Strategi
Optimasi Perikanan Tangkap Hendra Sugandhi ; Praktisi Perikanan Sejak 1991, Wakil Ketua Komite Bidang
Perikanan APINDO |
KOMPAS,
24 Maret
2021
Menutup akhir tahun 2020 Presiden Jokowi
mengangkat Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan,
nakhoda baru yang akan menentukan arah kebijakan sektor perikanan nasional 4
tahun ke depan. Tugas berat menanti, terutama bagaimana merumuskan tata
kelola sektor perikanan agar dapat menunjang perekonomian nasional di tengah
dampak negatif wabah pandemi Covid-19. Sektor budidaya yang telah ditetapkan
menjadi prioritas sektor perikanan harus didukung penuh, namun jangan sampai
melupakan amanat UU Perikanan No 31/2004 jo. UU 45/2009 yang memberikan
mandat dan wewenang kepada KKP untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya
perikanan tangkap. Ada empat elemen utama strategis yang harus
diperhatikan dalam strategi optimasi perikanan tangkap yaitu estimasi potensi
sumber daya ikan, fishing capacity, volume hasil tangkapan, dan volume
ekspor. Kelestarian stok ikan nasional tentunya menjadi salah satu acuan
utama pedoman arah kebijakan pengelolaan perikanan tangkap nasional. Oleh karena itu, data estimasi potensi dan
tren kenaikan atau penurunan hasil tangkapan yang sahih sangat penting dalam
menentukan berapa besar kapasitas penangkapan ikan berikut jenis alat
tangkapnya di masing-masing Wilayah Pengelolaan Perikanan-Negara Republik
Indonesia (WPP-NRI). Strategi optimasi peningkatan ekspor
perikanan tangkap harus dirumuskan secara kuantitatif melalui optimasi
fishing capacity, terutama di wilayah ZEEI dan Laut Lepas dengan tetap
menjaga kelestarian sumber daya yang selaras dengan peraturan Regional
Fishery Management Organization (RFMO). Bagi negara yang sumber daya ikannya
terbatas, maka strategi untuk meningkatkan ekspor hasil perikanan dapat
dilakukan dengan cara mengimpor bahan baku untuk di re-proses agar memperoleh
nilai tambah, maka kita tidak perlu alergi melarang impor bahan baku ikan
jika tujuannya untuk meningkatkan ekspor. Bagi Indonesia tentu saja alternatif impor
ikan menjadi pilihan kedua karena prioritas pertama adalah memanfaatkan
sumber daya ikan secara optimal dan lestari. Faktor lain yang tidak kalah
penting dalam upaya optimasi perikanan tangkap adalah menjaga kualitas ikan
sejak ikan ditangkap yang harus ditangani dengan baik agar memenuhi
persyaratan pasar internasional sesuai dengan standar keamanan pangan dan
dapat ditelusuri. Ironisnya, jumlah kapal penangkap ikan yang
tersertifikasi CPIB (Cara Penangkapan Ikan yang Baik) masih minim sehingga
dipermasalahkan dalam laporan audit DG Sante Uni Eropa yang memutuskan untuk
membekukan kewenangan otoritas kompeten Indonesia untuk mengajukan nomor
approval baru. Dampaknya unit pengolahan ikan baru terhambat tidak dapat
mengekspor ikannya ke Uni Eropa sejak 2017. Oleh karena itu sertifikasi kapal
penangkap ikan harus menjadi salah satu program prioritas perbaikan sektor
perikanan tangkap yang harus segera dituntaskan. Tugas pertama KKP dalam Inpres No. 7 tahun
2016 adalah mengevaluasi dan menghapus peraturan-peraturan yang menghambat
percepatan industri perikanan nasional. Beberapa aturan telah dicabut tahun
lalu, salah satunya aturan pembatasan ukuran kapal penangkap ikan maksimum
150 GT yang belum lama ini telah dicabut. Aturan ini jelas kontra produktif dan
menyebabkan kekosongan ZEEI serta minimnya pemanfaatan laut lepas. Namun
pencabutan aturan pembatasan ukuran kapal ini tidak akan bermanfaat selama tarif
Pungutan Hasil Perikanan (PHP) masih diberlakukan berdasarkan pada Peraturan
Pemerintah Nomor 75 tahun 2015. Pelaku usaha dipastikan enggan berinvestasi
jika harus membayar di muka miliaran rupiah untuk memperoleh Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI) yang hanya berlaku 1 tahun. Sering kali kita membaca berita yang
mengklaim Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan era Susi Pujiastuti
tertinggi sejak KKP didirikan. Namun jika kita analisis lebih jauh, maka
sesungguhnya PNBP perikanan aktual justru anjlok drastis karena tarif
Pungutan Hasil Perikanan untuk skala besar berdasarkan PP No. 75 tahun 2015
naik 10x lipat (1000%) dibanding tarif lama PP No. 19 tahun 2009. Sebagai contoh, kenaikan PNBP tahun 2019
menjadi 521 miliar merupakan kenaikan semu hanya akibat kenaikan tarif 1000%
bukan berasal dari kenaikan produksi. Jika mengacu pada tarif lama maka
sesungguhnya PNBP yang diperoleh secara riil justru merosot drastis hanya
52,1 miliar. Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR, MKP Sakti Wahyu
Trenggono menyatakan PNBP Perikanan tangkap akan meningkat dari Rp 595 miliar
menjadi Rp 12 Triliun. Target ambisius ini tentu mengagetkan tapi
sekaligus mencerminkan harapan MKP yang sangat optimistis. Masalahnya apakah
target ini realistis? Bagaimana cara untuk mencapai target tersebut? Jangan
sampai mengulang kesalahan meniru cara sebelumnya yang menaikkan tarif PNBP
1000% untuk skala besar tanpa disertai kajian akademik dan konsultasi publik.
Selain tidak kreatif, dengan melambungkan tarif PHP juga terbukti tidak
efektif dalam meningkatkan PNBP riil bahkan sangat kontra produktif karena
telah menghambat investasi di sektor perikanan tangkap. MKP dalam tulisan pribadinya di salah satu
media online 14 Februari 2021 menyatakan bahwa nilai ekonomi yang dihasilkan
per tahun dari pemanfaatan sumber daya alam perikanan oleh kapal-kapal
penangkap ikan di atas 30 GT mencapai ratusan triliun namun yang masuk
menjadi pendapatan negara tidak sampai satu persen. Pernyataan ini harus diluruskan, karena
jumlah kapal perikanan tangkap di atas 30 GT hanya sekitar 5000 unit dengan
ukuran rata-rata di bawah 100 GT, maka jika kita hitung jumlah kapasitas
penangkapannya hanya 500.000 ton. Dengan asumsi optimistis tingkat
produktivitas kapal 100% dan harga ikan rata-rata $2 per kg, maka nilai
ekonomi yang dihasilkan hanya USD 1 miliar atau setara 14 triliun rupiah,
jadi bukan ratusan triliun, begitu pula PNBP yang masuk ke kas negara
mencapai 4% bukan 1%. Namun kita harus mengapresiasi MKP yang
sedang mengkaji beberapa alternatif dengan skema berdasarkan produksi hasil
tangkapan nelayan dan berdasarkan konsesi zonasi penangkapan. Perencanaan
yang baik ke depannya sebaiknya berdasarkan kondisi existing saat ini
khususnya dalam menetapkan target yang akan dicapai agar lebih realistis. PHP
dipungut di muka hanya berdasarkan asumsi semata, seharusnya akan lebih adil
jika dipungut berdasarkan hasil tangkapan riil. Jika kita merujuk data hasil tangkapan ikan
nasional tahun 2020 di atas 7 juta ton, dan dipungut PNBP per kg rata-rata
hasil tangkapan Rp 1.000,- seharusnya perolehan PNBP sektor perikanan tangkap
dapat mencapai lebih dari Rp 7 triliun, nilainya 11 kali lipat lebih tinggi
dibanding perolehan PNBP tahun 2020. Agar kebijakan PHP ini lebih adil dan lebih
afirmatif kepada nelayan kecil, maka sebaiknya diterapkan secara proporsional
bergantung tinggi rendahnya jumlah dan nilai hasil tangkapan. Jangan sampai
nelayan kecil terbebani pungutan yang terlalu tinggi. Semakin tinggi nilai
hasil tangkapan, maka akan semakin besar PHP yang harus dibayarkan kepada
negara. Hal ini juga akan berdampak positif untuk
meningkatkan produksi perikanan tangkap khususnya di wilayah ZEEI dan laut
lepas, sehingga pelaku usaha akan lebih berani berinvestasi karena tidak lagi
terbebani pembayaran di muka dengan tarif PHP yang tinggi. Untuk mencegah penyimpangan data hasil
tangkapan maka pengawasan pendaratan ikan harus diperketat dan harus ada
perbaikan data hasil pendaratan ikan di seluruh Indonesia dengan cara
mewajibkan semua Otoritas Kompeten Lokal (OKL) menerbitkan lembar awal
sertifikat hasil tangkapan ikan (SHTI) untuk setiap hasil tangkapan yang
didaratkan. Kewajiban OKL untuk menerbitkan SHTI akan
berdampak positif dalam memperbaiki record keeping data perikanan nasional
sekaligus membantu Unit Pengolahan Ikan (UPI) mengatasi permasalahan dokumen
ekspor catch certificate yang menjadi salah satu persyaratan ekspor ke
negara-negara tujuan utama termasuk Uni Eropa. Semoga MKP tidak kehilangan momentum untuk
rebound dalam memperbaiki tata kelola perikanan tangkap, dengan prioritas
sinkronisasi estimasi angka potensi sumber daya ikan, mengoptimalkan fishing
capacity, memperbaiki data produksi, meningkatkan ekspor serta meningkatkan
PNBP riil dengan cara yang tepat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar