Mengungkap
Kekerasan Seksual di Kampus Sulistyowati Irianto ; Co-founder Mata Kuliah Gender dan Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia |
KOMPAS,
26 Maret
2021
Umumnya kampus dipersepsi sebagai tempat
aman bagi perempuan dan anak, sama seperti sekolah, rumah tangga, dan
lingkungan rumah ibadah sehingga orang tak menyadari itu cuma mitos. Kejahatan yang merendahkan kemanusiaan,
berupa kekerasan seksual, terjadi juga di kampus. Karena diselubungi mitos,
kejahatan itu justru tersembunyi, tak terlaporkan, pelakunya tak pernah
dihukum setimpal, dan korban mengalami trauma seumur hidup. Korban adalah generasi muda kita, umumnya
mahasiswi. Tindakan ini menambah panjang deretan cacat etika dari (sebagian)
kaum intelektual kita, di samping isu plagiarisme dan mis-tata kelola
universitas. Sementara itu, sebagian besar akademisi
diam, tidak mau tahu karena menganggap kasus itu urusan privat dan memalukan
institusi, atau menyangkal, bahkan ikut menyalahkan korban. Mitos berikutnya adalah kekerasan seksual
disebabkan kurangnya pendidikan agama; padahal ada pelajaran agama, dari
prasekolah sampai universitas. Masalahnya terletak pada ketimpangan relasi
kuasa antara pelaku dan korban. Pelaku melakukan penyalahgunaan kuasa
sungguhpun mereka orang dekat, seperti ayah kandung, saudara laki-laki, guru
sekolah, guru agama, dan dosen. Demikianlah evidence based (dasar
pembuktian) ratusan ribu kasus yang dilaporkan dari seluruh Indonesia kepada
Komnas Perempuan setiap tahun. Di kampus, pelaku kekerasan seksual bisa
siapa saja; sesama mahasiswa, staf administrasi, dosen, dosen tamu, yang
prinsipnya punya kuasa lebih daripada korban (lebih pintar, lebih senior,
menentukan nilai dan nasib mahasiswa). Namun, ketika pelakunya dosen atau
profesor, kejadiannya tak mudah dipercaya oleh pemimpin program studi,
departemen, dan fakultas. Nama baik institusi dianggap lebih penting daripada
bela rasa pada korban. Mereka minta bukti dan pembuktian kejahatan kemanusiaan
disamakan dengan bukti tindak pidana biasa. Korban kian takut karena pembuktian
dibebankan kepadanya dan sulit dipenuhi. Biasanya kejahatan sudah berlangsung
lama, bisa beberapa bulan, tahun, bahkan korban sudah menjadi alumnus. Ada
hambatan psikologis dan sosial sehingga korban baru berani mengadu dan bukti
sudah kedaluwarsa. Jika pelakunya dosen, prinsip universitas
sebagai gerakan moral di jantung hati masyarakat (Magna Charta Universitatum,
1988), kehilangan rohnya, runtuh. Kaum intelektual dipandang sebagai penjaga
gerbang kebenaran. Tugasnya memproduksi ilmu pengetahuan, melakukan pencarian
kebenaran yang tak pernah usai karena selalu ada kebenaran baru dari temuan
berikutnya. Dosen tempat orang berguru. Akibatnya, sulit memercayai jika ada
di antara mereka menjadi predator seksual bagi mahasiswanya sendiri. Problem utamanya, banyak kampus tak
memiliki regulasi khusus untuk menanggulangi penanganan kekerasan seksual dan
pencegahannya. Jika ada dosen yang mendampingi korban, mereka tak punya
petunjuk apa yang harus dilakukan. Dosen pendamping juga berhadapan dengan
sebagian besar dosen lain yang tidak memiliki literasi kekerasan seksual dan
perspektif korban. Ketiadaan literasi adalah problem kedua.
Tak banyak yang paham, kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan karena
korbannya bisa mati, atau cacat seumur hidup, dan jenis tindakannya sangat
beragam. Dari cat calling, pelecehan, yang sering dianggap remeh, sampai
percobaan pemerkosaan, pemerkosaan, pemaksaan aborsi, dan penyiksaan seksual. Cat calling pun berbahaya. Ada mahasiswi
yang menghindari siulan nakal setiap keluar rumah dengan cara menggunakan
headset, kemudian menyeberang rel, tak dengar kereta datang, dan kehilangan
nyawa. Angka
kekerasan seksual Kasus kekerasan seksual di kampus yang
dapat dilaporkan adalah dari 2019, yaitu 174 kasus di 79 kampus di 29
provinsi. Pelakunya dosen, mahasiswa, staf, tokoh agama di kampus, dokter
klinik di kampus, dan warga lain. Tempat kejadian bisa di dalam atau luar
kampus, seperti lokasi KKN, tempat magang, dan acara kemahasiswaan. Korban 96 persen mahasiswi, 20 persen tak
melapor dan 50 persen tak menceritakan kepada siapa pun (Vice Indonesia,
Tirto, dan Jakarta Post, 2019). Kasus yang tak dilaporkan tenggelam dalam
gunung es. Kasus kekerasan di kampus juga bersembunyi
dalam kekerasan berbasis gender siber (KBGS) karena pelaku melakukannya
secara digital. Laporan KBGS langsung ke Komnas Perempuan naik dari 241 kasus
(2019) ke 940 kasus (2020). Laporan KBGS dari lembaga layanan juga naik dari
126 kasus (2019) ke 510 kasus (2020). Kekerasan seksual di kampus terkonfirmasi
dari laporan Komnas Perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan (KTP) di
ranah komunitas/publik, yaitu 21 persen atau 1.731 kasus (KP, 2021). Paling
banyak memang kekerasan seksual, yaitu 55 persen atau 962 kasus, terdiri dari
pemerkosaan (229 kasus), pelecehan seksual (181), percabulan (166), dan
sisanya percobaan pemerkosaan. Sementara 79 persen KTP di ranah privat
atau pelakunya orang dekat korban, seperti kekerasan dalam rumah tangga/KDRT
(49 persen), kekerasan masa pacaran (20 persen), sisanya kekerasan dari bekas
suami, bekas pacar, dan KTP pada pekerja rumah tangga. Secara keseluruhan, laporan KTP yang
diterima Komnas Perempuan tahun 2020 sebanyak 299.911 kasus, menurun 31,5
persen dari 2019 sebesar 431.471 kasus. Namun, penurunan ini tak dapat
dilihat sebagai turunnya KTP karena imbas pandemi, yaitu (1) perubahan jam
kerja dan ketidaksiapan teknologi lembaga layanan, (2) selama pembatasan
sosial berskala besar korban takut lapor karena serumah dengan pelaku, dan
(3) rendahnya literasi teknologi korban. Problem
sosio-yuridis Kasus kekerasan seksual di kampus jarang
berakhir di pengadilan. Penyebabnya, pertama, secara nasional kita memang
belum memiliki instrumen hukum khusus penghapusan kekerasan seksual. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ada
sekarang menempatkan kekerasan seksual sebagai kejahatan kesusilaan, padahal
itu kejahatan kemanusiaan karena mengancam nyawa dan hidup korban. Kedua, sukarnya memenuhi prosedur
pembuktian sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
serta berbagai prosedur penyelidikan dan penyidikan di lembaga penegakan
hukum (harus ada bukti fisik dan saksi). Ketiga, adanya berbagai mitos dan stereotip
yang menyalahkan korban, yang dipercaya aparat penegak hukum, atau jadi
bagian dari budaya hukum mereka (Nelken, 2007). Keempat, mitos dan stereotip yang hidup di
kalangan penegak hukum, sumbernya ada dalam masyarakat. Hal ini membuat
korban takut, malu, bimbang, sakit psikologis, yang menghalanginya melapor. Akibatnya, banyak kasus berlangsung terus.
Selalu saja ada kasus dengan pelaku sama dan korban banyak karena berlangsung
menahun. Jika ada korban berani buka suara, diikuti korban berikutnya, semua
terkendala bukti yang sudah hilang. Satu-satunya bukti, kesaksian korban. Itu
pun sulit didapat karena biasanya korban sudah menjadi alumnus atau orang
besar dan tak mau diketahui publik kasusnya. Akibatnya, kekerasan seksual di kampus
menjadi kejahatan tertutup rapat dan pelakunya tidak dihukum. Ada juga korban
yang memilih pindah ke kampus lain daripada mempersoalkan kasusnya dengan
harapan tipis untuk mendapat keadilan. Kejahatan seksual menandai semakin buruknya
wajah kampus kita. Sungguh paradoks karena di sisi lain berbagai kampus
menjadi hub program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), termasuk program
penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta pendidikan
berkualitas. Pencapaian SDGs jadi parameter penting
mengukur keberhasilan nasional meningkatkan kualitas hidup dan martabat
manusia. Jangan-jangan hanya sekadar formalisasi capaian jumlah penelitian,
publikasi, dan webinar. Tak benar-benar melindungi mahasiswa kita sendiri
dari ancaman kejahatan seksual, dan tidak memberikan keadilan bagi korban.
Hipokrasi kampus menampakkan wajahnya yang nyata. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar