Rabu, 10 Maret 2021

 

Kebutuhan Revisi UU ITE tak Sekedar Masalah Pemidanaan

 Wahyudi Djafar ; Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Jakarta

                                                        KOMPAS, 09 Maret 2021

 

 

                                                           

Peluang merevisi kembali Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dibuka Presiden Joko Widodo telah mendapatkan respons beragam di masyarakat.

 

Beberapa pihak menilai hal itu sebatas pernyataan retorik semata, merespons besarnya tekanan terhadap adanya dugaan kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah (legitimate expression).

 

Sejumlah pihak yang lain menganggap pernyataan itu sebagai ”sinyal positif” dalam upaya memperbaiki beberapa pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sekaligus merespons perkembangan aktual teknologi internet.

 

Harus diakui UU ITE yang pertama kali dilahirkan pada 2008, dan kemudian diubah secara terbatas pada 2016, sejumlah materinya cenderung usang (obsolete) dan kurang mampu merespons berbagai tantangan pemanfaatan teknologi internet saat ini.

 

Apalagi dengan cakupan materi yang bersifat ”sapu jagat” (one for all), mengatur semua hal yang terkait dengan informasi dan transaksi elektronik. Mulai dari sistem elektronik, dokumen elektronik, tanda tangan elektronik, transaksi elektronik, perlindungan data elektronik, intersepsi komunikasi, hingga kejahatan siber.

 

Akibat format dan model pengaturan ini, rumusan pengaturan yang disediakan oleh tiap pasalnya jadi kurang mendetail dan mendalam, dan ini berdampak pada kelenturan dalam penafsiran dan implementasinya (Djafar dan Avilla, 2014).

 

Jika kita bandingkan dengan beberapa negara ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina, model pengaturan sapu jagat memang hanya ditemukan di Indonesia. Negara-negara itu lebih evolutif dalam pengaturannya.

 

Sejak akhir 1990-an, mereka mulai mengeluarkan UU Kejahatan Komputer, UU Tanda Tangan Elektronik, UU Multimedia, UU Perniagaan Elektronik, hingga terakhir UU Keamanan Siber, dan UU Perlindungan Data Pribadi.

 

Sementara Indonesia, meski dalam inisiatif pemanfaatan teknologi internet lebih awal dibandingkan negara ASEAN lain, dalam pembentukan hukum dan legislasi yang mengatur teknologi ini cenderung terlambat (Djafar, 2013).

 

Problem mendasar

 

Membaca norma dan mengobservasi implementasi UU ITE saat ini, kita dapat mengidentifikasi sejumlah problem mendasarnya, selain problem umum yang dijelaskan di atas.

 

Pertama yang paling banyak mendapatkan sorotan publik adalah terkait dengan norma-norma kejahatan siber, khususnya Pasal 27 Ayat (3) tentang larangan fitnah dan pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat (2) tentang larangan ujaran kebencian.

 

Kedua pasal itu, meski telah beberapa kali diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi, dan putusannya menyatakan normanya konstitusional, secara konsep sesungguhnya ada problem dalam rumusannya.

 

Kedua pasal itu, dan juga ketentuan larangan lain yang dirumuskan dalam Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE, kualifikasinya adalah kejahatan konvensional yang ekstensifikasi menggunakan teknologi komputer (cyber-enabled crime), atau dalam Budapest Convention on Cyber Crime 2001 masuk kategori sebagai content-related offences.

 

Kejahatan tersebut berbeda dengan cyber-dependent crime, sebagai kejahatan yang muncul dan hanya mungkin dilakukan karena adanya jaringan komputer, seperti phishing, serangan distributed denial of service (DDOS), dafecement, illegal access (McGuire dan Dowling, 2013). Dalam UU ITE sendiri kejahatan yang masuk kategori computer related offences itu telah diatur dalam Pasal 30-35, dan relatif tidak ada permasalahan dalam implementasinya.

 

Dengan perbedaan konsep ini, mestinya dalam perumusan normanya juga berbeda karena kejahatan yang diatur Pasal 27, 28, 29 UU ITE sesungguhnya juga telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Karena itu, untuk bisa membuktikan setiap unsurnya, baik actus reus (perbuatan) dan mens rea (niat jahat), yang diatur dalam pasal-pasal tersebut, sepenuhnya harus merujuk pada KUHP.

 

Masalah mendasar berikutnya terkait pengaturan konten internet, yang selama ini lebih menekankan pada aspek pembatasan, sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 40 Ayat (2)b UU ITE. Ketentuan ini memberikan wewenang bagi pemerintah untuk membatasi konten yang melanggar peraturan perundang-undangan (illegal content).

 

Sayangnya, dalam pengaturan itu belum secara jelas disebutkan jenis-jenis konten yang melanggar UU. Selain itu, UU ITE juga belum mengatur prosedur di dalam melakukan pembatasan, termasuk peluang untuk melakukan pengujian terhadap tindakan pembatasan tersebut (judicial oversight).

 

Mengacu pada prinsip dan instrumen HAM, setiap tindakan pembatasan terhadap hak, termasuk di dalamnya hak atas informasi, setidaknya harus memenuhi tiga hal: diatur oleh hukum (prescribed by law), untuk suatu tujuan yang sah (legitimate aim), dan betul-betul mendesak dilakukan (necessity), selain tindakannya harus proporsional.

 

Prinsip-prinsip pembatasan inilah yang semestinya dirumuskan secara baik dan ketat di UU ITE, termasuk dalam prosedur pembatasannya, guna menghindari praktik pembatasan konten (blocking and filtering) sewenang-wenang.

 

Pengaturan konten ini juga terkait erat dengan respons terhadap maraknya penyebaran disinformasi di internet, yang belum diatur secara memadai dalam hukum Indonesia. Revisi UU ITE semestinya dapat merumuskan pengaturan mengenai larangan penyebaran konten disinformasi, termasuk langkah administrasi dan teknologi yang dapat dilakukan untuk mencegahnya.

 

Pendekatan demokratis dalam penanganan konten disinformatif, seperti diterapkan Pemerintah Jerman melalui The Network Enforcement Act 2017, dapat jadi rujukan dalam perumusan aturan ini.

 

Lebih jauh dari itu, UU ITE juga belum mampu menjadi rujukan dalam pengaturan platform digital mengingat beragam model bisnisnya, seperti aggregation platforms, social platform, dan mobilization platforms. Situasi ini yang kerap memunculkan perdebatan sektoralisme pengaturan, yang dapat berujung pada kerugian pengguna (konsumen), untuk dapat menikmati secara penuh hak atas informasi.

 

Arah dan model pengaturan

 

Dalam pengaturan platform digital, prinsip netralitas jaringan (net-neutrality) harus menjadi elemen penting yang diperhatikan. Secara sederhana, prinsip ini menekankan tentang jalan bagi pengguna internet, dan tentang hubungan antara pemilik jalan—jaringan (intermediaries)—dengan penggunanya.

 

Prinsip ini dimaksudkan untuk melindungi kebebasan berpendapat di internet, termasuk menghindari penyensoran internet (Lessig dan McChesney, 2006).

 

Dengan beberapa catatan ini, kebutuhan amendemen UU ITE mestinya bisa dibuka seluas-luasnya, tak semata-mata pada masalah pemidanaan. Namun, mengingat perkembangan saat ini, penting bagi pemerintah dan DPR untuk terlebih dahulu merumuskan arah dan model politik hukum pengaturan teknologi internet ke depan.

 

Apakah tetap dengan model penyatu-atapan melalui UU ITE, atau mengembangkan model dan pendekatan yang lain, dengan tetap mempertimbangkan aspek konvergensi dari teknologinya?

 

Tantangan terbesar dalam penyusunan aturan terkait dengan pemanfaatan teknologi internet ialah selalu tertinggalnya hukum dari inovasi teknologinya. Karena itu, internet membutuhkan pengaturan yang supel untuk mencegah hilangnya fungsi, sekaligus menjaga efisiensi dan interoperabilitasnya (Kulesza, 2012).

 

Guna menjamin hal itu, harus dipastikan aturan yang dirumuskan tidak kaku sehingga selalu mampu memberikan ruang bagi invensi teknologi, serta dapat secara baik memfasilitasi pengembangan setiap kreasi dan inovasi berbasis internet. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar