Iran.
Apalagi, sempat tersiar kabar bahwa peristiwa
itu juga dipicu oleh kedatangan Wakil Putra Mahkota ( waliyyuwaliyyial-Ahdi)
Muhammad bin Salman, yang merupakan putra kepercayaan raja sekarang. Kendati
kemudian kabar itu dibantah secara tegas oleh Kementerian Kesehatan Arab
Saudi.
Para pejabat Kemlu Iran juga menuduh
pengelolaan haji sekarang tidak profesional. Bahkan, pemerintah Saudi dituduh
menutup-nutupi jumlah korban meninggal. Menurut media-media Iran, jumlah korban
meninggal yang sebenarnya lebih dari 1.400 orang, sebagian menyebut di atas
1.300 orang.
Kritik keras juga datang dari Lebanon. Media
al-Diyar yang memberitakan adanya rombongan putra mahkota kedua di Mina kali
pertama adalah media Lebanon.
Demikian pula sejumlah pejabat dan media Iraq
dan Yaman di bawah Houtsi. Turki, yang biasanya lantang berbicara, kali ini
justru mendekat ke Saudi.
Diam
Sementara itu, sekutu-sekutu dinasti keluarga Saudi
memilih diam atau berkomentar yang netral-netral saja. Mesir sebagai salah
satu negara dengan korban yang paling besar tak melakukan kritik apa pun
terhadap pemerintah Saudi, apalagi sampai mengkritik keluarga kerajaan.
Pemberitaan media-media Teluk serta para
penguasa kerajaan-kerajaan di Teluk juga jauh dari wacana ’’pengalihan
pengelolaan haji’’.Apalagi sampai wacana internasionalisasi Makkah dan
Madinah sebagaimana yang sebenarnya diinginkan Iran dan sejumlah pihak sejak
dahulu.
Hal ini tentu bisa dimengerti. Keluarga Saud
sangat sensitif dengan berbagai kritik, apalagi menyangkut manajemen haji.
Mereka tak terbiasa mendengar kritik dari siapa pun, apalagi dari penduduknya
sendiri.
Tersiar kabar pula bahwa Raja Salman telah
memerintahkan hukuman pancung terhadap 28 petugas di lapangan. Ini sepintas
bisa diartikan bahwa keluarga kerajaan menimpakan tanggung jawab atas
peristiwa ini terhadap para ’’pegawai dan pekerja’’ di lapangan. Sehingga
keluarga kerajaan yang termasuk memiliki tanggung jawab lebih besar atas
pengelolaan haji tahun ini dianggap bersih dari kesalahan.
Sejauh ini komentar sangat keras sepertinya
hanya datang dari jaringan Syiah. Pihak lain, baik dari para pemimpin negara
maupun kalangan intelektual, tak memberikan respons keras memadai.
Kepentingan banyak negara, termasuk Indonesia, terhadap Saudi, terutama di
bidang ekonomi, begitu kuatnya.
Lalu Siapa?
Jika pengelolaan haji dialihkan, lalu siapa
yang pantas diberi amanah dalam pengelolaan haji? Idealnya, urusan umat Islam
sedunia juga diurus oleh perwakilan mereka. Negara- negara berpenduduk
mayoritas muslim sangat penting untuk dilibatkan. Lembaga semacam Organisasi
Kerja Sama Islam menjadi sangat strategis dalam hal ini, terutama untuk
menjadi wadah kerja sama pengelolaan haji.
Namun, haji adalah berziarah ke berbagai situs
bersejarah dan spiritual di Kota Makkah, dan biasanya juga menziarahi
Madinah. Secara de facto, dua kota itu berada dalam kekuasaan syah Kerajaan
Arab Saudi.
Keluarga kerajaan itu tentu tak mau kehilangan
keuntungan ekonomi, politik, prestise keagamaan, dan sosial sebagai
penyelenggara haji. Kendati, mereka itu sebenarnya bukan warga asli Hijaz
(Makkah-Madinah-Thaif), tapi dari wilayah gurun di Najd (Riyadh dan
sekitarnya). Dan, penguasa tradisional Makkah-Madinah yang merupakan keturunan
Rasulullah justru diusir dari Tanah Suci. Termasuk bersama mereka para ulama
besar non-Hambali yang mengajar di dua kota suci itu.
Bukan hanya devisa yang dibawa jamaah,
melainkan juga aspek lain seperti bisnis penerbangan dan industri strategis
lain.
Haji juga merupakan sumber kekuatan politik,
khususnya untuk mengontrol dunia Islam. Penambahan sedikit saja kuota sudah
dipandang sebagai capaian penting bagi negara yang mendapatkannya.
Haji juga menjadi alat ekspansi pengaruh Saudi
ke dunia Islam. Haji adalah peristiwa yang sangat strategis untuk menebarkan
pengaruh dan paham keagamaan yang mereka yakini menyusul kehadiran umat Islam
dalam jumlah ekstrem dari berbagai negara di satu tempat dan satu waktu.
Termasuk juga untuk kampanye membendung
pengaruh musuhmusuh Saudi, terutama Syiah. Jadi, Saudi dipastikan akan
melakukan segala cara untuk mempertahankan status sebagai pengelola eksklusif
ibadah haji.
Dan, menilik konstelasi politik sekarang,
wacana pengalihan ibadah haji saat ini sepertinya hanya mimpi yang masih
terlalu jauh dari kenyataan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar