Ekonomi dan Kekuatan Domestik
Abdul Manap Pulungan ; Peneliti Indef
|
MEDIA
INDONESIA, 01 September 2015
SINYAL perlambatan ekonomi Indonesia terekam
sejak awal 2015. Pertumbuhan ekonomi dalam dua triwulan masih di bawah 5%.
Pencapaian tersebut jauh dari target pemerintah dalam RAPBN-P 2015 sebesar
5,7%. Realisasi itu pun merupakan level terendah sejak 2009. Padahal, 2009
menjadi periode terparah dari krisis keuangan global di Indonesia.
Inflasi juga melambung karena tekanan faktor
domestik dan global. Sisi domestik bersumber dari harga barangbarang
bergejolak (volatile food) dan
harga-harga barang yang diatur pemerintah (administered price). Faktor global berupa depresiasi rupiah.
Pemerintah harus bekerja keras untuk mencapai target inflasi 5% hingga akhir
2015. Sebagai catatan, realisasi inflasi pada Juli 2015 sebesar 7,26%.
Depresiasi rupiah menjadi isu yang sangat
populer sejak awal tahun. Sampai saat ini, rupiah masih bertengger pada
kisaran 14.000 per US$, jauh dari target RAPBN-P sebesar 12.500 per US$.
Bukan hanya itu, aktivitas sektor keuangan pun melambat karena melemahnya
permintaan masyarakat dan dunia usaha. Penyaluran kredit perbankan pada Mei
2015, hanya naik 10,4% (yoy). Gambaran makroekonomi tersebut memunculkan
pertanyaan apakah Indonesia telah memasuki fase krisis.
Tidak dimungkiri bahwa pelemahan ekonomi
nasional juga dikontribusikan gejolak dari sisi eksternal. Namun, sebagai
perekonomian terbuka, Indonesia harus siap terhadap hal itu.
Selama 2015, ekonomi Indonesia hanya terbantu
oleh koreksi harga minyak dunia. Harga komoditas internasional cukup
mengecewakan sehingga tidak berperan banyak untuk menahan penurunan kinerja
ekspor. Ekspor pun semakin tertekan tajam karena penurunan harga diikuti
perlambatan permintaan negara-negara tujuan utama (tradisional).
Negara maju masih
terpuruk
Ekonomi Amerika Serikat memang menunjukkan
perkembangan yang cukup baik. Hanya, persoalan yang tersisa masih sangat
banyak, terutama pada pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka pada Juni
2015 mencapai 5,3%. Level itu bisa meroket karena pemburukan pada sektor
pertambangan (dampak lanjutan dari penurunan harga minyak). Selain itu,
perbaikan tingkat pengangguran terbuka pun tidak diikuti angka tingkat
partisipasi kerja.
Data US
Bureau of Labor Statistics (2015) menunjukkan angka tingkat partisipasi
kerja masih bergerak pada level 62,6% (Juni dan Juli 2015). Selain itu,
apresiasi mata uang `Negeri Paman Sam' tersebut berdampak pada menganganya
neraca transaksi berjalan.Ekonomi AS juga akan tertekan karena pelemahan
kinerja negara-negara mitra kerja utama, terutama negara-negara berkembang.
Walaupun tertatih-tatih, hingga triwulan II
2015 Tiongkok masih tumbuh sekitar 7%. Output industri pada Juni naik 6,8%
(yoy), sedangkan penjualan retail pada Mei naik 10,6% (yoy). Persoalan yang
cukup pelik muncul dari pasar saham. Koreksi tajam pasar saham berdampak
sangat berarti pada perekonomian dan pendapatan masyarakat. Memang, aktivitas
masyarakat pada pasar saham telah meningkat signifikan sejak pelonggaran
regulasi. Kondisi itu menyebabkan kontribusi pendapatan dari saham mencapai
15%-20% dari kekayaan rumah tangga Tiongkok. Lebih dari 95% pemain di pasar
saham Tiongkok merupakan masyarakat lokal.
Sementara itu, ekonomi Jepang turut
terjerambap karena penurunan daya beli. Aktivitas ekonomi `Negeri Samurai'
itu terpengaruh oleh lonjakan pajak penjualan dan kemudian bertransmisi terhadap
sektor bisnis dan investasi. Penaikan pajak yang tidak diikuti dengan
lonjakan pendapatan menyebabkan konsumen menahan konsumsinya. Kabar baik bagi
ekonomi Jepang terbantu oleh depresiasi Yen pada beberapa bulan sepanjang
2015 sehingga mendorong kinerja ekspor yang lebih baik.
Kekuatan ekonomi
domestik
Ekonomi Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang
berperan cukup besar dalam menyerap ekspor. Selain itu, ketiga negara
tersebut juga ‘menyumbang’ investasi yang tidak sedikit. Namun, harus
disadari bahwa integrasi yang berlebihan pada akhirnya menyebabkan kekacauan
bagi Indonesia saat negara-negara tersebut bergejolak. Dalam situasi
perekonomian global tidak memberikan harapan, kita harus memacu ekonomi
domestik.
Dalam struktur produk domestik bruto (PDB)
komponen yang dapat menjadi tumpuan ekonomi nasional ialah sektor konsumsi
swasta dan belanja pemerintah. Kontribusi dari kedua komponen PDB tersebut
pada triwulan II 2015 ialah 54,67% dan 8,87%. Kekuatan transaksi lintas
negara (ekspor dan penanaman modal asing) diprediksi belum akan pulih dalam
beberapa tahun ke depan karena negara-negara maju masih dihadapkan pada berbagai
persoalan internal.
Apa yang harus dilakukan pemerintah? Pertama,
menjaga kekuatan ekonomi domestik pada sektor konsumsi rumah tangga akan
berhubungan dengan daya beli konsumen. Untuk itu, pemerintah harus mengelola
inflasi agar tetap bergerak pada level yang terjaga. Sebagaimana sudah
disebutkan, inflasi nasional terdongkrak oleh dua komponen, yaitu inflasi
pada barang-barang bergejolak (volatile
food) dan harga barang yang diatur pemerintah (administered price). Pada barang-barang bergejolak, inflasi
muncul dari komponen bahan makanan seperti beras, daging ayam, dan aneka
bumbu dapur.
Pada kelompok barang administered price, inflasi biasanya dipengaruhi penaikan harga
gas elpiji dan harga listrik yang dilakukan secara bersamaan. Koreksi harga
minyak dunia, yang saat ini telah menjadi di bawah US$50 per barel,
seharusnya menjadi stimulus bagi pemerintah untuk menurunkan harga bahan
bakar minyak (BBM). Implikasinya akan sangat penting pada daya beli konsumen.
Kedua, tidak perlu ditanyakan lagi bahwa konsumsi
pemerintah harus menjadi stimulus, baik saat ekonomi normal apalagi saat
melambat. Pemerintah harus mempercepat belanja (terutama belanja modal) untuk
mengejar ketertinggalan pada dua triwulan sebelumnya. Realisasi belanja
pemerintah hingga triwulan II 2015 cukup mengecewakan. Data Kementerian
Keuangan (2015) menunjukkan belanja pemerintah hanya terlaksana 39% (Juni
2015).
Belanja modal terealisasi lebih rendah, hanya
11%, sedangkan belanja pegawai terealisasi lebih kencang sebesar 42% dan
belanja pembayaran bunga dan subsidi masing-masing terlaksana 47,7% dan
47,4%. Pada triwulan ini, pemerintah tidak lagi dipusingkan masalah
administrasi kelembagaan (misalnya persoalan nomenklatur) sehingga tidak
mengganggu realisasi belanja.
Agar pertumbuhan ekonomi tidak tertekan tajam,
pemerintah dapat mengelola kekuatan ekonomi domestik, baik melalui konsumsi
domestik maupun belanja pemerintah. Namun, berbagai faktor harus diperhatikan
seperti kekuatan daya beli konsumsi hingga percepatan realisasi belanja
modal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar