Sabtu, 10 Juli 2021

 

Kebangsaan ”Sonder” Kebangsaan

Mochtar Pabottingi ;  Profesor Riset LIPI 2000-2010

KOMPAS, 7 Juli 2021

 

 

                                                           

Kita sudah mengetahui bahwa musuh terbesar setiap negara-bangsa adalah korupsi laten pada tubuh negara dalam aneka bentuknya.

 

Jika dibiarkan merajalela, korupsi demikian pasti akan menggerogoti upaya-upaya pembangunan, segenap kegiatan positif kreatif publik, termasuk sendi-sendi dan/atau ideal-ideal negara-bangsa itu sendiri. Dan perlu ditegaskan bahwa laku korupsi terburuk ialah manakala prinsip-prinsip dan/atau simbol-simbol tersakral negara-bangsa disalah-gunakan sebagai “tongkat penggebuk” untuk mengukuhkan pelbagai bentuk praktIk kekuasaan yang nista.

 

Kita ingat bahwa di sepanjang Orde Baru, Pancasila telah disalahgunakan oleh Presiden Soeharto untuk menghancurkan setiap lawan politiknya demi pengukuhan dan perpetuasi kekuasaan dengan segenap “privilese” materiilnya.

 

Belakangan ini, di Era Reformasi, giliran wawasan kebangsaan disalahgunakan untuk menyingkirkan segenap penghambat praksis korupsi, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terutama di, menyangkut, atau yang berjalin dengan ketiga lembaga pemerintahan.

 

Di sini berlaku suatu ironi besar, yaitu pendalihan wawasan kebangsaan untuk menghancurkan prinsip kebangsaan itu sendiri. Dan tindakan demikian pastilah tindakan tanpa integritas sebab melanggar keabsahan substantif dan sulit dibedakan dari laku khianat.

Mari kita simak ketiadaan integritas dan pelanggaran keabsahan substantif itu lewat tiga jenjang logika yang tak diindahkan oleh pimpinan KPK beserta setiap pihak atau partisipan penyusun konten Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagaimana yang tersebar di media massa dan yang telah diujikan kepada segenap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka alih fungsi mereka menjadi ASN. Ketiadaan integritas itu bisa dilacak dalam tiga hitungan.

 

Pertama, dan esensial, kuesioner TWK mengidap kerapuhan logika atau penggampangan nalar lantaran ia sama sekali tak menyentuh pemahaman, fakta-fakta, dan patokan-patokan dari prinsip kebangsaan itu sendiri. Di situ juga tak ada upaya untuk mendedahkan kesadaran akan kaitan obyektif dari aneka laku korupsi dengan penggerogotan langsung atas energi positif dan bangunan politik suatu bangsa.

 

Kedua, kuesioner TWK melakukan vulgarisasi, bahkan distorsi, dengan obsesi pada kehendak untuk membuktikan dugaan atau prasangka adanya fanatisme keagamaan di kalangan para pegawai KPK yang dites. Selain bersifat vulgar dan distortif, kandungannya pun banyak ditandai hal-hal yang irelevan, meleceh, mengada-ada dan kontra historis sekaligus.

 

Ketiga, dan terpenting, ialah bahwa TWK sesungguhnya telah menzalimi ke-75 pegawai KPK tiga kali lipat, yaitu dengan menerapkan tes yang tak memiliki keabsahan substantif, dengan melanggar prinsip kemanusiaan, dan dengan menerapkan hukuman yang sungguh amat kejam lantaran dijatuhkan di tengah-tengah cekikan pandemi Covid-19.

 

Kerapuhan logika atau penggampangan nalar pada TWK langsung tersimak pada kuesionernya. Kita tahu bahwa pada penamaan Tes Wawasan Kebangsaan yang semestinya dites adalah ada-tidaknya atau kuat lemahnya wawasan kebangsaan dari para pegawai KPK yang misi utamanya adalah untuk memberantas korupsi. Tapi tak terbetik satu pun pertanyaan perihal pengertian otoritatif tentang bangsa sebagai suatu kolektivitas politik yang egaliter-otosentris –yang setara-setumpuan. Juga perihal relasi antagonistik antara laku korupsi dan prinsip kebangsaan. Padahal kedua pertanyaan itulah yang sesungguhnya paling sentral untuk diekplorasi demi menunjukkan kualitas wawasan kebangsaan para pegawai KPK.

 

Tak terbetik eksplorasi dari pertanyaan-pertanyaan mengapa praksis korupsi laten masif terutama pada Orde Baru telah menciptakan krisis multidimensi di tengah-tengah bangsa kita yang dampaknya hingga kini pun masih terus dibiarkan menggerogoti segenap perilaku bernegara serta lembaga-lembaga kenegaraan sehingga masih terus mengancam sendi-sendi negara-bangsa kita.

 

Pertanyaan-pertanyaan tidak diarahkan pada kenyataan mengapa pada suatu negara-bangsa yang dilanda oleh pelbagai praktek korupsi laten keseluruhan kegiatan dalam bidang-bidang ekonomi, politik, kebudayaan, dan kesejahteraan rakyat kehilangan dimensi kehormatan, keindahan, dan keluhurannya. Jika prinsip kepercayaan publik dalam inter-relasi publik dicampakkan maka tercampak pulalah ideal-ideal atau patokan-patokan dari negara-bangsa kita.

 

Ketercampakan demikian bermuara langsung pada terkikisnya energi positif dan/atau kehangatan serta kegairahan dalam bernegara, berbangsa, dan berdemokrasi. Tak satu pun negara-bangsa yang bisa bertumbuh tercerahkan dan berkiprah terpuji di gelanggang dunia tanpa kehangatan dan kegairahan dalam relasi publik demikian.

 

Di sini jelaslah kaitan sentral dan hakiki antara keniscayaan pemberantasan korupsi dengan kehendak untuk bernegara-bangsa secara terhormat, indah, dan luhur; relasi organik antara penggalakan pemberantasan korupsi dengan kehendak dan kerinduan mayoritas warganegara untuk bangun setiap pagi dengan semangat jiwa terhormat, indah, dan luhur tadi dalam dada setiap anak dan warga bangsa; dan dari situ relasi suci antara pemberantasan korupsi dengan kebangkitan sepenuh-penuhnya dari gairah serta dorongan untuk berkarya, berbakti, dan berprestasi mulai dari tingkat akar rumput hingga di tingkat puncak pada seluruh bidang kehidupan nasional.

 

Singkatnya, tekad pemberantasan korupsi tak lain dari upaya penciptaan iklim kehidupan bernegara-bangsa di mana berlaku undangan dan panggilan langsung dan murni bagi kelahiran dan ketertopangan hidup serta kiprah putra-putri bangsa kita di dalam alam kemerdekaan yang sarat energi positif untuk mengangkat harkat hidup segenap bangsa kita. Sudah berpuluh tahun manusia-manusia Indonesia direnggut dan tak lagi merasakan undangan dan panggilan untuk bangun serta bernafas setiap hari dalam siklus dan iklim kehidupan suatu negara-bangsa yang terhormat, indah, dan luhur.

 

Dari sini kita bisa memperkirakan bahwa sangat mungkin ketakmampuan menyimak atau penghindaran dari esensi dan substansi wawasan kebangsaan disertai kuatnya dalih atau paranoia di permukaan untuk membuktikan adanya fanatisme keagamaan di tubuh personalia KPK itulah yang membuat para penyusun kuesioner TWK tergiring ke dalam laku vulgar, irelevan, meleceh, dan mengada-ada.

 

Simaklah rangkaian pertanyaan liar seperti “Bersedia lepas jilbab?”, “Ikut pengajian apa”, “Kamu alirannya netral atau bagaimana?”, dan pertanyaan konyol tentang “free sex”, “threesome”, dan “orgy”. Tak satu pun pertanyaan yang memunculkan kasus-kasus Setya Novanto, Akil Mochtar, Angelina Sondakh, Syamsul Mursalim, Djoko Chandra, Harun Masiku, Juliari Batubara, Jaksa Pinangki, Adelin Lis, dst.

 

Pertanyaan paling distortif dan pandir sejarah, yang justru mengancam pemahaman yang benar tentang wawasan kebangsaan itu sendiri adalah “Pilih Al Qur’an atau Pancasila?” Tak ada yang lebih konyol dari pertanyaan ini. Di sini sama sekali tak diindahkan keniscayaan distingsi antara fanatisme agama dan religiusitas positif dalam kaitannya dengan keadaban publik atau kearifan bernegara-bangsa dan berdemokrasi di dalam sejarah kemerdekaan kita.

 

Fanatisme agama bersifat sentrifugal –menggerogoti semangat kebangsaan, sedangkan religiusitas positif bersifat sentripetal –memelihara semangat kebangsaan. Dan yang paling tak diindahkan bahwa secara historis sejak kurun kebangkitan nasional telah terjalin suatu simbiosis utuh antara semangat keagamaan, khususnya Islam, dengan semangat kebangsaan. Dari situlah ungkapan “bangsa selam” di kalangan Sarekat Islam –partai terbesar dan terkuat di sepanjang sejarah politik bangsa kita.

 

Religiusitas positif itulah yang membuat kaum muslimin senantiasa merupakan reservoir utama dari konsistensi perlawanan terhadap penjajahan sejak dari kurun proto-nasion di sepanjang beratus tahun lampau hingga ke kurun pergerakan kebangsaan dan Revolusi Kemerdekaan. Per individu, ini juga tersimak, misalnya, pada intensitas keimanan Bung Hatta yang lebur utuh dengan perjuangan totalnya yang sungguh tanpa pamrih untuk membela, membangun, dan mengawal bangsa dan Republik kita praktis di sepanjang hidupnya. Sebagian besar tokoh Pergerakan Kebangsaan yang pantas disebut sebagai Pendiri Bangsa, juga dari kalangan non-muslim, termasuk dalam kategori ini.

 

Hari Pahlawan 10 November 1945 dan hari-hari di sekitarnya di mana enam ribuan syuhada gugur juga merupakan pembuktian paling tandas dari relasi utuh antara intensitas keislaman dengan kesediaan untuk memberikan pengorbanan tertinggi bagi Republik kita yang ditegakkan di atas pilar-pilar Pancasila. Kekonyolan dari pertanyaan itu langsung tersibak pada tiadanya pemahaman bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, Al Qur’an sepenuh-penuhnya tak terpisahkan bukan hanya dari substansi sila pertama Pancasila --Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan juga dari substansi keempat sila selebihnya.

 

Pemecatan langsung atas ke-51 pegawai KPK dan penggantungan nasib ke-24 selebihnya lantaran dinilai tak lulus pada TWK-KPK merupakan kezaliman tiga kali lipat. Pertama ialah bahwa mereka dizalimi sebagai manusia-manusia yang tak memiliki wawasan kebangsaan lewat TWK yang selain tak memiliki keabsahan substantif, juga tak memiliki legitimasi moral.

 

Kita tahu bahwa Ketua KPK, Firli Bahuri, motor utama dari pelaksanaan TWK-KPK itu sulit untuk disebut sebagai memiliki kredibilitas, baik dalam hal wawasan kebangsaan maupun sebagai pemberantas korupsi. (Lihat “Siasat Gelap Firli Bahuri”, Laporan Utama Tempo, 21-27 Juni 2021). Ini berarti bahwa terhadap diri ke-75 pegawai KPK itu telah dipaksakan suatu stigmatisasi buruk permanen berdasarkan TWK yang bersifat lancung dan khianat bukan hanya dalam hitungan wawasan kebangsaan, melainkan juga dalam hitungan misi pemberantasan korupsi itu sendiri.

 

Mengabsahkan hasil suatu TWK yang sebenarnya sama sekali tak memiliki keabsahan substantif maupun legitimasi moral pastilah merupakan suatu kezaliman besar. Di situ juga berlaku kepalsuan atau penipuan besar di ranah publik.

 

Kezaliman kedua terhadap ke-75 pegawai KPK terjadi lantaran TWK-KPK memisahkan sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, representasi utama dari wawasan Kebangsaan Indonesia, terutama dari sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Padahal tak satu sila pun dalam Pancasila yang boleh dilihat atau dipahami sebagai terlepas dari relasi konteks integral dan substantifnya dengan setiap sila lainnya. Pada Pancasila-lah kesetumpuan kita sebagai suatu bangsa dirumuskan.

 

Wawasan kebangsaan mustahil dipisahkan dari wawasan kemanusiaan. Takkan ada solidaritas kolektif kebangsaan tanpa penjunjungan individual kemanusiaan dari setiap warga bangsa. Sesungguhnya pada kenyataan itu pulalah terkuak gamblang kehendak dan praktik lancung dari TWK-KPK itu.

 

Dijatuhkannya palu godam hukuman TWK-KPK terhadap ke-75 pegawai KPK sebagai pecundang tes wawasan kebangsaan akan mengancam atau langsung menghancurkan bukan hanya peluang kelanjutan karir profesional mereka, sejumlah penting di antaranya telah membuktikan keteladanan bakti serta kejuangan tegar dan tulus mereka sebagai pemberantas korupsi atau tengah gigih membongkar kasus-kasus korupsi kakap terkini, melainkan juga peluang umum mereka untuk hidup secara terhormat ke depan di Tanah Air tercinta sebagai warganegara Indonesia –suatu kezaliman yang juga pasti akan menimpa segenap anggota keluarga mereka masing-masing.

 

Kezaliman ketiga ialah bahwa hukuman berat pencabutan hak-hak asasi ke-75 pegawai KPK itu dijatuhkan di tengah-tengah kecamuk maha wabah Covid-19 yang mencekik kehidupan mayoritas warga dunia, termasuk mayoritas warga Indonesia, tak sedikit di tengah-tengah kita yang sepanjang dua tahun ini sudah mengalami perihnya perjuangan melanjutkan hidup pribadi, apalagi hidup keluarga, dari hari ke hari. Di sini sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta harkat kewargaan keindonesiaan dari ke-75 pegawai KPK itu dicampakkan ke lumpur kehinaan bersama dengan harkat kemanusiaan mereka.

 

Adakah tumpukan kezaliman atas nama negara yang lebih berat daripada itu? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar