UU
Proteksi Media, Babak Baru di Panggung Digital Jusman Dalle ; Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi
Digital |
KOMPAS,
24 Maret
2021
Keputusan Facebook menandatangani
perjanjian membayar royalti berita untuk News Corp di Australia menandai
babak baru relasi media dengan platform digital. Sebelumnya, raksasa mesin
pencari Google juga telah meluncurkan program inisiatif untuk mendukung
lisensi media. Hubungan industri media dengan dua titan digital ini memang
sempat mengalami ketegangan. Penayangan konten berita dari media massa di
platform milik Facebook dan Google dinilai merugikan industri media. Pemerintah Australia lantas memprakarsai
News Media Bargaining Code, sebuah undang-undang yang memaksa platform
digital membayar royalti kepada media karena menampilkan dan menautkan berita
ke etalase mesin pencari dan aplikasi media sosial. Undang-undang proteksi
media ini merupakan yang pertama di dunia. Tidak cuma menguntungkan media secara
finansial berdasarkan royalti yang diterima, UU itu juga menguntungkan
ekosistem digital secara keseluruhan. Termasuk platform medsos dan mesin
pencari. Lantaran aturan tersebut, kualitas konten di platform-platform digital
menjadi lebih tersaring. Kesepakatan ini menjadi momentum awal yang amat
penting bagi upaya pemulihan ekosistem digital secara keseluruhan. Lalu lintas informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan, diharapkan mengurangi peredaran informasi liar di
media sosial yang selama ini identik dengan medium penyebaran berita palsu
hingga ujaran kebencian. Temuan Reuters Institute dan Universitas Oxford
bertajuk Digital News Report 2020 mencatat, 29 persen misinformasi beredar di
Facebook. Diikuti Whatsapp dan Facebook Messenger (14 persen), Google (10
persen), serta Youtube (6 persen) dan Twitter (6 persen). Dari perspektif perlindungan eksistensi
media, UU itu memberi angin segar di tengah tekanan disrupsi teknologi
informasi. Kebijakan perlindungan terhadap industri media diharapkan diadopsi
oleh negara-negara lain, termasuk Indonesia. Fenomena bisnis media yang runtuh cukup
mengkhawatirkan. Bisnis media berjatuhan. Gulung tikar seiring ledakan
platform digital yang kemudian menjelma menjadi arena penyebaran informasi. Laporan lembaga riset PwC bertajuk
Perspective From The Global Entertainment and Media Outlook 2017, menyinyalir
8,3 persen media cetak koran tutup setiap tahun hingga 2022. Di Indonesia,
dalam rentang 2013 sampai 2017, rata-rata 80 media cetak tutup. Semakin
tersisihnya media berimplikasi pada distribusi kabar liar di kanal-kanal
digital. Warga net leluasa membagikan informasi. Meski tak terverifikasi. Sialnya, peran platform digital seperti
medsos dan layanan berbagi foto dan berbagi video sebagai etalase informasi
semakin dominan. Menggeser positioning media massa. Medsos menjelma bak
sumber berita. Dirujuk laiknya media massa. Pergeseran fungsi medsos menjadi sumber
berita bukan pepesan kosong. Dilansir oleh Statista, 48 persen pengguna
memanfaatkan medsos di AS sebagai sumber berita. Senada, di Turki, 58 persen
pengguna menjadikan medsos sebagai referensi informasi. Bahkan di Yunani, 71
persen pengguna merujuk informasi dari medsos. Kecenderungan memanfaatkan medsos sebagai
sumber informasi, diametral dengan menguatnya distrust terhadap media massa.
Di Turki, hanya 55 persen responden yang menyatakan percaya media massa. Di
AS, tingkat kepercayaan kepada media massa cuma 29 persen. Bahkan di Yunani,
hanya 27 persen responden yang menyatakan percaya kepada media massa. Fakta-fakta di atas menjadi masalah yang
mencemaskan. Tsunami informasi. Informasi datang dari berbagai arah, tapi
kualitasnya jauh di bawah standar berita. Eksodus warga net mencari berita di medsos
tak diiringi inovasi oleh platform untuk memperkuat konten. Eksistensi, dominasi, dan hegemoni medsos
sebagai corong dan etalase informasi kadung di luar kendali. Informasi
serampangan berkelindan. Tanpa proses verifikasi. Juga tak digaransi akurasi,
kesahihan, dan faktualitasnya. Nilai dari sebuah berita tereduksi akibat
paparan informasi receh. Celakanya, hal itu tidak diimbangi tingkat literasi
memadai. Konten berita milik media massa diandalkan
untuk mewarnai peredaran informasi di kanal-kanal digital. Namun, tanpa
komitmen royalti, hal itu merugikan industri media. Di kancah bisnis,
kompetisi dengan berbagai platform informasi digital sudah sangat melelahkan. Platform digital unggul dalam memperebutkan
kue iklan. Implikasinya, industri media kian tersisih. Terutama yang mengandalkan
model bisnis revenue stream dari oplah dan iklan. Eksistensi medsos tentu tidak sepenuhnya
jadi penyebab industri media ambruk. Sebab, di level pasar, terjadi
kecenderungan pergeseran kebiasaan mengakses informasi. Hijrah dari media
konvensional ke media berbasis digital. Namun, harus pula diakui, jika
hegemoni platform informasi digital yang tak terkontrol berdampak langsung
pada industri media. Bagai buah simalakama. Perusahaan media
kadung terpukul. Bangkrut. Yang survive berjalan tertatih. Mencoba bertahan
dengan eksaminasi model bisnis baru. Seperti inovasi berlangganan
(subscription). Menawarkan konten eksklusif sebagai keunggulan komparatif. Di saat bersamaan, informasi alternatif
yang ditagih dari platform digital, jauh panggang dari api. Kini, platform
digital diadang oleh tuntutan supremasi konten. Semakin menguat dengan
regulasi anyar yang dirilis Pemerintah Australia, dan bisa jadi mengilhami
pemerintah di banyak negara. Khitah
platform digital Platform informasi digital adalah medium komunikasi
untuk saling terhubung dan berbagi informasi. Platform digital lantas
bertransformasi memainkan peran signifikan memacu tumbuhnya aneka potensi
ekonomi digital. Memperkaya lanskap ecommerce. Menjelma jadi pasar yang
menawarkan aneka peluang bisnis menggiurkan. Bertumpu pada basis komunitas
berjumlah miliaran. Fungsi platform digital sebagai lokomotif
ekonomi menuai atensi. Pelaku UMKM antusias bergabung menggelar bisnis. Bagi
UMKM, platform digital mangkus dan sangkil menopang promosi. Target pasar
dapat dijangkau dengan anggaran iklan yang murah meriah. Di tengah berbagai pesonanya, platform
digital yang memang jadi panggung bebas harus menghadapi risiko. Miliaran
pengguna dengan intensi beragam, menjadi kekuatan sekaligus kelemahan.
Terutama dalam persoalan filter informasi yang beredar bebas nyaris tak
terbendung. Problem pelik itu juga terjadi di jagat
digital Indonesia. Pengguna jumbo media sosial tidak diikuti literasi
memadai. Sehingga menjadi sasaran empuk para petualang politik dalam menggalang
dukungan. Termasuk bekerja sama dengan firma-firma komunikasi (digital
agency) yang mengoordinir aktivitas pendengung (buzzer) politik. Tujuannya
menggiring dan membentuk opini publik. Penggunaan jasa buzzer di kancah digital
tentu saja bukan sesuatu yang haram. Lumrah dalam strategi komunikasi. Juga
legal sebagai kegiatan bisnis. Buzz marketing merupakan strategi yang lahir
dan diadopsi sebagai satu siasat bisnis. Persoalannya, keberadaan buzzer kerap
menimbulkan keresahan. Bahkan memicu kegaduhan. Pendekatan komunikasi yang
dilakukan adalah strategi perang yang sarat propaganda. Bertabur agitasi. Tak
jarang dipoles dengan praktik manipulasi informasi. Menjejali medsos dengan
hoaks dan misinformasi. Buzzer semestinya menerapkan pendekatan
”jualan” agar mendapat sambutan. Mengedepankan muatan-muatan positif,
edukatif, dan inspiratif. Taktik komunikasi untuk menarik audiens secara
afirmatif. Sayangnya, strategi ala seteru justru
mendominasi. Sehingga bukannya menuai atensi, malah disahuti caci maki.
Membentuk kebatinan media sosial dan platform digital yang tadinya kita
harapkan menjadi alternatif menyuguhkan informasi yang jernih, malah berubah
keruh. Platform digital menjadi ruang virtual yang
semakin tidak nyaman. Pamornya sebagai penggerak ekonomi digital dengan
segala kontribusi yang telah disemai, ikut dipertaruhkan. Mahkota platform
digital pudar. Terutama platform yang dinilai tidak punya komitmen kuat
terhadap pemberantasan hoaks, ujaran kebencian, hingga pencurian data
pribadi. Beberapa platform digital akhirnya
menghadapi mimpi buruk akibat peredaran konten-konten yang tak bisa
dipertanggungjawabkan. Sepanjang Juli tahun 2020 misalnya, lebih dari 1.000
pengiklan bergabung dalam gerakan boikot Facebook. Tahun 2017, bencana serupa
mendera Google akibat penayangan iklan kebencian di Youtube. Akhirnya, kesepakatan tentang royalti jadi
angin segar bagi kedua belah pihak. Industri media punya ruang gerak yang
lebih lega secara finansial. Pada saat yang sama, primadona platform
informasi digital bisa diselamatkan dengan suplai konten dari media massa.
Kesepakatan ini menjadi momentum awal yang amat penting bagi upaya pemulihan
ekosistem digital secara keseluruhan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar