Merajut Kebersamaan Politik
Max Regus ; Rohaniawan; Kandidat Doktor The Graduate
School of Humanities, Tilburg University, The Netherlands
|
MEDIA
INDONESIA, 01 September 2015
ADA suatu masa, Indonesia hadir sebagai
‘momok’ menakutkan bagi sebagian komunitas politik global. Di masa itu,
banyak orang sepakat untuk mengatakan bahwa ‘peradaban’ bisa berawal dan
berakhir dari negeri ini. Hal itu terjadi sejak lama, bahkan jauh sebelum
negeri ini mengumumkan kemerdekaan. Untuk alasan itu, dengan kekuatan dan
kebanggaan yang masih membekas di ingatan, sebagian orang sedang tekun
menabur mimpi masa depan meski sebagian pihak mungkin sedang menertawakan
beberapa kisah yang belum menyenangkan hati.
Dua buku lama karya Noam Chomsky, Professor
linguistik dari Massachussets Institute of Technology, diterbitkan lagi pada
tahun ini. Buku pertama yang ditulisnya bersama Edward S Herman berjudul The Washington Connection and Third World
Fascism yang terbit pertama kali pada 1979. Sementara itu, buku kedua yang
berjudul Year 501 terbit pertama
kali pada 1993. Dengan ringkas, buku itu menceritakan hegemoni Amerika
Serikat (AS) di seluruh dunia. Yang cukup penting, di kedua buku itu, Chomsky
juga secara khusus mengulas Indonesia.
Barometer kawasan
Saya mulai dengan buku kedua. Pada bab kelima
dari buku itu, Chomsky mengulas kerisauan AS di tahun-tahun awal kemerdekaan
Indonesia. Terutama, kedekatan Indonesia dengan blok Uni Soviet beberapa
tahun setelah itu. Chomsky mengutip pendapat George Frost Kennan (1904–2005)
yang mengatakan, “The problem of
Indonesia is the most crucial issue of the moment in our struggle with the
Kremlin.” Sejarah AS mengenang Kennan sebagai otak terpenting negara itu
dalam meladeni panasnya Perang Dingin.
Dia (Kennan) melakoni peran itu selama 42
tahun, dari 1947 hingga 1989, saat kebangkrutan Uni Soviet. Sebagai
penanggung jawab perang melawan komunisme, Kennan menulis kerisauannya pada
1948. Dalam tulisan itu, dia juga secara tegas menyebut Indonesia (is the anchor) ialah ‘jangkar’ dari rantai
kepulauan yang membentang dari Hokaido hingga Sumatra. Dalam laporan itu,
jelas terlihat AS ingin menjadikan negeri ini sebagai kekuatan
ekonomi-politik kontra blok komunis di kawasan Asia Pasifik.
Namun, ketegangan internal antara Soekarno,
Partai Komunis, dan petinggi Angkatan Darat meniadakan kekompakan nasional.
Indonesia yang baru berumur 20 tahun harus merasakan kepedihan luar biasa
akibat ‘kecolongan politis’ mematikan. Chomsky menyimpulkan konflik elite di
Tanah Air sebagai jalan lapang bagi AS untuk menancapkan pengaruh politik. Komunitas
politik internasional dengan mulus meraup hegemonisme politik.
Selama ini, merujuk pada buku itu, tidak salah
juga dugaan yang menyebutkan bagaimana AS dengan CIA-nya secara sengaja
meminjam tangan ‘Jenderal Soeharto’ yang kurang diperhitungkan pada waktu itu
untuk mengendalikan ‘situasi’. Barangkali dengan itu, ‘agenda tersembunyi’ AS
tidak mudah terlacak ketika memanfaatkan posisi internal militer yang dipandang
‘sebelah mata’ oleh sesama elite
jenderal masa itu. ‘Situasi’, yang menurut Guy Pauker, tokoh RAND Corporation
pada era 1960an, tidak pernah terbayangkan akibat pembantaian ratusan ribu
anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
(Bukan) surga bagi rakyat
Tentang kepekatan di seputar sejarah 1965, Chomsky telah membahasnya secara terbuka pada buku pertama. Dia menulis
soal itu pada satu bab tentang ‘teror’ yang dihubungkan dengan hasrat AS
dalam mengincar sumber-sumber ekonomi di Indonesia. Dia menulis pembahasan itu dengan judul yang sangat
jujur, Indonesia; mass extermination and investor’s
paradise.
Itu menjadi salah satu tragika sejarah paling pengap. Indonesia menjadi ruang dari kepedihan sebagian warga
sekaligus sukacita kaum pemilik modal global.
Dengan jumlah korban di pihak PKI, yang
menurut Amnesty International menembus angka satu juta orang, cukup beralasan
apa yang dilukiskan Chomsky dan Edward S Herman dengan sebutan pembasmian
massal (mass extermination). Jumlah
itu belum ditambah dengan ratusan ribu lainnya yang mendekam dalam kabut kesepian
di sekian banyak penjara di seluruh Indonesia.
Runtuhnya militer nasionalis, terkucilnya
Soekarno, yang diikuti dengan pembersihan negeri ini dari antek-antek
komunis, dalam kurun waktu yang sangat cepat, menyediakan jalan lancar kedua
bagi AS untuk memimpin invasi mesin kapitalisme. Tidak ada lagi kekuatan
utama di Indonesia yang menahan kemaruk kuasa AS untuk melibas setiap sumber
kekayaan alam terbaik. Itulah yang disebut dengan sangat terbuka sebagai
surga bagi para investor (investor’s
paradise) dalam ulasan Chomsky.
Membangun Kebersamaan
Politik
Beberapa waktu lalu, publik Indonesia terkejut
dengan sinyal yang dikirim Presiden Jokowi tentang tekad politiknya mengambil
alih beberapa perusahaan trans-nasional. Jokowi, dalam artian ini, sedang menggagas
proyek politik, yang mungkin hanya bisa ditanggapi dengan ‘geleng-geleng
kepala’. Alasannya sangat jelas. Indonesia harus melawan kekuatan ekonomi
politik yang memiliki sejarah panjang dalam menghisap sekaligus merusak.
Belum lagi, kekuatan mereka sudah menjalar ke dalam jaringan kekuasaan
politik domestik.
Sungguh, jika serius, niat itu akan menjadi
jalan terjal dan penuh risiko yang harus dilewati Indonesia. Niat politik
paling fundamental menjadikan negeri ini sebagai surga bagi rakyat Indonesia
(people’s paradise). Bagaimanapun,
harapan itu akan memudar dan menguap begitu saja ketika kita tidak memiliki
‘kebersamaan politik’ yang tangguh akibat perselisihan kelas elite kekuasaan
yang berlarut-larut.
Editorial Media Indonesia dengan judul Menyalakan Harapan di Tengah Kelesuan
(26/08/2015) menjadi ‘energi sosial dan politik’ yang sangat dibutuhkan pada
hari-hari ini. Karena itu, sebetulnya, bukan hanya persoalan finansial,
seperti melemahnya rupiah yang merisaukan kita, melainkan juga tentang akhlak
sebagian warga atau elite yang memanfaatkan situasi semacam ini untuk
menyoraki ketidakberdayaan politik pihak lain.
Selain tentang masa silam yang merekam
heroisme membekap imperialisme, kita juga mencatat egoisme politik kaum elite
yang memberikan jalan lapang bagi ‘neokolonialisme’ ekonomi. Persoalan kedua
ini sedang menjadi tantangan nyata bagi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar