Masa Denial yang Mestinya Bisa Dilewati
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 07 September 2015
SIKAP terbaik yang
harus diteguhkan saat ini adalah: mengakui dan menyadari bahwa keadaan
ekonomi kita memang sulit. Tidak perlu menutupi. Lebih-lebih tidak perlu
menolak keadaan yang memang sulit itu. Jangan punya sikap, yang di dunia
kedokteran disebut denial. Tidak boleh sebagian dari kita mengatakan sulit,
tapi sebagian lagi mengatakan kita ini tidak sulit.
Menjalani fase mengakui
kesulitan itu kadang tidak mudah. Seperti orang yang didiagnosis terkena
penyakit jiwa, umumnya menolak dikatakan sakit jiwa. Atau sakit kanker. Atau
sakit apa pun. Kian kuat penolakan itu, kian sulit upaya penyembuhannya.
Tapi, datangnya fase
penolakan itu sangat wajar. Terjadi hampir pada siapa saja. Hanya, sebaiknya
fase denial itu jangan lama-lama. Agar tidak terjadi konflik antaranggota
keluarga. Tidak perlu bertengkar mengapa terkena penyakit. Siapa yang
mengakibatkan sakit. Dari mana datangnya sakit. Apalagi kalau sampai ada
kesimpulan bahwa sakit itu karena disantet.
Fokus utama bisa
langsung bagaimana segera mengobatinya. Itu pun belum tentu bisa segera
sembuh. Apalagi kalau tidak segera diobati. Lebih-lebih bila tidak segera
tahu bagaimana cara mengobatinya, siapa dokternya, siapa perawatnya, dan
seterusnya.
Setelah fase denial
dilewati, sebaiknya segera tentukan sikap: yang pernah berkampanye dengan
janji-janji tinggi tidak perlu terus mengingat janji itu. Tidak perlu
bersikap harus ngotot akan melaksanakannya. Keadaan memang sudah tidak
memungkinkan.
Presiden George Bush
dalam kampanye pencalonannya dulu selalu menegaskan akan memberikan perhatian
khusus kepada Amerika Latin. Maklum, dia dari Texas yang berbatasan langsung
dengan Meksiko. Setelah terpilih, ternyata fokusnya tetap ke negara-negara
Arab, sebagaimana pendahulunya. Bahkan, tidak sekali pun Bush sempat
berkunjung ke salah satu negara Amerika Latin. Toh dia terpilih lagi.
Pihak yang dulu rajin
mencatat janji-janji kampanye itu (dan berniat akan menagihnya) sebaiknya
juga membatalkan niat itu. Bahkan tidak perlu membuka catatan itu. Apalagi
menagihnya. Penagihan itu hanya akan mempersulit keadaan. Kepuasan bisa
menagih janji itu tidak akan menghasilkan apa-apa. Hanya akan menimbulkan
komplikasi. Bahkan komplikasi politik.
Padahal, kita semua
tahu krisis ekonomi yang disertai komplikasi politik akan memperparah
keadaan. Itu yang sedang dihadapi Malaysia saat ini. Kita sudah pernah
merasakannya. Mestinya kita sudah kapok dengan keadaan seperti itu pada tahun
1998.
Kita harus berterima
kasih karena dalam kesulitan ekonomi ini kubu oposisi tidak banyak
mempersoalkan pemerintah. Meski penyebabnya mungkin karena Golkar pecah. Dan
perpecahannya mungkin akan lebih lama daripada masa krisis ini.
Demikian juga PPP. Dua
kubu dalam partai Islam ini bukanlah tipe yang mudah bersatu. Partai Islam
satunya, PAN, bahkan sudah bergabung ke pemerintah. Hanya PKS yang masih
solid. Bahkan kelihatannya kian solid. Hasil munas terakhir PKS mendapat apresiasi
yang luar biasa di kalangan anak muda Islam.
Dengan gambaran itu,
mestinya masa denial bisa segera kita lewati. Agar proses pengobatan krisis
bisa efektif. Krisis ini tidak bisa diatasi hanya oleh pemerintah meski yang
utama adalah pemerintah. Pengakuan pemerintah bahwa kita lagi sulit akan
menimbulkan rasa simpati dan empati. Dari sini akan muncul saling membantu.
Saling percaya. Krisis ini akan sulit diatasi kalau terjadi krisis
kepercayaan. Atau kalau tidak ada rasa ketenangan dalam berusaha.
Tidak usahlah ada yang
mengatakan bahwa ini belum krisis. Inflasi masih terkontrol. Harga tomat
masih Rp 1.000 per kg. Dan sebangsa itu. Fakta itu akan cepat berubah. Tiwas
kita kehilangan waktu.
Tidak perlu juga
menyalahkan Amerika Serikat (AS), Korea, atau Tiongkok. Apalagi menyalahkan
SBY segala. Itu hanya akan menambah sinyal bahwa kita, secara tidak sadar,
masih berada di fase denial.
Kita syukuri ekonomi
kita di masa lalu pernah tumbuh tinggi beberapa tahun. Sehingga kini kita
lebih punya modal untuk memasuki masa sulit. Tapi, tidak perlu juga ada yang
terlalu membanggakan masa-masa itu karena toh sudah lewat. Itulah masa ketika
AS mengatasi krisis ekonominya yang berat pada 2008 dengan cara semena-mena:
mencetak uang dolar sebanyak-banyaknya!
Cara itu berhasil
menggairahkan ekonomi AS (juga ekonomi dunia). Tapi juga berhasil
meningkatkan utang luar negeri yang fantastis di banyak negara! Termasuk
Tiongkok. Angka-angka peningkatan utang luar negeri itu mengerikan. Dalam
waktu singkat.
Mengapa AS mengatasi
krisisnya dengan mencetak uang dolar sebanyak-banyaknya? Karena toh dolar itu
akan beredar di luar negeri. Tidak akan punya dampak inflasi di dalam negeri
AS sendiri. Coba kalau negara lain yang mencetak uang seperti itu. Misalnya
kita. Ekonomi negara itu akan hancur karena inflasinya tidak terkendali.
Tapi, karena dolar
yang beredar di luar AS lebih besar daripada yang beredar di AS sendiri,
pencetakan uang itu tidak merusak ekonomi AS.
Itulah untungnya mata
uang dolar menjadi mata uang dunia. Ia bisa digunakan dengan mudah untuk
menyehatkan ekonominya sekaligus mengendalikan ekonomi negara lain.
Tahun lalu, ketika AS
merasa tujuan mengatasi krisisnya sudah selesai, dimulailah rencana
mengetatkan dolar. Dan akan terus diketatkan lagi pada tahun-tahun mendatang.
Agar tidak memukul ekonomi AS. Peredaran dolar yang berlebih untuk masa yang
terlalu lama pada akhirnya akan membahayakan AS. Proses pengetatan dolar
itulah yang menjadi wabah penyakit sekarang ini.
Maka kita akui saja
ekonomi kita lagi sulit dan akan sulit. Segeralah kita akhiri masa denial.
Lalu kita lakukan apa yang harus kita lakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar