Sikap Warga NU terhadap PKI
Salahuddin Wahid ;
Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
KOMPAS,
29 September 2015
Tahun 1951/1952 saat
masih di SD, saya melihat di meja kerja ayah saya sebuah foto tentang seorang
laki-laki yang ditutup matanya berdiri di depan sejumlah orang yang
mengarahkan senjata ke arah lelaki itu.
Saya bertanya kepada
ayah saya, siapa lelaki itu? Beliau menjawab lelaki itu adalah orang yang
dihukum mati karena terlibat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Anggota
PKI membunuh banyak kiai dan santri.
Penjelasan ayah saya
itu amat saya yakini, langsung menempel di otak dan bertahan sampai kini,
walau ada banyak tulisan dan buku yang mencoba membantah bahwa PKI
memberontak pada 1948. Keyakinan itu juga dimiliki puluhan juta warga NU,
umat Islam, dan pemeluk agama lain.
Beberapa tahun
menjelang 1965, mereka yang berkeyakinan seperti itu menyaksikan dan
mendengar bahwa anggota PKI dan organisasi di bawahnya telah memprovokasi
umat Islam, menyerang anggota PII yang sedang shalat subuh di Kanigoro,
Kediri, membunuh anggota Ansor di Banyuwangi. Perang kata-kata terjadi antara
koran PKI dan koran lain, antara sastrawan pro-PKI dan sastrawan anti-PKI.
Sikap Gus Dur
Kami sekeluarga,
kecuali Gus Dur yang berada di Mesir, mendengar dengan saksama pengumuman
Dewan Revolusi. Dengan latar belakang seperti di atas, reaksi spontan kami
saat itu: ini pasti perbuatan PKI. Ibu saya ikut menandatangani tuntutan
pembubaran PKI, mewakili PP Muslimat NU, 4 Oktober 1965.
Saat itu belum banyak
yang punya telepon apalagi telepon seluler, jadi informasi bergerak lambat.
Kami mulai mendengar adanya eksekusi terhadap mereka yang diduga sebagai
anggota PKI dan organisasi di bawahnya sekitar seminggu setelah terjadi.
Tentu kami tak setuju. Saat peringatan hari lahir ke-40 NU, ada beberapa
anggota Banser Jawa Timur yang menginap di rumah ibu saya. Saya dan adik
saya, Umar, mengobrol dan bertanya mengapa
kawan-kawan anggota Banser mengeksekusi mereka yang dianggap anggota PKI dan
organisasi di bawahnya?
Menurut mereka, suasananya seperti perang: membunuh atau
dibunuh. Pada 2005 saya bertemu seorang anggota Banser yang mengeksekusi
banyak orang yang diduga anggota PKI atas perintah anggota TNI tingkat
kecamatan. Dia mengatakan, kalau dia menolak, dia akan dituduh sebagai
anggota PKI. Pendapat para anggota Banser itu adalah suara hati nurani warga
NU terhadap PKI 50 tahun lalu.
Gus Dur meninggalkan
Indonesia menuju Kairo pada akhir 1963 dan kembali pada pertengahan 1971.
Jadi Gus Dur tidak mengalami atau merasakan suasana permusuhan dengan PKI dan
organisasi di bawahnya. Gus Dur juga punya akses terhadap informasi tentang
Gerakan 30 September (G30S) yang bertentangan dengan informasi yang beredar
di Indonesia. Amat mungkin Gus Dur pernah berjumpa dan berdialog dengan warga
PKI yang tidak bisa kembali ke Indonesia dan tinggal di sejumlah negara
Eropa.
Wajar kalau perbedaan
itu membuat Gus Dur punya pandangan dan sikap berbeda terhadap PKI dan
warganya dibandingkan warga dan tokoh NU yang mengalami gesekan dengan warga
PKI. Sebagai orang yang punya keberanian luar biasa, Gus Dur
tidak ragu-ragu untuk meminta maaf kepada keluarga korban 1965. Gus Dur juga
berani melontarkan gagasan untuk mencabut Tap MPR No XXV/1966. Gus Dur tidak
menghitung untung-rugi akibat mengeluarkan pernyataan di atas.
Saat itu saya menilai
kebanyakan orang menentang gagasan itu. Saya membuat tulisan di koran
menanggapi gagasan pencabutan Tap MPR oleh Gus Dur itu. Menurut saya, tidak
semua substansi Tap MPR tersebut dapat dibatalkan. Namun, perlakuan
diskriminatif terhadap keluarga korban harus dihentikan. Saya yakin masih
jauh lebih banyak rakyat yang menolak PKI diizinkan berdiri lagi.
Pada September 2012, sebuah majalah berita nasional
mengeluarkan edisi khusus yang mengungkap sejumlah kisah tentang aksi
kekerasan terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI pada akhir 1965. Warga dan tokoh NU
tentu merasa terpojokkan oleh penuturan majalah tersebut, yang kemudian
memicu terbitnya buku Benturan NU dan PKI, 1948-1965. Buku itu mengungkap
latar belakang dan penyebab warga dan aktivis NU di sejumlah kota terpaksa
melakukan eksekusi terhadap anggota PKI dan organisasi di bawahnya karena
kondisinya memang mendorong ke arah hal itu.
Terbitnya edisi khusus majalah berita nasional tersebut
dan beredarnya film-film
yang tidak lolos sensor (The Act of Killing dan The Look of Silence) mau tak mau
membuat suasana panas dan menumbuhkan rasa saling curiga. Itu tidak bisa
dihindarkan. Bahkan, berbagai SMS masuk ke ponsel saya memberi informasi
bahwa CC PKI sudah berdiri dan mengadakan rapat di sejumlah kota. Saya tidak
punya kemampuan untuk mengetahui apakah informasi itu benar atau tidak.
Rekonsiliasi
Pada awal 2000-an
mulai muncul gerakan mendorong terjadinya islah atau rekonsiliasi. Anak-anak
muda NU, terutama yang tergabung dalam syarikat, melakukan berbagai kegiatan
untuk memulai mewujudkan rekonsiliasi itu.
Banyak anak pelaku kekerasan terhadap korban 1965 merasa
ikut bersalah dan lalu melakukan sesuatu yang positif terhadap keluarga
korban. Putra-putri tokoh yang dulu bermusuhan secara politik berkumpul dalam
satu organisasi bernama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Mereka antara
lain putra/putri Jenderal A Yani, Jenderal Sutoyo, Jenderal Supardjo, DN
Aidit, dan Kartosuwiryo.
Upaya rekonsiliasi
memberi harapan kepada para korban ketika Panitia Seleksi Calon Anggota
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Nasional sudah menyerahkan nama calon
anggota kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memerlukan waktu lama
sekali untuk memilih para anggota KKR. Di tengah masa menunggu itu, Mahkamah
Konstitusi membatalkan UU KKR pada awal Desember 2006. Sampai hari ini belum
ada tanda-tanda akan muncul UU KKR pengganti UU yang dibatalkan itu walau
sudah delapan tahun berlalu.
Dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo menyatakan
secara tersirat rencana membentuk tim untuk melakukan rekonsiliasi terkait
pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Peristiwa 1965. Rekonsiliasi ini
kabarnya akan disertai pengungkapan kebenaran. Informasi ini menimbulkan
reaksi berbeda di dalam berbagai kelompok, ada yang senang dan ada yang
tidak.
Komnas HAM pada Juli
2012 meluncurkan laporan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi
secara sistematis dan meluas pada 1965-1966. Laporan ini disusun berdasarkan hasil
penyelidikan yang dilakukan di empat wilayah (Maumere, Maluku, Sumatera
Selatan, dan Sumatera Utara) dan pengumpulan kesaksian dari 349 saksi dan
korban. Menurut UU No
26/1926 tentang Pengadilan HAM juncto Pasal 7 Statuta Roma,
kejahatan-kejahatan ini didefinisikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Mengingat di Indonesia
tidak bisa dilakukan proses hukum terhadap mereka yang diduga melakukan
pelanggaran HAM berat pada 1965/1966, sejumlah orang punya prakarsa untuk
menyelenggarakan International People
Tribunal (IPT 1965) terhadap mereka yang diduga sebagai pelaku. IPT itu
akan dilakukan di Den Haag dari Oktober 2015 sampai Oktober 2016. IPT akan
mendakwa pihak negara (terutama militer) yang diduga kuat menjadi pelaku
dalam peristiwa itu.
Sikap warga NU kini
Bagaimana sikap warga
NU terhadap peristiwa yang sudah terjadi 50 tahun lalu itu? Terdapat beberapa
kelompok. Pertama, antirekonsiliasi, yang saya duga jumlahnya kecil. Mereka
menganggap TNI dan kelompok sipil telah melakukan upaya tepat dalam
menyelamatkan NKRI. KKR dan rencana rekonsiliasi pemerintah dianggap tak
perlu karena warga PKI memang pantas mendapat perlakuan seperti yang terjadi.
Sikap ini juga dimiliki kelompok di luar NU.
Kedua, kelompok yang
setuju upaya rekonsiliasi, yang menganggap warga PKI dan warga NU sama-sama
jadi korban. Menurut mereka, negara bisa meminta maaf kepada korban bukan
kepada PKI. Rekonsiliasi yang sudah berjalan perlu ditingkatkan dengan
berlandaskan ketulusan dan kejujuran serta menghilangkan prasangka.
Ketiga, mereka yang
secara sadar mengakui keterlibatan warga NU dan militer dalam pelanggaran HAM
berat itu. Kelompok ini setuju jika diadakan proses hukum untuk membuka apa
yang sebenarnya terjadi. Mereka setuju Tap MPRS No XXV/1966 dicabut, ajaran
komunis boleh disebarkan. Mereka meyakini bahwa PKI tidak akan laku walau
diberi hak untuk didirikan lagi.
Kelompok terakhir ini
amat terpengaruh oleh pemikiran Gus Dur saat meminta maaf dan mengusulkan
pencabutan Tap MPRS No XXV/1966. Mereka sama seperti Gus Dur, tidak mengalami
suasana saat PKI sedang ”berperang” dengan TNI dan partai-partai, lawan
termasuk NU. Ke depan, jumlah mereka yang tidak mengalami konflik dengan
PKI akan makin banyak dan mungkin saat itu proses hukum bisa dilakukan
walaupun pihak yang harus bertanggung jawab sudah tidak ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar