Drama
Korea dan Kecerdasan Semiotika Penonton Indonesia Prihandari Satvikadewi ; Dosen Prodi Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas 17 Agustus Surabaya |
KOMPAS, 11 Juli 2021
Dua minggu setelah wabah
Covid-19 ditetapkan sebagai bencana nasional oleh pemerintah, seorang
selebtwit (pemilik akun Twitter dengan ribuan pengikut) mencuit, ”Semua akan
nonton drakor pada waktunya”. Kalimat sependek 33
karakter yang diunggah pada akhir Maret 2020 malam tepat pukul 11.11 itu
mendapat 31.400 likes, 8.402 retweet, dan dikutip sebanyak 1.328 kali. Di
bawah cuitan tersebut masih ada lagi ratusan respons dari sesama penduduk
twitterland, ada yang setuju, ada yang menolak, ada juga yang malah
menawarkan rekomendasi drama-drama wajib tonton untuk penggemar baru serial
”Negeri Ginseng” ini. Agustus 2020, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis hasil survei di 28 kota Indonesia, yang
menyebutkan bahwa jumlah penonton drakor meningkat 87,8 persen dibanding
sebelum masa pandemi. Waktu yang dihabiskan (time spent) untuk menonton
drakor juga naik, dari 2,7 jam menjadi 4,6 jam per hari. Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) membuat populasi penonton drama Korea membesar. Itu adalah kabar
baik bagi layanan over the top (OTT) platform video streaming seperti
Netflix, Viu, Vidio, Goplay. Mereka kebanjiran pelanggan baru. Namun,
berbondong-bondongnya penonton meminati K-drama dapat dilihat juga sebagai
wujud eskapisme kolektif akibat kebosanan, perasaan tertekan masyarakat
akibat harus berada di rumah saja untuk waktu yang cukup lama dan belum jelas
kapan ujungnya. Eskapisme adalah salah
satu motif konsumen media untuk mendapatkan kenikmatan (enjoyment/pleasure)
sebagai bentuk dari efek hiburan (entertainment effect). Efek hiburan dari
”pelarian” menyaksikan drakor—baik bagi penonton lama maupun baru—adalah
diperolehnya sensasi terbebas (excitation transfer), katarsis (catharsis),
dan pembelajaran (learning). Manifestasinya beragam, dapat berupa ketenangan,
kegembiraan/tertawa, ketegangan, kesedihan/melankolia, kesembuhan, bahkan
perasaan berkuasa, pencapaian dan efikasi diri. Kecerdasan
membaca tanda Sesungguhnya menjadi
penonton drakor tidaklah semudah yang dibayangkan. Untuk bisa mengikuti jalan
cerita, seseorang harus terampil membagi perhatian antara melihat tayangan
visual, mendengarkan audio berupa percakapan dan musik yang tidak
disulihsuarakan serta sound effect yang menyertainya, sekaligus membaca teks
terjemahan dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Tidak seperti umumnya
sinetron yang jika terlewati beberapa episode penonton masih bisa
mengira-ngira alurnya, plot serial drama Korea yang tayang di slot-slot prime
time umumnya tak semudah itu ditebak, atau jika ada kemiripan selalu dapat
ditemukan unsur kebaruan yang membedakan antara satu judul dan judul lainnya. Dalam teori Media
Entertainment, Peter Vorderer mengemukakan bahwa sebelum merasakan efek
hiburan, penonton perlu melewati tahap enjoyment experience (pengalaman
kenikmatan) pada saat mengonsumsi suatu tayangan. Pengalaman kenikmatan itu
disediakan media melalui teknologi, desain, estetika, dan konten. Drama Korea
menyajikan pengalaman kenikmatan itu melalui visual aktor yang menarik,
sinematografi yang berkualitas tinggi bahkan menggunakan CGI
(Computer-Generated Imagery). Adapun peran penonton,
pertama adalah suspension (menangguhkan keyakinan awal)—untuk mendapat efek
hiburan, penonton perlu menahan diri dulu dari apa-apa yang selama ini ia
percayai, termasuk norma dan agama. Kedua, empathy, hanya
dengan berempati, penonton dapat merasakan apa yang dirasakan tokoh dalam
drakor, bahkan terkadang ikut memikirkan jalan keluar persoalan si tokoh,
ikut tertawa dan menangis saat drama ditayangkan. Ketiga, interaksi
parasosial (hubungan searah antara individu dan figur media), di mana pemirsa
seolah-olah merasa memiliki hubungan dengan figur yang ditontonnya, namun tak
berbalas. Keempat, interest
(ketertarikan), bisa bersumber tema drama yang dekat dengan keseharian,
harapan atau pengalaman yang sama dengan penonton. Apa yang dilakukan
penonton dalam mengupayakan kenikmatan adalah bagian dari kecerdasan
semiotika. Piliang dan Audifax (2019) menggagas kecerdasan semiotika sebagai
kemampuan mengenal tanda, dengan asumsi bahwa kehidupan selalu berada dalam
suatu kultur, dan tiap-tiap kultur adalah jejaring tanda. Semiotika pada dasarnya
adalah ilmu tentang tanda (sign) beserta kode-kodenya dan penggunaannya dalam
masyarakat. Tanda sebagai unsur dasar dalam semiotika adalah segala sesuatu
yang mengandung makna. Tanda memiliki dua elemen,
yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk atau
material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar, apa yang ditampilkan
atau disaksikan dan apa yang ditulis atau dibaca, sedangkan petanda adalah
gambaran mental, pikiran, atau konsep atau aspek mental dari bahasa. Dalam
sebuah episode drama Vincenzo, adegan Song Joong Ki makan permen buatan
Indonesia merek Kopiko adalah penanda. Bahwa produk Indonesia layak
dibanggakan karena muncul di drama Korea, itu adalah pemaknaan (petanda) yang
diberikan oleh penonton Indonesia. Kecerdasan semiotika
berhubungan dengan bagaimana orang mengetahui persis dengan kategori tanda
apa ia terlibat: oral, tulisan, audio, gambar, visual, bau, rasa, obyek,
alam, tubuh, gerak, spasial, emosional, libidinal, bahkan spiritual (no
sign). Spektrum kecerdasan semiotika membuka ruang seluas-luasnya bagi
individu untuk menemukan ”kemungkinan dunia baru”, yaitu tanda-tanda baru
yang disediakan oleh bahasa. Bagaimana kemudian penonton mampu
mengidentifikasi efek hiburan yang didapatnya setelah kenikmatan menonton
drakor adalah suatu bentuk kemampuan menafsir dan mengolah tanda. Seruan pemerintah untuk
stay at home, work from home, 5M, PSBB pada dasarnya adalah penanda yang
dimaknai oleh sebagian masyarakat bahwa jika mereka patuh, mereka dapat
menghindari risiko tertular dan mengurangi tingkat keparahan pandemi.
Penonton drakor ”dadakan”, yang mendapatkan kenikmatan menonton drakor akibat
keterpaksaan atau karena kesadaran, merupakan bagian paralel dari sebuah
sistem kecerdasan semiotika secara kolektif. Drakor
dan ”survival of the fittest” Drama hanyalah satu dari
sejumlah produk media dan hiburan Korea Selatan. Berkonsentrasi pada
penciptaan entertainment effect dan enjoyment experience dengan kontrol ketat
Badan Konten Kreatif Korea (KOCCA) yang terintegrasi dengan Institut
Penyiaran Korea, Badan Konten dan Budaya, didukung beragam kebijakan
pemerintah sehingga terbentuk ekosistem media dan hiburan yang sangat kuat,
adalah bentuk pembacaan tanda Korea Selatan terhadap industri media dan
hiburan negerinya. Hasilnya, tidak hanya bertahan, drakor sukses menembus
pasar internasional dan berkontribusi terhadap perekonomian nasional
sedikitnya Rp 178,3 triliun per tahun. Suka tidak suka, situasi
pandemi Covid-19 yang berkepanjangan menuntut kemampuan individu untuk
bersikap adaptif agar tetap bisa bertahan. Di tengah drama politik, korupsi,
kematian, pesimisme, perdebatan dan negativisme yang mengiringi pemberitaan
terkait wabah global ini di media dua tahun terakhir, drakor menemukan
momentumnya sebagai sebuah tanda yang menunggu dibaca dan ditafsirkan oleh
penonton di seluruh dunia termasuk Indonesia. Bukan hanya sebatas untuk
dikupas jalan ceritanya, diidolakan aktor-aktrisnya, atau dijadikan unggahan
status di medsos. Bagaimana industri hiburan Korea Selatan bisa sampai pada
tahap ”mewabah” secara global ini pun perlu dibaca seksama. Mereka yang cerdas
mengembangkan kemampuan membaca tanda dalam hidupnya adalah mereka yang mampu
menghadapi survival of the fittest. Kecerdasan semiotika penonton kita
barangkali berperan dalam membantu mereka keluar dari tekanan situasi
pandemi. Tinggal menunggu momen yang tepat untuk diintegrasikan dengan
kecerdasan semiotika berbagai pihak, termasuk pelaku industri hiburan dan
penyiaran serta kecerdasan semiotika pengelola negara, untuk secara serius
memaknai drama. Pada tahun 2022 nanti,
sistem penyiaran digital secara sempurna diterapkan, televisi akan bersaing
ketat dengan industri OTT. Akankah
industri penyiaran nasional kita bangkit dengan produksi drama televisi yang
lebih berkualitas, ataukah hanya akan pasrah membeli hak tayang drakor-drakor
demi menarik minat penonton? Akankah multiplier effect dari digitalisasi
penyiaran meningkatkan kecerdasan semiotika kita, atau sebaliknya melemahkan?
Lebih esensial lagi, apakah semua penonton drakor dengan motivasi eskapisme
sukses kembali ke realitas? Karena motivasi eskapisme yang berhasil
seharusnya menghasilkan perasaan nyaman dan relaksasi, bukan perasaan negatif
atau menyesal, bersalah, atau suatu mood yang buruk atau justru
ketergantungan (adiksi) setelah aktivitas menonton berakhir. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar