Kebijakan
Makroprudensial dan Pemulihan Ekonomi Kristianus Pramudito Isyunanda
; Penjabat Penasihat Hukum di Departemen Hukum Bank Indonesia |
KOMPAS,
23 Maret
2021
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia bulan
Maret 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day reverse repo rate
(BI-7DRR) pada angka 3,5 persen setelah menurunkannya bulan lalu 25 basis
poin. Pergeseran suku bunga acuan ke titik yang
semakin rendah memang dapat mempersempit ruang penurunan lebih lanjut.
Penentuan suku bunga acuan yang terlalu rendah akan memengaruhi efektivitas
dampaknya (effective lower bound). Jika dicermati lebih mendalam, BI telah
melengkapi BI-7DRR dengan kebijakan terpadu guna memperkuat pemulihan ekonomi
dari dampak pandemi, salah satunya melalui penyesuaian kebijakan
makroprudensial. BI melonggarkan ketentuan uang muka kredit atau pembiayaan
kendaraan bermotor (KKB) dan rasio nilai pinjaman atau pembiayaan terhadap
nilai agunan berupa properti (loan-to-value/LTV dan financing-to-value/FTV). Uang muka KKB ditentukan paling sedikit
sebesar nol persen, sedangkan rasio LTV dan FTV paling tinggi sebesar 100
persen bagi bank yang memenuhi kriteria tertentu atas performa aset kredit,
efektif per 1 Maret 2021 sampai dengan 31 Desember 2021. Kebijakan makroprudensial yang akomodatif
diperlukan bagi pemulihan ekonomi yang masih menghadapi risiko penyebaran
Covid-19. Relaksasi ketentuan makroprudensial yang diambil BI juga sejalan
dengan stimulus fiskal pemerintah berupa insentif perpajakan. Kebijakan BI
dan pemerintah yang semakin terpadu ini diyakini bisa menambah daya ungkit
laju perekonomian. Kebijakan
kontra-siklikal Konsep makroprudensial lahir sejak tahun
1970-an, tetapi baru mencuat menjadi komponen kebijakan yang penting setelah
krisis finansial global tahun 2008. Pengaturan makroprudensial mulai banyak
digunakan oleh otoritas bank sentral guna merestrukturisasi dampak krisis
2008, serta untuk memitigasi risiko sistemik dalam sistem keuangan. Pendekatan makroprudensial hadir melengkapi
pengaturan mikroprudensial terhadap setiap lembaga keuangan. Misi utama
kebijakan makroprudensial tidak berbeda dari kebijakan moneter, yaitu untuk
mengendalikan dinamika dalam siklus perekonomian. Kerangka kebijakan
makroprudensial bersifat kontra-siklikal. Dalam kondisi pertumbuhan ekonomi tinggi,
kebijakan makroprudensial berfungsi mengendalikan sistem keuangan agar tak
terlampau agresif dan pada akhirnya dapat memicu krisis. Sebaliknya,
kebijakan makroprudensial dapat mendukung pemulihan dari pelemahan ekonomi
dengan mendorong intermediasi keuangan yang seimbang dan berkualitas. Keseimbangan Kredit perbankan perlu tumbuh secara
memadai guna mendukung perputaran roda perekonomian dan menjaga keseimbangan
dalam sistem keuangan. BI-7DRR telah dipasang rendah dan berbagai upaya
pelonggaran likuiditas pun telah ditempuh demi mengatasi dampak pandemi
terhadap kredit dan pembiayaan. Namun, respons suku bunga kredit perbankan
masih terbatas dan ruang peningkatan kredit masih diperlukan demi menjaga
momentum pemulihan. Kondisi ini perlu disikapi dengan kebijakan dari aspek
lain. Pelonggaran pada aspek makroprudensial dapat memberikan dorongan bagi
pertumbuhan permintaan kredit karena memudahkan debitor mengakses pembiayaan
dalam sistem keuangan. Berkaca dari hasil survei permintaan dan
penawaran pembiayaan perbankan oleh BI, saldo bersih tertimbang penyaluran
kredit baru diprakirakan sebesar 67,4 persen di triwulan I-2021. Angka
tersebut memberikan optimisme bahwa upaya BI untuk meningkatkan permintaan
kredit akan disambut dengan penawaran kredit secara berimbang. Pertumbuhan permintaan kredit sebagai
sasaran kebijakan juga berpotensi memberikan efek pengganda berupa
pertumbuhan bisnis di sektor riil. Tersedianya pendanaan bagi debitor akan
merangsang kegiatan ekonomi. Di sisi lain, ketahanan sektor keuangan harus
tetap dipelihara. Implementasi kebijakan akomodatif ini wajib memperhatikan
prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. Kebijakan
terpadu Instrumen makroprudensial telah digunakan
BI dalam mengatasi dampak pandemi terhadap perekonomian sedari awal. Tahun
lalu, penurunan giro wajib minimum (GWM) di aspek moneter yang dikombinasikan
dengan modulasi tingkat penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) terbukti menguatkan
struktur likuiditas perbankan. Pada saat yang sama, bauran kebijakan
moneter-makroprudensial itu turut mendukung kesinambungan fiskal melalui
program pembelian surat berharga negara oleh perbankan dalam rangka pemenuhan
kenaikan rasio PLM yang dananya berasal dari penurunan GWM. Bulan ini, BI bahkan memperkuat rasio
intermediasi makroprudensial (RIM) dan RIM syariah dengan menambahkan
komponen wesel ekspor dalam penghitungannya untuk kian mendorong penyaluran
kredit dan pembiayaan. Pandemi Covid-19 telah mendorong kerangka
kebijakan makroprudensial BI menjadi semakin matang dalam merespons gejolak
perekonomian. Tiba gilirannya instrumen makroprudensial menjadi bagian
penting dari kebijakan terpadu demi pemulihan ekonomi dan penguatan sektor
keuangan. Dukungan berbagai pihak, termasuk dari
industri perbankan, sangat diperlukan agar kebijakan BI mampu memberikan efek
nyata bagi percepatan pemulihan ekonomi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar