Kebangsaan
”Sonder” Kebangsaan Mochtar Pabottingi ; Profesor Riset LIPI 2000-2010 |
KOMPAS, 7 Juli 2021
Kita sudah mengetahui
bahwa musuh terbesar setiap negara-bangsa adalah korupsi laten pada tubuh
negara dalam aneka bentuknya. Jika dibiarkan merajalela,
korupsi demikian pasti akan menggerogoti upaya-upaya pembangunan, segenap
kegiatan positif kreatif publik, termasuk sendi-sendi dan/atau ideal-ideal
negara-bangsa itu sendiri. Dan perlu ditegaskan bahwa laku korupsi terburuk
ialah manakala prinsip-prinsip dan/atau simbol-simbol tersakral negara-bangsa
disalah-gunakan sebagai “tongkat penggebuk” untuk mengukuhkan pelbagai bentuk
praktIk kekuasaan yang nista. Kita ingat bahwa di sepanjang
Orde Baru, Pancasila telah disalahgunakan oleh Presiden Soeharto untuk
menghancurkan setiap lawan politiknya demi pengukuhan dan perpetuasi
kekuasaan dengan segenap “privilese” materiilnya. Belakangan ini, di Era
Reformasi, giliran wawasan kebangsaan disalahgunakan untuk menyingkirkan
segenap penghambat praksis korupsi, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), terutama di, menyangkut, atau yang berjalin dengan ketiga lembaga
pemerintahan. Di sini berlaku suatu
ironi besar, yaitu pendalihan wawasan kebangsaan untuk menghancurkan prinsip
kebangsaan itu sendiri. Dan tindakan demikian pastilah tindakan tanpa
integritas sebab melanggar keabsahan substantif dan sulit dibedakan dari laku
khianat. Mari kita simak ketiadaan
integritas dan pelanggaran keabsahan substantif itu lewat tiga jenjang logika
yang tak diindahkan oleh pimpinan KPK beserta setiap pihak atau partisipan
penyusun konten Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagaimana yang tersebar di
media massa dan yang telah diujikan kepada segenap pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka alih fungsi mereka menjadi ASN.
Ketiadaan integritas itu bisa dilacak dalam tiga hitungan. Pertama, dan esensial,
kuesioner TWK mengidap kerapuhan logika atau penggampangan nalar lantaran ia
sama sekali tak menyentuh pemahaman, fakta-fakta, dan patokan-patokan dari
prinsip kebangsaan itu sendiri. Di situ juga tak ada upaya untuk mendedahkan
kesadaran akan kaitan obyektif dari aneka laku korupsi dengan penggerogotan
langsung atas energi positif dan bangunan politik suatu bangsa. Kedua, kuesioner TWK
melakukan vulgarisasi, bahkan distorsi, dengan obsesi pada kehendak untuk
membuktikan dugaan atau prasangka adanya fanatisme keagamaan di kalangan para
pegawai KPK yang dites. Selain bersifat vulgar dan distortif, kandungannya
pun banyak ditandai hal-hal yang irelevan, meleceh, mengada-ada dan kontra
historis sekaligus. Ketiga, dan terpenting,
ialah bahwa TWK sesungguhnya telah menzalimi ke-75 pegawai KPK tiga kali
lipat, yaitu dengan menerapkan tes yang tak memiliki keabsahan substantif,
dengan melanggar prinsip kemanusiaan, dan dengan menerapkan hukuman yang
sungguh amat kejam lantaran dijatuhkan di tengah-tengah cekikan pandemi
Covid-19. Kerapuhan logika atau
penggampangan nalar pada TWK langsung tersimak pada kuesionernya. Kita tahu
bahwa pada penamaan Tes Wawasan Kebangsaan yang semestinya dites adalah
ada-tidaknya atau kuat lemahnya wawasan kebangsaan dari para pegawai KPK yang
misi utamanya adalah untuk memberantas korupsi. Tapi tak terbetik satu pun
pertanyaan perihal pengertian otoritatif tentang bangsa sebagai suatu
kolektivitas politik yang egaliter-otosentris –yang setara-setumpuan. Juga
perihal relasi antagonistik antara laku korupsi dan prinsip kebangsaan.
Padahal kedua pertanyaan itulah yang sesungguhnya paling sentral untuk
diekplorasi demi menunjukkan kualitas wawasan kebangsaan para pegawai KPK. Tak terbetik eksplorasi
dari pertanyaan-pertanyaan mengapa praksis korupsi laten masif terutama pada
Orde Baru telah menciptakan krisis multidimensi di tengah-tengah bangsa kita
yang dampaknya hingga kini pun masih terus dibiarkan menggerogoti segenap
perilaku bernegara serta lembaga-lembaga kenegaraan sehingga masih terus
mengancam sendi-sendi negara-bangsa kita. Pertanyaan-pertanyaan
tidak diarahkan pada kenyataan mengapa pada suatu negara-bangsa yang dilanda
oleh pelbagai praktek korupsi laten keseluruhan kegiatan dalam bidang-bidang
ekonomi, politik, kebudayaan, dan kesejahteraan rakyat kehilangan dimensi
kehormatan, keindahan, dan keluhurannya. Jika prinsip kepercayaan publik
dalam inter-relasi publik dicampakkan maka tercampak pulalah ideal-ideal atau
patokan-patokan dari negara-bangsa kita. Ketercampakan demikian
bermuara langsung pada terkikisnya energi positif dan/atau kehangatan serta
kegairahan dalam bernegara, berbangsa, dan berdemokrasi. Tak satu pun
negara-bangsa yang bisa bertumbuh tercerahkan dan berkiprah terpuji di
gelanggang dunia tanpa kehangatan dan kegairahan dalam relasi publik
demikian. Di sini jelaslah kaitan
sentral dan hakiki antara keniscayaan pemberantasan korupsi dengan kehendak
untuk bernegara-bangsa secara terhormat, indah, dan luhur; relasi organik
antara penggalakan pemberantasan korupsi dengan kehendak dan kerinduan
mayoritas warganegara untuk bangun setiap pagi dengan semangat jiwa
terhormat, indah, dan luhur tadi dalam dada setiap anak dan warga bangsa; dan
dari situ relasi suci antara pemberantasan korupsi dengan kebangkitan
sepenuh-penuhnya dari gairah serta dorongan untuk berkarya, berbakti, dan
berprestasi mulai dari tingkat akar rumput hingga di tingkat puncak pada
seluruh bidang kehidupan nasional. Singkatnya, tekad
pemberantasan korupsi tak lain dari upaya penciptaan iklim kehidupan
bernegara-bangsa di mana berlaku undangan dan panggilan langsung dan murni
bagi kelahiran dan ketertopangan hidup serta kiprah putra-putri bangsa kita
di dalam alam kemerdekaan yang sarat energi positif untuk mengangkat harkat
hidup segenap bangsa kita. Sudah berpuluh tahun manusia-manusia Indonesia
direnggut dan tak lagi merasakan undangan dan panggilan untuk bangun serta
bernafas setiap hari dalam siklus dan iklim kehidupan suatu negara-bangsa
yang terhormat, indah, dan luhur. Dari sini kita bisa
memperkirakan bahwa sangat mungkin ketakmampuan menyimak atau penghindaran
dari esensi dan substansi wawasan kebangsaan disertai kuatnya dalih atau
paranoia di permukaan untuk membuktikan adanya fanatisme keagamaan di tubuh
personalia KPK itulah yang membuat para penyusun kuesioner TWK tergiring ke
dalam laku vulgar, irelevan, meleceh, dan mengada-ada. Simaklah rangkaian
pertanyaan liar seperti “Bersedia lepas jilbab?”, “Ikut pengajian apa”, “Kamu
alirannya netral atau bagaimana?”, dan pertanyaan konyol tentang “free sex”,
“threesome”, dan “orgy”. Tak satu pun pertanyaan yang memunculkan kasus-kasus
Setya Novanto, Akil Mochtar, Angelina Sondakh, Syamsul Mursalim, Djoko
Chandra, Harun Masiku, Juliari Batubara, Jaksa Pinangki, Adelin Lis, dst. Pertanyaan paling
distortif dan pandir sejarah, yang justru mengancam pemahaman yang benar
tentang wawasan kebangsaan itu sendiri adalah “Pilih Al Qur’an atau
Pancasila?” Tak ada yang lebih konyol dari pertanyaan ini. Di sini sama
sekali tak diindahkan keniscayaan distingsi antara fanatisme agama dan
religiusitas positif dalam kaitannya dengan keadaban publik atau kearifan
bernegara-bangsa dan berdemokrasi di dalam sejarah kemerdekaan kita. Fanatisme agama bersifat
sentrifugal –menggerogoti semangat kebangsaan, sedangkan religiusitas positif
bersifat sentripetal –memelihara semangat kebangsaan. Dan yang paling tak
diindahkan bahwa secara historis sejak kurun kebangkitan nasional telah
terjalin suatu simbiosis utuh antara semangat keagamaan, khususnya Islam,
dengan semangat kebangsaan. Dari situlah ungkapan “bangsa selam” di kalangan
Sarekat Islam –partai terbesar dan terkuat di sepanjang sejarah politik
bangsa kita. Religiusitas positif
itulah yang membuat kaum muslimin senantiasa merupakan reservoir utama dari
konsistensi perlawanan terhadap penjajahan sejak dari kurun proto-nasion di
sepanjang beratus tahun lampau hingga ke kurun pergerakan kebangsaan dan
Revolusi Kemerdekaan. Per individu, ini juga tersimak, misalnya, pada
intensitas keimanan Bung Hatta yang lebur utuh dengan perjuangan totalnya
yang sungguh tanpa pamrih untuk membela, membangun, dan mengawal bangsa dan
Republik kita praktis di sepanjang hidupnya. Sebagian besar tokoh Pergerakan
Kebangsaan yang pantas disebut sebagai Pendiri Bangsa, juga dari kalangan
non-muslim, termasuk dalam kategori ini. Hari Pahlawan 10 November
1945 dan hari-hari di sekitarnya di mana enam ribuan syuhada gugur juga
merupakan pembuktian paling tandas dari relasi utuh antara intensitas
keislaman dengan kesediaan untuk memberikan pengorbanan tertinggi bagi
Republik kita yang ditegakkan di atas pilar-pilar Pancasila. Kekonyolan dari
pertanyaan itu langsung tersibak pada tiadanya pemahaman bahwa bagi mayoritas
umat Islam Indonesia, Al Qur’an sepenuh-penuhnya tak terpisahkan bukan hanya
dari substansi sila pertama Pancasila --Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan
juga dari substansi keempat sila selebihnya. Pemecatan langsung atas
ke-51 pegawai KPK dan penggantungan nasib ke-24 selebihnya lantaran dinilai
tak lulus pada TWK-KPK merupakan kezaliman tiga kali lipat. Pertama ialah
bahwa mereka dizalimi sebagai manusia-manusia yang tak memiliki wawasan
kebangsaan lewat TWK yang selain tak memiliki keabsahan substantif, juga tak
memiliki legitimasi moral. Kita tahu bahwa Ketua KPK,
Firli Bahuri, motor utama dari pelaksanaan TWK-KPK itu sulit untuk disebut
sebagai memiliki kredibilitas, baik dalam hal wawasan kebangsaan maupun
sebagai pemberantas korupsi. (Lihat “Siasat Gelap Firli Bahuri”, Laporan
Utama Tempo, 21-27 Juni 2021). Ini berarti bahwa terhadap diri ke-75 pegawai
KPK itu telah dipaksakan suatu stigmatisasi buruk permanen berdasarkan TWK
yang bersifat lancung dan khianat bukan hanya dalam hitungan wawasan
kebangsaan, melainkan juga dalam hitungan misi pemberantasan korupsi itu
sendiri. Mengabsahkan hasil suatu
TWK yang sebenarnya sama sekali tak memiliki keabsahan substantif maupun
legitimasi moral pastilah merupakan suatu kezaliman besar. Di situ juga
berlaku kepalsuan atau penipuan besar di ranah publik. Kezaliman kedua terhadap
ke-75 pegawai KPK terjadi lantaran TWK-KPK memisahkan sila ketiga Pancasila,
Persatuan Indonesia, representasi utama dari wawasan Kebangsaan Indonesia,
terutama dari sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Padahal tak satu sila pun dalam Pancasila yang boleh dilihat atau dipahami
sebagai terlepas dari relasi konteks integral dan substantifnya dengan setiap
sila lainnya. Pada Pancasila-lah kesetumpuan kita sebagai suatu bangsa
dirumuskan. Wawasan kebangsaan
mustahil dipisahkan dari wawasan kemanusiaan. Takkan ada solidaritas kolektif
kebangsaan tanpa penjunjungan individual kemanusiaan dari setiap warga
bangsa. Sesungguhnya pada kenyataan itu pulalah terkuak gamblang kehendak dan
praktik lancung dari TWK-KPK itu. Dijatuhkannya palu godam
hukuman TWK-KPK terhadap ke-75 pegawai KPK sebagai pecundang tes wawasan
kebangsaan akan mengancam atau langsung menghancurkan bukan hanya peluang
kelanjutan karir profesional mereka, sejumlah penting di antaranya telah
membuktikan keteladanan bakti serta kejuangan tegar dan tulus mereka sebagai
pemberantas korupsi atau tengah gigih membongkar kasus-kasus korupsi kakap
terkini, melainkan juga peluang umum mereka untuk hidup secara terhormat ke
depan di Tanah Air tercinta sebagai warganegara Indonesia –suatu kezaliman
yang juga pasti akan menimpa segenap anggota keluarga mereka masing-masing. Kezaliman ketiga ialah
bahwa hukuman berat pencabutan hak-hak asasi ke-75 pegawai KPK itu dijatuhkan
di tengah-tengah kecamuk maha wabah Covid-19 yang mencekik kehidupan
mayoritas warga dunia, termasuk mayoritas warga Indonesia, tak sedikit di
tengah-tengah kita yang sepanjang dua tahun ini sudah mengalami perihnya
perjuangan melanjutkan hidup pribadi, apalagi hidup keluarga, dari hari ke
hari. Di sini sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta harkat
kewargaan keindonesiaan dari ke-75 pegawai KPK itu dicampakkan ke lumpur
kehinaan bersama dengan harkat kemanusiaan mereka. Adakah tumpukan kezaliman
atas nama negara yang lebih berat daripada itu? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar