Urgensi
Investasi bagi Korporasi Petani Bagus Herwibawa ; Dosen Fakultas Peternakan dan Pertanian
Universitas Diponegoro |
KOMPAS, 29 Juni 2021
Setahun lebih sejak
pandemi Covid-19 dinyatakan resmi, banyak sektor yang terpukul krisis
multidimensi. Berbeda dengan sektor lain, pertanian masih terbukti punya daya
lenting. Apresiasi sudah seharusnya pantas diterima petani, yang tak pernah
berhenti berusaha di tengah pandemi. Hari Krida Pertanian (HKP)
yang diperingati setiap 21 Juni merupakan wujud penghargaan kepada petani.
Tidak hanya ungkapan rasa syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
kekayaan alam Indonesia. Keberpihakan kepada petani harus menjadi keniscayaan
karena petani yang mendapat mandat mengelola alam untuk kesejahteraan. "Sedangkan soal
persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup dan mati”, sebuah
petikan pidato Soekarno saat peletakan batu pertama Gedung Fakultet Pertanian
UI di Bogor tahun 1952. Keberpihakan pemerintah sebenarnya sudah ditunjukkan
dengan berbagai program strategis untuk mendongkrak kesejahteraan petani. Namun, selama
bertahun-tahun jalan termudah untuk meredam masalah pangan justru dipilih
pemerintah. Impor pangan selalu menjadi solusi ketika stok nasional dikatakan
menipis. Panen raya hanya sekadar menjadi angka prestasi, tanpa pernah
mendatangkan nilai yang berarti bagi sebagian besar petani. Petani tua yang seakan tak
punya posisi tawar, bahkan ketika harga jual produknya ditentukan tengkulak,
hanya bisa menerimanya dengan pasrah. Disparitas harga di tingkat produsen
dan konsumen, kompleksitas budidaya, dan citra petani yang miskin. Sangat
wajar bila profesi petani sudah tidak diminati sebagian besar generasi muda. Generasi muda sadar bahwa
pertumbuhan ekonomi dapat diwujudkan dan dipertahankan dengan adanya suatu
aliran investasi yang stabil dan andal. Investasi di sektor pertanian sangat
penting karena dapat mengintroduksi teknologi baru, meningkatkan pengetahuan
dan kapasitas manajerial, serta koneksi ke pasar global. Teori Harrod-Domar
memberikan peranan kunci pada investasi dalam pertumbuhan ekonomi, khususnya
mengenai watak gandanya. Yaitu, menciptakan pendapatan yang disebut dampak
permintaan, dan memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan
meningkatkan stok modal yang disebut dampak penawaran. Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) melaporkan realisasi investasi di sektor pertanian selama tahun
2020 hingga awal 2021 sebesar Rp 62 triliun, dengan proporsi modal dalam negeri
sebesar 67 persen sementara modal asing sekitar 33 persen. Realisasi
investasi pertanian tentu akan bertumbuh seiring dengan peluang peningkatan
konsumsi domestik. Untuk sawit misalnya,
banyak perusahaan yang menyuntikkan investasi karena kebijakan mandatori
biodiesel meningkatkan konsumsi minyak sawit mentah (CPO). Namun, keuntungan
besar investasi lebih mudah dirasakan konglomerasi di bidang pertanian.
Berbeda dengan nasib sebagian besar petani di pedesaan yang seolah tak
tersentuh dengan manfaat kebijakan untuk menggenjot perekonomian petani. Investasi di sektor
pertanian untuk usaha tani di pedesaan memang masih sedikit peminat. Banyak
faktor yang menjadi latar belakang, misalnya usaha tani memiliki risiko
tinggi, tidak punya manajemen yang jelas, budidaya tidak efisien, kepemilikan
lahan yang sempit, dan tidak memenuhi persyaratan agunan. Model bisnis pertanian di
pedesaan sebagai perusahaan (korporasi) saat ini merupakan solusi konkret
untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Korporasi petani merupakan kumpulan
usaha tani milik petani, yang digabungkan untuk dikelola bersama secara
profesional dalam satu manajemen disertai adanya tanda penyertaan modal. Korporasi petani
menyebabkan peningkatan produksi bukan lagi menjadi satu-satunya tujuan utama,
namun lebih ditentukan manajemen yang berorientasi keuntungan. Manajer dapat
menunda untuk menjual produk ketika harga jatuh saat panen raya, tata niaga
bisa menjadi lebih pendek, dan akses modal lebih mudah. Petani juga tidak
lagi menjual produk hulu, namun harus dijual sebagai produk hilir. Sistem pertanian subsisten
akan bertransformasi menjadi agribisnis. Di sisi lain, era neo-pertanian juga
tidak bisa dicegah, bagaimana sekarang petani dituntut untuk menghadapi
ganasnya ekonomi digital, dan pertanian cerdas berbasis mahadata,
otomatisasi, dan kecerdasan buatan yang terintegrasi dengan jaringan
internet. Kita juga harus bersiap
untuk era manusia 2.0 dimana titik singularitas diperkirakan terjadi pada
tahun 2029. Sementara pada tahun 2030, Indonesia diprediksi menghadapi bonus
demografi. Saat itu jumlah digital native sudah melebihi digital immigrants.
Generasi milenial kemudian akan menjadi kunci utama dalam kehidupan
neo-pertanian baik sebagai konsumen maupun produsen. Sembilan tahun bukanlah
waktu yang lama untuk menyiapkan generasi milenial sebagai pemegang tongkat
estafet pembangunan pertanian selanjutnya. Namun bila proses peralihan
teknologi dari tradisional menjadi modern dibiarkan alami, tentu sangat sulit
untuk mengejar ketertinggalan. Selain karena keterbatasan biaya, keterbatasan
pengetahuan petani juga menjadi faktor penghambat. Oleh karenanya, investasi
bagi korporasi petani sangat penting dan mendesak agar petani tetap eksis
menjalankan bisnisnya. Investasi juga akan mempercepat regenerasi petani
milenial. Bila pertanian memiliki sumber daya dan manajemen yang baik tentu
pada akhirnya akan menjadi sektor yang menarik, prospektif, menguntungkan,
dan berdampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan petani di pedesaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar