Covid-19
dan Target Indonesia Bebas Tuberkulosis 2030 Tjandra Yoga Aditama ; Guru Besar Paru FKUI; Mantan Direktur Penyakit Menular WHO
Asia Tenggara |
KOMPAS,
24 Maret
2021
Pada 24 Maret 1882 Robert Koch, ilmuwan
Jerman, mempresentasikan penemuannya: kuman penyebab tuberkulosis,
Mycobacterium tuberculosis. Ini penemuan amat penting karena pada masa itu
tuberkulosis (TB) jadi penyebab kematian utama dunia. Kini, setiap 24 Maret, dunia memperingati
Hari Tuberkulosis Sedunia. Tentu maksudnya untuk terus meningkatkan komitmen
kita pada pengendalian penyakit yang sudah ratusan tahun kita kenal,
diagnosis dan pengobatannya jelas, tetapi setiap tahun lebih dari satu juta
orang meninggal karena penyakit ini, mirip Covid-19. Negara dengan jumlah kasus TB terbanyak di
dunia adalah India, Indonesia, dan China. Pengendalian TB di kawasan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara—termasuk Indonesia—tadinya berjalan cukup
baik. Angka notifikasi penemuan kasus TB naik dari 2,6 juta pada 2015 menjadi
3,36 juta di tahun 2018, atau naik sekitar 20 persen. Artinya, semakin banyak pasien berhasil
ditemukan untuk diobati karena, kalau tidak, satu pasien akan dapat menulari
sampai sepuluh orang sehingga TB tetap merajalela di masyarakat tak
terkendali. Lalu, keberhasilan pengobatan pada TB
sensitif obat naik dari 79 persen pada kohort 2014 menjadi 83 persen pada
kohort 2017. Jumlah kematian juga terus menurun di kawasan Asia Tenggara,
dari 758.000 di tahun 2015 menjadi 658.000 pada 2018. Disusun beberapa kesepakatan global,
membuat berbagai target cukup penting yang harus dicapai di dunia. Pertemuan
tingkat PBB menetapkan target, dalam kurun 2018-2022 dunia harus menemukan
dan mengobati 40 juta orang, memberikan terapi pencegahan pada setidaknya 30
juta orang, ada peningkatan anggaran pengendalian TB di sejumlah negara. Juga sudah ditetapkan target End TB
Strategy, yaitu tercapainya penurunan insiden kasus TB paru 80 persen pada
2030 dan penurunan kematian akibat TB sampai 90 persen di 2030. Laporan TB Dunia 2020 yang diterbitkan pada
Oktober 2020 dan menampilkan data 2019 menunjukkan, pada 2019 di dunia ada 10
juta kasus TB dan 1,2 juta kematian, sementara di kawasan WHO Asia Tenggara
terdapat 4,3 juta kasus TB dan 632.000 kematian setahunnya. Dampak
Covid-19 Dengan apa yang sudah dicapai dunia sampai
2019, dan dengan berbagai target yang sudah dibuat, tadinya diharapkan pada
2020 akan ada berbagai kemajuan amat penting dalam pencapaian dan situasi
epidemiologi TB. Akan tetapi, seperti kita ketahui, pandemi Covid-19
membelenggu dunia di 2020. Dampak Covid-19 pada TB tentu cukup dan
bahkan amat besar. Beberapa pemodelan yang dibuat memperkirakan disrupsi
akibat Covid-19 dapat membuat indikator kemajuan program TB dunia mundur ke
situasi di 2013-2016, atau mundur 5-8 tahun ke belakang. Publikasi lain menyebutkan, kalau deteksi
TB global menurun rata-rata 25 persen dalam tiga bulan saja, akan ada peningkatan kematian akibat TB
sebanyak 190.000 orang. Artinya, untuk kawasan WHO Asia Tenggara, akan ada
penambahan 100.000 kematian. Data lain menyebutkan, jika di 2018 ada 1,49
juta kematian akibat TB, maka akibat pandemi Covid-19 di 2020 bisa terjadi
1,85 juta kematian di dunia. Setidaknya ada lima kemungkinan dampak
Covid-19 pada TB di beberapa negara. Pertama, ada kekhawatiran masyarakat
datang ke puskesmas, klinik, dan rumah sakit (RS) karena takut tertular
Covid-19. Juga ada keterbatasan aktivitas skrining dalam penemuan aktif kasus
TB oleh petugas. Kedua, dari aspek pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan diagnosis TB, ada kekhawatiran dari sebagian masyarakat
untuk datang ke laboratorium, dan ada penurunan rujukan spesimen yang
diperiksa. Ketiga, di sebagian negara ada disrupsi pada proses pembelian dan
distribusi obat, atau keterbatasan obat di lapangan. Keempat, dalam hal pengobatan dan
pengawasannya dimungkinkan ada gangguan pada pelayanan di puskesmas, klinik,
dan RS karena kesibukan menangani Covid-19. Juga proses monitoring, supervisi,
dan pelaporan bisa menjadi terlambat. Kelima, petugas kesehatan jadi amat
sibuk karena program pengendalian Covid-19. Yang
dapat dilakukan Ada tiga hal yang perlu segera dilakukan.
Pertama, perlu ada penilaian mendalam tentang situasi TB saat ini: data
epidemiologinya, pencapaian program kegiatannya, serta kesiapan sumber daya
yang ada. Kedua, harus dilakukan upaya maksimal agar
pelayanan dapat kembali ke setidaknya seperti masa sebelum Covid-19. Ketiga,
upaya keras mengatasi ketertinggalan dalam satu tahun belakangan ini.
Kasus-kasus yang belum ditemukan harus segera ditemukan, bukan hanya untuk
diobati, melainkan juga memutus rantai penularan. Dalam jangka menengah dan panjang, ada tiga
hal pula yang dapat dilakukan. Pertama, memperkuat sistem pelayanan
kesehatan, pencegahan infeksi, dan juga meningkatkan keterlibatan aktif
masyarakat. Kedua, dilakukan inovasi-inovasi dalam
penemuan dan menjamin keberhasilan pengobatan, baik bersifat nasional
maupun spesifik lokal di daerah.
Ketiga, advokasi untuk menjadikan TB suatu kegiatan kesehatan penting yang
melibatkan berbagai sektor dalam pemerintahan. Presiden Joko Widodo menargetkan Indonesia
bebas TB pada 2030 dan menghendaki program TB dapat menggunakan pengalaman
pendekatan yang dilakukan pada Covid-19. Setidaknya ada tujuh kegiatan pengendalian
Covid-19 yang dapat juga dilakukan sejalan dengan pengendalian TB. Pertama
dan kedua adalah tes dan telusur kontak yang luas yang kini terus
ditingkatkan untuk Covid-19, akan baik kalau dilakukan pula pada TB. Ketiga, pencegahan infeksi dengan mencuci
tangan dan memakai masker, juga akan baik untuk pencegahan TB. Data
menunjukkan, penggunaan masker yang tepat dapat mengurangi kemungkinan
tertular TB sampai 56 persen. Keempat, surveilans, monitoring ketat data di
lapangan dari waktu ke waktu yang kita lakukan untuk Covid-19 juga harus
dilakukan untuk TB. Kelima, penguatan sistem kesehatan secara menyeluruh. Keenam, pentingnya komunikasi risiko.
Informasi kepada masyarakat yang secara intensif diberikan untuk Covid-19
juga bisa dilakukan untuk penyakit TB, tidak hanya di seputar saat Hari TB
Sedunia di bulan Maret ini. Ketujuh, nilai sentral peran masyarakat
untuk mengendalikan penyakit, baik Covid-19 maupun TB. Masyarakat luas
bukanlah obyek program kesehatan, melainkan subyek yang berperan utama dalam
kesehatan bangsa kita. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar