Pemimpin
Absurd Alissa Wahid ; Aktivis dalam Bidang Sosial dan Keagamaan |
KOMPAS, 4 Juli 2021
Paruh kedua bulan Juni
ini, kondisi pandemi menggenting. Kabar kematian menderas. Kabar persoalan
dan kesulitan datang silih berganti. Fasilitas layanan kesehatan tak mampu
menangani banjir pasien. Menipisnya persediaan oksigen. Tenaga kesehatan
terjangkit Covid-19. Pasien berhari-hari
mencari RS, sebagiannya meninggal dalam penantian. Kelompok sukarelawan
kewalahan mendampingi warga yang membutuhan bantuan. Sukarelawan pemakaman
bekerja siang malam, tanpa sempat beristirahat. Sukarelawan pembawa pasien ke
RS harus berjibaku berkeliling sampai menemukan RS yang masih bisa menampung,
bahkan mengalami pasien meninggal di dalam ambulans setelah ditolak berulang
kali. Selain berhadapan dengan
beban fasilitas layanan kesehatan, beberapa daerah menanggung beban lainnya:
sikap warga yang tidak kooperatif, seperti kasus kericuhan di Jembatan
Suramadu. Di sela-sela situasi
genting penting ini, terekam juga berbagai situasi absurd. Dari sejumlah kota
didapati perbedaan antara hitungan data lapangan dan data resmi pemerintah.
Muncul pemerintah kabupaten yang menolak aturan dari kepala daerah di
atasnya. Kota tertentu tidak menunjukkan perubahan data kematian sejak
beberapa bulan lalu 2021. Kota lain mengorting data. Beberapa tenaga
kesehatan bercerita tentang larangan mengunggah dan menyebarkan foto kondisi
di lembaga tempatnya bekerja. Menteri Kesehatan bahkan
terbuka mengkritik greening (mendapatkan kategori kota warna hijau) yang
dilakukan beberapa kepala daerah, yaitu manipulasi atau rekayasa sosial
dengan cara mengurangi jumlah 3T (trace, test, treat), dengan memilah data
atau strategi lainnya. Belum lagi perilaku
personal beberapa kepala daerah yang membuat publik ”takjub” seperti yang
ditunjukkan oleh Wakil Bupati Lampung Tengah, berjoget dan bernyanyi tanpa
mengindahkan protokol kesehatan. Ada juga kepala daerah yang mempromosikan
sikap antiprotokol kesehatan, baik secara terbuka maupun tidak langsung, baik
melalui ucapan lisan maupun melalui contoh tindakan. Dampak dari pandangan,
keputusan dan sikap para pemimpin daerah ini adalah kebijakan penanggulangan
pandemi di daerah yang menjadi tidak memadai untuk menghadang lajunya
pandemi. Begitupun, mereka bergeming dan bertahan dengan sudut pandangnya.
Masukan dari para tenaga kesehatan dan kelompok-kelompok masyarakat yang
bekerja di garis depan pun diabaikan. Banyak pakar kepemimpinan
dan manajemen mengatakan bahwa pandemi ini mengekspos banyak hal tentang
kepemimpinan dan manajemen krisis, terutama pada sektor kepemimpinan publik.
Beberapa kepala negara dianggap menunjukkan absurditas yang sangat tinggi
karena menolak realitas pandemi, menyepelekan, dan akhirnya menjerumuskan
negaranya dalam krisis kesehatan yang buruk. Paling banyak diulas adalah
sikap Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang dianggap memperparah krisis
kesehatan, yang kemudian teratasi dalam kepemimpinan Presiden Joe Biden. Sebelum pandemi, berbagai
penelitian tingkat global menunjukkan meningkatnya ketidakpuasan warga
terhadap pemimpin produk demokrasi, baik di tingkat eksekutif maupun
legislatif. Diyakini, banyak pemimpin hasil pemilihan umum ternyata tidak
memberikan kebaikan kepada warga, hanya melayani kepentingan pemodal
kampanyenya, dan tidak kompeten menjalankan tugasnya. Pandemi Covid-19
semakin memperjelas fenomena ini. Pertanyaannya, apa yang
membuat banyak pemimpin terpilih, baik sekelas Presiden Brasil maupun di tingkat
bupati atau wali kota di Indonesia, bersikap dan berperilaku absurd
sedemikian? Dr Tomas Chamorro-Premuzic, pakar psikologi organisasi dan
kepemimpinan, mengatakan bahwa pemimpin inkompeten biasanya dihasilkan oleh
perangkap kultural dalam memilih pemimpin. Perangkap pertama adalah
ketidakmampuan kita membedakan rasa percaya diri dengan kompetensi. Kita
menganggap orang yang percaya diri adalah orang yang kompeten. Tentu saja
tidak. Bahkan fenomena Efek Dunning-Kruger membuktikan sebaliknya: mereka
yang percaya diri berlebihan biasanya terlalu tinggi menilai dirinya, tak
sesuai dengan kompetensi riilnya. Perangkap kedua adalah
kita terpesona oleh karisma. Padahal, para pemimpin besar justru menunjukkan
kerendahan hati, sebagaimana ditunjukkan oleh Nelson Mandela atau Mahatma
Gandhi. Alih-alih memilih figur yang rendah hati dan andap asor, kita memilih
figur yang tampak karismatik. Narsisisme menjadi ciri
terakhir yang memerangkap para pemilih kepala daerah. Publik kita pada
dasarnya suka mengelu-elukan narsisisme, contohnya dalam fenomena narsisisme
para influencer media sosial. Karena itu, dalam pemilihan kepala daerah pun,
figur yang menarik hati para pemilih adalah mereka yang justru mampu
”menunjukkan” dirinya. Dilengkapi dengan narasi
populis, cengkeraman tiga perangkap ini menjadi semakin kuat. Ini pun
diperparah oleh loopholes otonomi daerah, yang membuat gamang hubungan
pusat-daerah. Semua aspek ini menjadikan kepala daerah pilihan rakyat
setempat menjadi figur omnipoten, sulit dipengaruhi ataupun dikendalikan, dan
sulit dikejar akuntabilitas pandangan dan keputusannya. Misalnya, Bupati
Banjarnegara bergeming dengan keputusannya untuk membolehkan hajatan di
tengah pandemi, walaupun gubernur telah melarangnya. Problem kepemimpinan
daerah yang makin sulit terkendali ini telah cukup lama menyedot perhatian.
Pandemi Covid-19 ini membantu menyingkapnya, terutama tentang kepemimpinan
publik dalam masa krisis. Inilah tantangan demokrasi yang sesungguhnya,
ketika prinsip dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat dalam demokrasi justru
menghasilkan figur yang populis, tanpa mekanisme fundamental untuk
mengaturnya. Barangkali, pandemi inilah
yang akan mengubah cara kita mengukur dan memilih pemimpin, itu pun apabila
publik menyadarinya. Seperti kata Chamorro-Premuzic, yang dibutuhkan adalah
pemimpin dengan kompetensi, kebesaran jiwa, dan integritas. Pekerjaan rumah
kita, bagaimana mendidik warga untuk mampu memilih yang terbaik? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar