Rabu, 10 Maret 2021

 

Paradoks Asesmen Nasional

 Doni Koesoema A ; Pemerhati Pendidikan, Anggota BSNP Periode 2019-2023

                                                        KOMPAS, 09 Maret 2021

 

 

                                                           

Ketidakadilan, standardisasi manusia, reduksi proses pendidikan. Inilah tiga residu yang masih tersisa akibat kebijakan ujian nasional. Apakah asesmen nasional mampu menjawab tiga persoalan ini?

 

Ujian nasional (UN) tidak adil karena disparitas kualitas guru dan sarana prasarana antardaerah dan sekolah yang belum merata. Ketimpangan kualitas guru dan sarana belajar membedakan pengalaman belajar tiap siswa dalam mempelajari kurikulum nasional.

 

Dalam kondisi seperti ini, melaksanakan ujian standar yang bersifat nasional melahirkan ketidakadilan. UN yang berpretensi menstandarkan individu melalui pengetahuan pada mata pelajaran tertentu mengabaikan dimensi inteligensi ganda (multiple intelligences) yang ada dalam diri manusia (Gardner, 1983).

 

Padahal, inteligensi ganda adalah sebuah fakta.

 

Paradigma standardisasi juga melecehkan harkat dan martabat manusia. Padahal, bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah salah satu cara untuk memberikan nilai-nilai kebatinan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan (KHD, 2011, 344). Pemberian nilai-nilai kebatinan ini tidak terjadi melalui mekanisme UN.

 

Reduksi atas proses pendidikan menjadi persoalan utama dalam kebijakan UN. Guru dan siswa cenderung belajar untuk ujian. Hasil UN yang secara implisit memeringkat sekolah dan keberhasilan pendidikan daerah menjadi sumber manipulasi dan kecurangan.

 

Kebijakan UN harus dihapus karena mendistorsi konsep manusia sebagai pembelajar unik. UN menolak keunikan individu dan fakta kecerdasan ganda yang jadi kodrat bagi berkembangnya harkat dan martabat individu melalui pendidikan. Reduksi atas proses pendidikan mempermiskin gairah belajar dan menjadikan anak instrumen keberhasilan pihak lain.

 

Nadiem Makarim juga tergagap-gagap saat hendak memperbaiki kebijakan UN. Ini terlihat dari inkonsistensi dalam berbagai penjelasannya. Awalnya, ia memperkenalkan istilah asesmen kompetensi minimum (AKM) sebagai pengganti UN. Namun, setelah itu direvisi, AKM bukan untuk menggantikan UN.

 

Lalu muncul istilah baru asesmen nasional (AN), yang di dalamnya terdapat AKM, survei karakter, dan survei lingkungan belajar. AN inilah yang nanti akan menggantikan kebijakan UN. Bagi saya, tidak pentinglah apa nama kebijakannya. Yang penting adalah apakah esensi kebijakan baru ini dapat menjawab tiga residu kebijakan UN yang telah merusak pendidikan kita selama dua dekade ini?

 

Otonomi guru

 

Kebijakan Merdeka Belajar ala Nadiem memperkuat kembali otonomi guru dan sekolah dalam menilai hasil belajar, menentukan kenaikan, dan kelulusan peserta didik. Amanat ini sangat jelas dalam UU Sisdiknas Pasal 58 Ayat 1 yang menyatakan bahwa ”evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”.

 

Dalam konsep sistem evaluasi pendidikan di Indonesia, satu-satunya pelaku dalam ekosistem pendidikan yang memiliki hak untuk menilai hasil belajar peserta didik adalah guru (pendidik) dan sekolah. Alasannya jelas. Guru dan sekolahlah yang paling memahami dinamika dan proses belajar peserta didik.

 

Guru dan sekolahlah yang paling mengerti siapa peserta didik yang sedang didampingi dalam proses belajar. Maka, mengembalikan kepercayaan dan mandat secara total kepada para guru dan sekolah merupakan kebijakan tepat.

 

Berpihak kepada anak

 

Kelebihan AN dibandingkan UN adalah kebijakan ini lebih berpihak kepada anak. AN tidak membuat anak tertekan karena yang dievaluasi adalah sistem pendidikan dan iklim yang melingkupi kegiatan belajar. Bahkan, AN tidak dilakukan pada akhir tahun pelajaran.

Hasil AN akan menjadi rapor sekolah atau profil sekolah. Kumpulan profil sekolah ini akan jadi gambaran profil pendidikan daerah. Profil pendidikan daerah menjadi dasar bagi pemda mengevaluasi kebijakan pendidikan demi perbaikan.

 

Melalui kebijakan berbasis fakta dan data ini, diharapkan ke depan terjadi transformasi pendidikan yang sinergis antara pemerintah pusat, pemda, satuan pendidikan, masyarakat.

 

Beginilah kira-kira logika transformasi pendidikan melalui kebijakan AN. Bahwa AN tidak menilai hasil belajar peserta didik tidak berarti otomatis AN berpihak kepada anak. AN hanya sekadar tidak membebani siswa saja, tetapi belum secara eksplisit berpihak kepada anak karena AN merupakan sebuah asesmen untuk menilai kualitas sistem pendidikan.

 

Sebagai alat evaluasi sistem, dampak final pada peserta didik terjadi ketika ada intervensi lanjutan terhadap para guru yang mengajar dan perbaikan lingkungan sekolah berdasarkan hasil asesmen. Siswa sebenarnya tidak secara langsung memperoleh manfaat dari AN.

 

Lebih dari itu, hasil AN tidak mencerminkan apa yang dibutuhkan individu per individu siswa sehingga tidak dapat menunjukkan intervensi khas apa yang dibutuhkan peserta didik dalam mengembangkan kompetensinya.

 

Hasil AN memberi informasi tentang kualitas guru dan iklim sekolah, tetapi tidak memberikan informasi bagaimana membantu individu per individu siswa dalam mengembangkan literasi dan numerasi. Padahal, persoalan setiap anak berbeda. Hasil AN tidak membantu pengembangan siswa secara langsung.

 

Paradoks asesmen

 

Sebuah asesmen dikatakan berpihak kepada anak apabila asesmen tak dikaitkan dengan kepentingan dan tujuan lain, selain demi pertumbuhan dan perkembangan anak itu sendiri. Di sinilah kebijakan AN mengalami paradoks.

 

Di satu sisi, ia tak membebani anak karena tak menilai hasil belajar individu per individu. Namun, di lain sisi, hasil AN akan menjadi rapor sekolah dan rapor pendidikan daerah.

 

Kebijakan AN akan berdampak tinggi pada persepsi masyarakat terhadap kualitas sekolah dan pandangan publik terhadap keberhasilan kebijakan pendidikan kepala daerah. Padahal, pertaruhan seperti inilah yang selama ini terjadi melalui kebijakan UN sehingga melahirkan banyak kecurangan, manipulasi, distorsi, dan reduksi proses pendidikan.

 

Jika kebijakan AN memiliki dampak tinggi pada kualitas sekolah, apalagi jika hal ini juga nanti akan dikaitkan dengan akreditasi sekolah, dan kebijakan pendidikan di daerah, potensi manipulasi akan terjadi.

 

Pertaruhan AN adalah guru, kepala sekolah, pengawas, dan pemerintah daerah. Bagi sekolah swasta, hasil AN memengaruhi persepsi masyarakat yang berdampak pada penerimaan siswa baru. Ini berarti pertaruhan keberlangsungan sekolah di masa depan.

 

Distorsi tujuan AN sangat potensial. Sekolah akan berlatih mempersiapkan soal-soal AKM. Kepala sekolah, guru, dan pengawas akan bersinergi agar hasil AN menjadi baik apa pun caranya. Survei karakter pun juga berpotensi dimanipulasi. Siswa akan dilatih menjawab yang baik sehingga pertanyaan terkait lingkungan belajar akan dibuat sedemikian rupa sehingga hasilnya baik.

 

Fenomena ini yang saat ini terjadi. Saat kebijakan AN belum dimulai pun sudah muncul berbagai macam buku kiat-kiat sukses mengerjakan AKM. Bahkan ada sekolah yang sudah merencanakan mempelajari dan mempersiapkan siswa terkait soal-soal survei karakter. Akhirnya, pendidikan kita akan kembali lagi ke titik nol!

 

Belajar bermakna

 

Kualitas pendidikan nasional sangat tergantung dari kualitas pembelajaran. Kualitas belajar sangat tergantung dari bagaimana guru memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik. Di sini, pembelajaran kontekstual berbasis pemecahan masalah melalui umpan balik langsung dari guru terhadap hasil belajar dapat mendorong kemajuan belajar (Hattie, 2009).

 

Pengalaman belajar bermakna akan tergantung dari sejauh mana proses belajar yang difasilitasi guru menghargai keunikan individu dan memberi ruang bagi berkembangnya berbagai macam kecerdasan dalam diri peserta didik.

 

UN dan rancangan AN sama-sama tak memiliki kaitan langsung dengan prinsip kemajuan belajar ini. Padahal, prinsip pembelajaran kontekstual terindividualisasi inilah yang melahirkan pengalaman belajar otentik yang mendorong kemajuan belajar.

 

Ketidakadilan mungkin bisa diselesaikan melalui AN ketika hasil AN menjadi rujukan wajib pemda untuk membenahi kualitas guru dan sarana prasarana pendidikan. Gelojoh standardisasi yang meredusir siswa sebagai barang mungkin bisa dihilangkan melalui kebijakan AN yang tidak menghakimi hasil belajar peserta didik.

 

Namun, reduksi atas proses pendidikan akan tetap terjadi ketika AN dimanfaatkan untuk menilai kualitas guru, sekolah, dan kebijakan pendidikan kepala daerah. Reduksi atas proses pendidikan inilah yang dikritik atas kebijakan UN. Kebijakan penggantinya ternyata kembali terjerumus pada kubang persoalan yang sama.

 

Asesmen akan semakin mengerdilkan makna belajar, gagal mengembangkan keunikan dan kecerdasan individu, bahkan menjadikan individu sebagai instrumen keberhasilan guru, sekolah, kepala daerah.

 

Kondisi ini justru bertentangan dengan usaha pengembangan iklim pendidikan yang ramah secara moral, di mana individu dihargai harkat dan martabatnya, keunikannya diakui, potensinya dikembangkan, dan kehadirannya diterima apa adanya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar