Rabu, 02 September 2015

Mafia Pangan : Antara Ada dan Tiada

Mafia Pangan : Antara Ada dan Tiada

Toto Subandriyo  ;  Pengamat Sosial-Ekonomi Pertanian;
Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed
                                                KORAN SINDO, 01 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Gejolak harga pangan yang terjadi beberapa bulan terakhir hingga kini tak kunjung teratasi. Semua jurus sudah ditempuh pemerintah, namun sepertinya harga pangan tetap bandel.

Jalan terakhirnya, dicarilah kambing hitam: mafia berada di balik semua itu. Saat gejolak harga beras tak kunjung reda, mafia beras dituduh sebagai penyebabnya.

Begitu pula ketika terjadi gejolak harga gula, cabai rawit, cabai merah, daging sapi dan daging ayam, mafia dituduh sebagai aktornya. Keberadaan mafia-mafia pangan itu ”antara ada dan tiada”. Ada karena selalu jadi tertuduh, tiada karena selama ini kita tidak mendengar para pelakunya ditangkap dan diproses ke meja hijau.

Rupanya dalam hal pemecahan masalah pangan, pemerintah sekarang ini setali tiga uang dengan pemerintahanpemerintahan sebelumnya. Cara reaktif operasi pasar masih menjadi jurus utama. Menyelesaikan permasalahan secara simptomatik dengan menghilangkan gejala permasalahan sementara, namun permasalahan yang sama akan muncul kembali di kemudian hari.

Mestinya pemerintah lebih mengedepankan upaya dan kebijakan solutif jangka panjang secara fundamental. Hal ini karena pada hakikatnya pemerintah adalah sebuah organisasi yang memiliki lingkup tugas dan tujuan yang sangat kompleks sehingga dituntut menjadi organisasi pembelajar (learning organizations).

Menurut Peter Senge dalam bukunya berjudul The Fifth Discipline (1990), organisasi pembelajar adalah organisasi yang orang-orangnya terus menerus meningkatkan kapasitas untuk mencapai tujuan yang didambakan, pola pikir baru dipelihara, aspirasi kolektif dibiarkan bebas, tiap orang terus belajar bersama.

Rapuh Berlarut-larutnya penanganan masalah pangan menunjukkan adanya ketidakmampuan belajar (learning disability) dari pemerintah. Menurut Senge, ada tujuh faktor penyebab ketidakmampuan belajar sebuah organisasi. Beberapa di antaranya organisasi tersebut selalu mengidentifikasi penyebab masalah berada di luar organisasi (the enemy is out there).

Selalu dicari kambing hitam dari permasalahan yang timbul. Tak mau introspeksi bahwa kemungkinan penyebab permasalahan dari internal organisasi. Faktor lain penyebab ketidakmampuan belajar dari organisasi adalah seringnya ”ilusi mengambil tanggung jawab” (the illussion of taking charge).

Perilaku tergesa-gesa dalam mengambil keputusan agar dianggap proaktif, padahal sejatinya hanya tindakan reaktif. Permasalahan pangan yang selalu terulang dan terulang lagi ini mengindikasikan rapuhnya ketahanan pangan kita. Terdapat tiga pilar utama ketahanan pangan, yaitu peningkatan produksi secara nyata, penguatan stok, serta sistem distribusi yang mumpuni.

Jika muncul gejolak pangan, maka sudah dapat dipastikan ada satu, dua, atau tiga pilar ketahanan pangan tersebut yang bermasalah. Permasalahan menyangkut daging sapi misalnya, merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Dari sisi produksi, selama ini kebijakan pemerintah mulai dari pembibitan hingga pasca panen belum terintegrasi secara baik.

Permasalahan utama yang dihadapi peternak di daerah adalah sulitnya memperoleh bibit sapi dan pakan. Untuk itu, intervensi pemerintah dalam program pengembangan sapi rakyat harus difokuskan pada pemenuhan bibit unggul dan pakan berkualitas. Permasalahan lain yang dihadapi peternak rakyat adalah sulitnya mengakses kredit. Meski Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) telah dikucurkan sejak 2009, realisasinya tidak sesuai harapan.

Sudah ribuan proposal diajukan, tetapi pelaku usaha yang sudah mendapatkan rekomendasi dapat dihitung dengan jari. Faktor lain penghambat peningkatan produksi daging sapi adalah relatif rendahnya harga jual sapi hidup dibanding harga jual daging. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa mata rantai tata niaga sapi potong masih cukup panjang. Untuk itu, pemerintah harus memangkas agar lebih pendek sehingga lebih menggairahkan peternak.

Kalibrasi Data Pangan Berdasarkan data Angka Sementara Badan Pusat Statistik (BPS), produksi daging sapi nasional 2014 mencapai 539.965 ton dengan populasi sapi potong sejumlah 14,7 juta ekor. Menyangkut kesiapan stok dan distribusi, data ini harus dicermati betul oleh para penentu kebijakan. Jutaan ekor sapi yang didata ini tersebar di seluruh pelosok negeri.

Jadi bukan merupakan stok sapi siap potong jika terjadi kelangkaan daging. Bukan hanya itu, menurut sensus sapi dan kerbau yang pernah dilakukan, sebagian besar populasinya berada di Pulau Jawa. Para penentu kebijakan harus memahami budaya peternakan kita yang unik. Bagi masyarakat Jawa, sapi/kerbau bukanlah komoditas ekonomi semata, tetapi merupakan tabungan (rojo koyo).

Mereka tidak akan menjual sapi/kerbau, kecuali dalam keadaan darurat dan mendesak. Sedangkan untuk beras, polemik yang sering mengemuka berpangkal dari tidak akuratnya data produksi/konsumsi. Data produksi beras nasional yang merupakan perkalian antara luas panen dan produktivitas, didapat dari cara-cara yang masih konvensional.

Pengukuran luas panen melalui perkiraan pandangan mata (eye estimate), data produktivitas diperoleh melalui sampel ”ubinan” petak 2,5x2,5 meter memakai alat sederhana. Terjadinya human error sangat besar dengan cara ”jadul” ini sehingga bias data pengukuran secara berantai mempengaruhi data produksi nasional.

Begitu pula untuk data konsumsi beras. Kementerian/lembaga keukeuh dengan angka masing- masing. Kementerian Pertanian angkanya 139,15 kilogram/ kapita/tahun, BPS besarnya 113,48 kilogram/kapita/tahun, Data Susenas 2012 mematok angka 98 kilogram/ kapita/ tahun. Beragamnya data ini sangat menyulitkan dalam menghitung neraca beras nasional, angkanya surplus atau minus.

Kenyataan seperti ini memunculkan kondisi ”swasembada beras semu”. Suatu kondisi di mana angka produksi beras di atas kertas lebih besar dibanding angka produksi dan kebutuhan beras riil. Tidak heran kalau kemudian muncul pertanyaan- pertanyaan kritis, ”Jika terjadi surplus produksi beras mengapa harga masih tetap stabil tinggi?” atau ”Jika produksi beras surplus tapi mengapa masih ada impor?” Hingga kini pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut tidak terjawab.

Oleh karena itu, usulan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution untuk segera membenahi data pangan harus ditanggapi secara serius. Saat inilah momentum paling tepat untuk melakukan kalibrasi semua data yang menyangkut masalah pangan.

Momentum ini juga momentum yang tepat bagi pemerintah untuk segera membentuk lembaga pangan seperti amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden guna mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan nasional.

Lembaga ini mengemban dua misi besar, melindungi produsen pangan (petani/peternak) dari anjloknya harga hasil panen, serta melindungi konsumen dari melambungnya harga pangan yang tidak terkendali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar