Kami
(Tidak) Tahu ke Mana Panggung Musik Indonesia Kami Bawa Anas Syahrul Alimi ; Ketua Bidang Pengembangan dan
Pendidikan Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), CEO Prambanan Jazz Festival |
KOMPAS,
21 Maret
2021
Pada circa 40-an, dengan jemawa, pelukis S.
Soedjojono menulis dengan lantang: “Kami tahu ke mana seni lukis kami
bawa". Di sana, terletup perasaan berapi untuk bisa keluar dari belenggu
corak dan metode tertentu dalam mencurahkan pikiran dan perasaan di lanskap
seni rupa. Dan, itu didorong dan dilambari revolusi yang berkobar-kobar. Saya anggit kembali suara S. Soedjojono
ketika di bulan ini kita memperingati dua momen sekaligus, Setahun Pandemi (2
Maret) dan Hari Musik (9 Maret). Jika Soedjojono tampak menepuk dada dan
mengacungkan kepalan tangan sembari berteriak bersama Chairil Anwar, “Ayo,
Bung!”, bagaimana dengan orang-orang musik yang berada dalam palagan perang
dingin melawan agresi virus? Seperti halnya perang dunia, invasi virus
telah meluluhlantakkan nyaris semua bidang. Musik tak terkecuali. Lebih
spesifik lagi, dunia konser yang mengumpulkan banyak orang. Para samurai muda
yang selama ini sangat yakin bisa membikin panggung apa saja, alih-alih bisa
mengepalkan tangan, bersedekap saja tidak mampu. Semuanya rebah, seperti para yogi yang
kembali memeluk diri. Musisi kembali ke rumah, kembali ke keluarga, sementara
para pendiri panggung musik berjalan gontai ke kantor yang sepi dan dengan
mata nanar terus menatap kas yang bertumbuh ke bawah dengan segala utang yang
temponya seperti belati jatuh dari langit. Di masa normal, para promotor ini—istilah
kerennya, sih, pegiat industri kreatif—digadang-gadang menjadi pelaku
terdepan dalam industri kreatif. Mereka dilihat mampu menghidupkan banyak
elemen yang kerap tidak berhubungan langsung dengan buana musik. Sebut saja,
penyewa venue, pengusaha tata suara dan lampu, para pedagang makanan dan
cindera mata, jasa transportasi, dan hotel. Ketika invasi virus ini masuk ke Indonesia,
semua yang saya deretkan tadi langsung rebah. Sebab, merekalah yang berada di
garda depan selama ini. Para pebisnis itu tiarap sambil berharap ini perang
dengan time zone pendek. Ini seperti bencana biasa sebagaimana konsekuensi
hidup di negeri yang dikepung cincin api. Ternyata tidak, ini bukan bencana yang
sebulan dua bulan. Ini pandemi. Ini perang panjang dengan limit waktu yang
sulit ditentukan. Yang mula-mula di garda depan dipaksa mundur ke garis
paling belakang, meninggalkan panggung dan gemerlap lampu kota. Tenaga
kesehatan yang didorong berada di front, berperang siang dan malam dengan
konsekuensi berguguran bersama ribuan rakyat. Lamat-lamat kita dengar di garis belakang
peperangan panjang ini, kita diminta beradaptasi dengan situasi. Format
panggung mau tidak mau diubah, dari yang nyata ke yang maya. Mula-mula para
penonton menggunakan kaki untuk sampai ke venue, kini dipaksa cukup dengan
jempol saja. Bisakah ini dilakukan? Tentu saja tidak
semudah menyerukan agar tetap kreatif di medan apa pun. Termasuk, kreatif
menciptakan tontonan. Kini, dunia musik dihadapkan kepada situasi
bisnis yang dulunya dihindari karena kalah telak di sana. Yaitu, dunia
digital. Musisi dan pebisnis yang hidup di ekosistem ini tahu betul ekosistem
digital musik kita sepenuhnya rimba raya. Musisi tidak bisa hidup dari penjualan
produk musik mereka karena pembajakan konten telah menjadi sebuah
keniscayaan. Sejak era kaset, cakram, dan kini era YouTube, pelaku musik
seperti disirep bahwa "pembajakan adalah salah satu cara mengapresiasi
karya". Ada yang melawan, tetapi itu sayup-sayup
belaka. Satu ditangkap, seribu yang tumbuh. Dihajar oleh praktik pembajakan yang sulit
ditindak pemerintah, musisi seperti mendapatkan pelampung ekonomi kreatifnya
lewat panggung. Di panggung yang bisnisnya diorkestrasi para promotor, musisi
mendapatkan pembagian kue atas karya. Ranah digital pun hanya sekadar
memperkenalkan karya agar saat tiba waktunya panggung berdiri, para penggemar
berduyun-duyun datang ke venue. Kini, pelampung itu lenyap. Panggung itu
roboh. Dunia musik pun dipaksa ke habitat yang sesungguhnya sangat
dihindarinya: ekosistem digital. Sebab, di sana, virus pembunuh ekosistem
kreatif berdiam dan mengerat apa saja tanpa peduli kepada apa pun. Dalam kejumudan seperti ini, awal tahun
ini, Bang Haji Rhoma Irama, seperti historiografi musik kita yang lalu-lalu
dan sayup, menggugat 1 miliar rupiah PT Sandi Record. Rumah produksi yang berdomisili di Jawa
Timur itu dengan sistematis dan terencana mengaransemen ulang lagu-lagu Bang
Haji tanpa izin dan dengan kontrak yang disepakati bersama. Lagu-lagu itu
kemudian dimonetisasi lewat kanal YouTube. Kita patut mendukung usaha-usaha seperti
ini, walau hanya sebatas fragmen dan letupan-letupan pemberi efek jera belaka
seperti yang sudah-sudah. Yang kita perlukan adalah penyehatan secara
holistik dengan menegakkan hukum yang ada. Dengan begitu, panggung digital
ini betul-betul seperti yang diharapkan oleh dunia penciptaan musik kita. Apakah terlalu berlebihan harapan itu? Mari
kita lihat ke depannya usai kita dipojokkan habis-habisan dalam perang
pandemi ini. Anggap saja penyehatan ekosistem digital
adalah harapan jangka panjang. Poin terdekat yang kita inginkan adalah
bagaimana dunia panggung musik live dalam bentuk festival dan konser tidak
betul-betul mati. Hal ini memantik saya dan teman-teman yang bergiat di
bisnis keramaian kreatif ini menyurati pemerintah. Kita semua tentu saja menginginkan bahwa
keselamatan manusia di atas segalanya. Tak ada tawar-menawar soal itu.
Sebagai kelompok bisnis yang terlatih dalam mengelola para pesohor dunia
musik, tidakkah sebaiknya kami dilibatkan dalam kampanye melawan pandemi ini
lewat jalan yang kami tekuni selama ini, yakni musik. Sekali lagi, kami mengelola banyak sekali
pesohor musik dengan lapisan fan yang sangat besar. Kami juga cukup terlatih
dari pengalaman belasan tahun mengelola event dalam berbagai skala. Bukankah itu bisa menjadi bab pendahuluan
yang bisa digunakan pemerintah untuk kampanye penyelamatan kesehatan
masyarakat kita. Program vaksinasi nasional, misalnya. Ini
program yang tidak bisa dilakukan sebentar karena melibatkan ratusan juta
masyarakat dan dihalangi bentang alam kepulauan. Janganlah mereka yang bergerak di industri
kreatif ini "hanya dimanfaatkan" saat pesta politik. Tenaga mereka
bisa sangat potensial untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan sesuai
tupoksinya. Sinergisitas ini barangkali bisa menjadi
titik berangkat memulihkan industri kreatif musik dengan pertama-tama
menghidupkan tungku ekonomi dasarnya yang terkoreksi sangat dalam. Sebab, meminjam frase S. Soedjojono, kami
sesungguhnya tahu kemana industri musik ini kami bawa, tetapi kami
membutuhkan sinergi yang sehat dengan pemerintah. Sebab, setahu-tahunya kami
kemana dunia musik ini mau dibawa, jika pemerintah pasif, ya, hanya berjemur
di halaman rumah sendiri alias tidak ke mana-mana. Selamat hari musik, para pencinta musik
Indonesia. Jangan lupa terus berdoa dan berikhtiar agar lolos dari maut yang
ditebar pandemi ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar