Kebutuhan
Revisi UU ITE tak Sekedar Masalah Pemidanaan Wahyudi Djafar ; Direktur Eksekutif Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Jakarta |
KOMPAS,
09 Maret
2021
Peluang merevisi kembali Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang dibuka Presiden Joko Widodo telah
mendapatkan respons beragam di masyarakat. Beberapa pihak menilai hal itu sebatas
pernyataan retorik semata, merespons besarnya tekanan terhadap adanya dugaan
kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah (legitimate expression). Sejumlah pihak yang lain menganggap
pernyataan itu sebagai ”sinyal positif” dalam upaya memperbaiki beberapa
pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sekaligus
merespons perkembangan aktual teknologi internet. Harus diakui UU ITE yang pertama kali
dilahirkan pada 2008, dan kemudian diubah secara terbatas pada 2016, sejumlah
materinya cenderung usang (obsolete) dan kurang mampu merespons berbagai
tantangan pemanfaatan teknologi internet saat ini. Apalagi dengan cakupan materi yang bersifat
”sapu jagat” (one for all), mengatur semua hal yang terkait dengan informasi
dan transaksi elektronik. Mulai dari sistem elektronik, dokumen elektronik,
tanda tangan elektronik, transaksi elektronik, perlindungan data elektronik,
intersepsi komunikasi, hingga kejahatan siber. Akibat format dan model pengaturan ini,
rumusan pengaturan yang disediakan oleh tiap pasalnya jadi kurang mendetail
dan mendalam, dan ini berdampak pada kelenturan dalam penafsiran dan
implementasinya (Djafar dan Avilla, 2014). Jika kita bandingkan dengan beberapa negara
ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina, model pengaturan sapu jagat
memang hanya ditemukan di Indonesia. Negara-negara itu lebih evolutif dalam
pengaturannya. Sejak akhir 1990-an, mereka mulai
mengeluarkan UU Kejahatan Komputer, UU Tanda Tangan Elektronik, UU
Multimedia, UU Perniagaan Elektronik, hingga terakhir UU Keamanan Siber, dan
UU Perlindungan Data Pribadi. Sementara Indonesia, meski dalam inisiatif
pemanfaatan teknologi internet lebih awal dibandingkan negara ASEAN lain,
dalam pembentukan hukum dan legislasi yang mengatur teknologi ini cenderung
terlambat (Djafar, 2013). Problem
mendasar Membaca norma dan mengobservasi
implementasi UU ITE saat ini, kita dapat mengidentifikasi sejumlah problem
mendasarnya, selain problem umum yang dijelaskan di atas. Pertama yang paling banyak mendapatkan
sorotan publik adalah terkait dengan norma-norma kejahatan siber, khususnya
Pasal 27 Ayat (3) tentang larangan fitnah dan pencemaran nama baik, dan Pasal
28 Ayat (2) tentang larangan ujaran kebencian. Kedua pasal itu, meski telah beberapa kali
diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi, dan putusannya menyatakan normanya
konstitusional, secara konsep sesungguhnya ada problem dalam rumusannya. Kedua pasal itu, dan juga ketentuan
larangan lain yang dirumuskan dalam Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE,
kualifikasinya adalah kejahatan konvensional yang ekstensifikasi menggunakan
teknologi komputer (cyber-enabled crime), atau dalam Budapest Convention on
Cyber Crime 2001 masuk kategori sebagai content-related offences. Kejahatan tersebut berbeda dengan
cyber-dependent crime, sebagai kejahatan yang muncul dan hanya mungkin
dilakukan karena adanya jaringan komputer, seperti phishing, serangan
distributed denial of service (DDOS), dafecement, illegal access (McGuire dan
Dowling, 2013). Dalam UU ITE sendiri kejahatan yang masuk kategori computer
related offences itu telah diatur dalam Pasal 30-35, dan relatif tidak ada
permasalahan dalam implementasinya. Dengan perbedaan konsep ini, mestinya dalam
perumusan normanya juga berbeda karena kejahatan yang diatur Pasal 27, 28, 29
UU ITE sesungguhnya juga telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Karena itu, untuk bisa membuktikan setiap unsurnya, baik actus reus
(perbuatan) dan mens rea (niat jahat), yang diatur dalam pasal-pasal
tersebut, sepenuhnya harus merujuk pada KUHP. Masalah mendasar berikutnya terkait
pengaturan konten internet, yang selama ini lebih menekankan pada aspek
pembatasan, sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 40 Ayat (2)b UU ITE. Ketentuan
ini memberikan wewenang bagi pemerintah untuk membatasi konten yang melanggar
peraturan perundang-undangan (illegal content). Sayangnya, dalam pengaturan itu belum
secara jelas disebutkan jenis-jenis konten yang melanggar UU. Selain itu, UU
ITE juga belum mengatur prosedur di dalam melakukan pembatasan, termasuk
peluang untuk melakukan pengujian terhadap tindakan pembatasan tersebut
(judicial oversight). Mengacu pada prinsip dan instrumen HAM,
setiap tindakan pembatasan terhadap hak, termasuk di dalamnya hak atas
informasi, setidaknya harus memenuhi tiga hal: diatur oleh hukum (prescribed
by law), untuk suatu tujuan yang sah (legitimate aim), dan betul-betul
mendesak dilakukan (necessity), selain tindakannya harus proporsional. Prinsip-prinsip pembatasan inilah yang
semestinya dirumuskan secara baik dan ketat di UU ITE, termasuk dalam
prosedur pembatasannya, guna menghindari praktik pembatasan konten (blocking
and filtering) sewenang-wenang. Pengaturan konten ini juga terkait erat
dengan respons terhadap maraknya penyebaran disinformasi di internet, yang
belum diatur secara memadai dalam hukum Indonesia. Revisi UU ITE semestinya
dapat merumuskan pengaturan mengenai larangan penyebaran konten disinformasi,
termasuk langkah administrasi dan teknologi yang dapat dilakukan untuk
mencegahnya. Pendekatan demokratis dalam penanganan
konten disinformatif, seperti diterapkan Pemerintah Jerman melalui The
Network Enforcement Act 2017, dapat jadi rujukan dalam perumusan aturan ini. Lebih jauh dari itu, UU ITE juga belum
mampu menjadi rujukan dalam pengaturan platform digital mengingat beragam
model bisnisnya, seperti aggregation platforms, social platform, dan
mobilization platforms. Situasi ini yang kerap memunculkan perdebatan
sektoralisme pengaturan, yang dapat berujung pada kerugian pengguna
(konsumen), untuk dapat menikmati secara penuh hak atas informasi. Arah
dan model pengaturan Dalam pengaturan platform digital, prinsip
netralitas jaringan (net-neutrality) harus menjadi elemen penting yang
diperhatikan. Secara sederhana, prinsip ini menekankan tentang jalan bagi
pengguna internet, dan tentang hubungan antara pemilik jalan—jaringan
(intermediaries)—dengan penggunanya. Prinsip ini dimaksudkan untuk melindungi
kebebasan berpendapat di internet, termasuk menghindari penyensoran internet
(Lessig dan McChesney, 2006). Dengan beberapa catatan ini, kebutuhan
amendemen UU ITE mestinya bisa dibuka seluas-luasnya, tak semata-mata pada
masalah pemidanaan. Namun, mengingat perkembangan saat ini, penting bagi
pemerintah dan DPR untuk terlebih dahulu merumuskan arah dan model politik
hukum pengaturan teknologi internet ke depan. Apakah tetap dengan model penyatu-atapan
melalui UU ITE, atau mengembangkan model dan pendekatan yang lain, dengan
tetap mempertimbangkan aspek konvergensi dari teknologinya? Tantangan terbesar dalam penyusunan aturan
terkait dengan pemanfaatan teknologi internet ialah selalu tertinggalnya
hukum dari inovasi teknologinya. Karena itu, internet membutuhkan pengaturan
yang supel untuk mencegah hilangnya fungsi, sekaligus menjaga efisiensi dan
interoperabilitasnya (Kulesza, 2012). Guna menjamin hal itu, harus dipastikan aturan
yang dirumuskan tidak kaku sehingga selalu mampu memberikan ruang bagi
invensi teknologi, serta dapat secara baik memfasilitasi pengembangan setiap
kreasi dan inovasi berbasis internet. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar