Dana Desa dan Ancaman Kriminalisasi
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 08 September 2015
MENTERI Dalam Negeri
Tjahjo Kumolo ribut ketika mengetahui jumlah dana desa yang dicairkan baru
20%-nya. Sudah bulan September, jumlah itu jelas terlalu sedikit.
Mengapa begitu sedikit
dana desa yang baru dicairkan? Tak tahukah kita bahwa desa merupakan jawaban
penting dari sebuah peradaban baru di abad 21 dimana teori Robert Malthus
yang mengkhawatirkan dunia akan kekurangan pangan akan terjadi pada awal abad
ini?
Kalau semua kaum
produktif di desa pergi ke kota dan meninggalkan sektor pertanian, peternakan
dan perikanan, maka lengkaplah sudah: Indonesia akan menghadapi bencana
pangan yang menyesakkan.
Jawabannya tentu
berkaitan dengan banyaknya kepala desa dan atasan mereka yang takut
mencairkannya, di samping banyak yang belum punya rencana yang jelas. Apalagi
belakangan banyak pejabat yang
dikriminalisasi aparat penegak hukum.
Mengertilah, Ini Opportunity Cost
Tentu Anda maklum,
banyak sudah cerita tentang hal ini. Tetapi kalau takut dikriminalisasi, maka
saya kira berikut ini penting dipahami publik dan aparat penyidik. Sejatinya, pemimpin itu adalah mereka yang
melihat jauh ke depan dengan jangkauan helikopter. Bukan mereka yang urus uang receh karena itu urusan kasir.
Yang dilakukan
pemimpin besar adalah proyek masa depan. Karena itulah mereka berani
melangkah demi menyelamatkan masa depan yang persiapannya dimulai dari
sekarang.
Maka, dalam ilmu yang
saya ajarkan, mereka memang disarankan berani untuk melakukan langkah di luar
prosedur untuk menyelamatkan "sesuatu yang jauh lebih besar". Namun
ini sungguh merepotkan kalau penyidik
dan penegak hukum mengabaikan prinsip opportunity cost.
Seakan-akan karena
selisih harga, adanya kerugian transaksional, atau prosedur berbelit-belit
yang dipotong (karena waktu begitu singkat dan constraint begitu besar) otomatis korupsi.
Kita perlu
mengingatkan, dalam pengambilan keputusan terletak leadership. Seseorang great leader menganut
azas opportunity cost, sebab ia
melihat kepentingan yang jauh lebih besar. Lebih strategis. Dan dalam
penegakkan prinsip itu ia bersedia "membayar biaya transaksi lebih"
demi memberi manfaat yang jauh lebih besar lagi.
Lantas bagaimana kalau
ada proyek yang mangkrak? Ini memang resiko sebuah kepemimpinan. Selalu ada
saja karya pemimpin yang non-finito. Maestro renaissance sekaliber Michael Angelo saja mewariskan 4 buah
patung ukuran besar yang mangkrak, yang dikenal sebagai the naked slaves.
Mengapa mangkrak?
Karena pemimpin ada dalam ruang uncertainties, ketidakpastian.
Sebentar lagi saja, kalau tak jadi bertarung kita akan saksikan karya
walikota yang non-finito. Di
Jakarta saja kita sudah saksikan tiang-tiang monorel yang nasibnya serupa.
Kita tentu busa
menemukan kasus seperti itu di mana-mana. Penegakkan hukum yang masih
didasarkan tekanan massa, gossip, laporan tak jelas, balas dendam, ketakutan
kalau orang itu akan naik lebih tinggi atau terpilih lagi dan seterusnya,
membuat banyak orang iri yang mengelabui para penyidik yang mudah dikelabui.
Akibatnya, kita sulit
menutup kenyataan bahwa tak semua orang yang ditahan adalah mereka yang
benar-benar memperkaya diri, meski beberapa diantaranya jelas-jelas
koruptor. Juga semakin jekas bahwa
mereka yang dijadikan tersangka tak semuanya layak disangkakan. Tak sedikit
di antara mereka yang hanya menjadi korban kepentingan dan pemerasan.
Tapi tahukah mereka
apa akibat yang lebih besar?
Anda benar! Perekonomian negara terancam. Roda
pembangunan, terutama di daerah, jadi tersendat karena orang yang ingin
bekerja benar dilarang ikut oleh keluarganya.
Saya sudah sering
mendengar keluhan bahwa kini orang-orang yang bagus dengan sengaja
menggugurkan dirinya untuk lolos sebagai penerima sertifikat pejabat lelang
yang dikeluarkan LKPP. Mereka sengaja membodoh-bodohi diri agar tak bisa
ditunjuk menjadi panitia lelang sesuai amanat peraturan.
Kalau ini dibiarkan
terus, maka pantaslah perekonomian tersendat. Itu jelas ada hubungannya
dengan kelambanan gerak penyerapan anggaran, termasuk dana desa 2015 senilai
Rp22,77 triliun. Jangan lupa, masih ada lagi dana APBD senilai Rp273 triliun
yang sampai sekarang mengendap di rekening Bank Pembangunan Daerah.
Kebijakan Diskresi
Bank Dunia sudah
memangkas angka pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun ini menjadi 4,5%.
Padahal, sebelumnya proyeksi Bank Dunia masih 5,2%. Ini, salah satunya, pasti
akibat dana yang tidak mengucur tadi.
Maka, saya sungguh
berharap Presiden Joko Widodo
mengeluarkan edaran mengenai diskresi kebijakan dan administrasi dapat
membongkar ketakutan tadi. Kalau
kesalahannya hanya administratif, sanksinya ya cukup sanksi administratif.
Sayangnya, selang
beberapa hari setelah munculnya edaran, kantor pusat PT Indonesia Port
Company (IPC) digeruduk polisi. Alasannya, mereka ingin membongkar kasus 10
crane yang belum semuanya digunakan. Padahal, urusan crane tadi sudah diaudit
oleh Badan Pemeriksa keuangan (BPK).
Menurut BPK, memang
ada ketidakcermatan dalam pengadaan crane, tetapi itu masih dalam wilayah
korporasi. Artinya, wilayah perdata. Bukan pidana. Setelah itu saya membaca
tekanan datang bertubi- tubi dari Serikat Pekerja yang beberapa waktu
belakangan ini memang berseteru dengan CEOnya.
Kasus IPC agaknya
bakal menjadi ujian penting bagi Pemerintahan Jokowi-JK. Apakah keduanya
masih memegang kendali pemerintahan, atau tidak. Saya harap, masih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar