Pentingnya
Membangun Gerakan Sosial PPKM Terpadu Martani Huseini ; Guru Besar FIA UI, Ketua CIGO-FIA
UI, dan Ketua Stikom-Interstudi |
KOMPAS,
19 Maret
2021
Paling tidak ada lima pesan utama Presiden
Jokowi untuk mengefektifkan pelaksanaan PPKM dan PSBB. Pesan itu ialah libatkan pakar
epidemiologi, awasi dan monitoring pelaksanaan di lapangan, libatkan
tokoh-tokoh masyarakat, berikan teguran dan bimbingan di lapangan. Optimalkan
kegiatan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) agar bisa meredam
dan mengurangi laju pertumbuhan penyebaran korona di Indonesia. Arahan itu tampaknya mudah dilaksanakan,
tetapi tak semudah itu di lapangan. Pilihan sebaiknya PPKM dimulai dari skala
mikro (komunitas RT/RW, kelurahan/kecamatan) atau skala makro (provinsi,
kabupaten/kota) masih dipertanyakan efektivitasnya. Intinya, jika PPKM dari skala mikro bisa
dipertemukan dengan gerakan sosial pembatasan sosial berskala besar (PSBB)
dari skala makro ini tak dipijakkan pada landasan teori yang relevan
sebagaimana konsep social mobility/movement ataupun konsep manajemen
perubahan, jaminan kesuksesannya sebagai gerakan sosial diragukan
keberhasilannya. Pelibatan tokoh atau pakar epidemiologi saja
tak cukup. Pakar sosiologi dan antropologi, komunikasi dan kebijakan publik,
juga harus dilibatkan. Sosialisasi PPKM dan monitoring berjenjang dari
tingkat komunitas, kelurahan, hingga kementerian perlu diintegrasikan dengan
desain PSBB tata kelola makro dengan sistem terpadu, terstruktur, dan
terukur. Gerakan Saemaul Undong (Memerangi
Kemiskinan dimulai dari Desa) di Korsel yang diluncurkan tahun 1960-an
menunjukkan keberhasilan setelah 1970-an. Bahkan gerakan sosial ini sudah
direplikasi di beberapa negara Afrika dan Asia Tenggara. Demikian juga
gerakan OVOP (One Village One Product, ’Isson Ippin Undo’) yang digagas di
Jepang. Awal mulanya gerakan sosial ini digagas dan
dijalankan Gubernur Oita Morihiko Hiramatsu tahun 1979. Kemudian diadopsi dan
dikembangkan di Thailand. Hasilnya sudah menunjukkan keberhasilan. Di 1980-an
dicoba diterapkan di Indonesia di bawah arahan Departemen Perindustrian.
Telah dipraktikkan di Sidoarjo, Jawa Timur, tetapi terhenti setelah Gubernur
Jawa Timur Basofi Sudirman tak menjabat lagi. Gerakan sosial semacam ini tak hanya
diperlukan untuk industri dan ekonomi, tetapi juga bisa dipakai untuk
menanggulangi tengkes ataupun gerakan Keluarga Berencana (KB). Di era Orde Baru, gerakan KB yang dipandu
BKKBN cukup berhasil, tetapi terhenti sejak kepemimpinan BKKBN berganti.
Gerakan serupa pernah dilakukan ketika Indonesia ingin memerangi pandemi
virus dengue. Namun, pengusiran nyamuk Aedes aegypti yang bisa menyebabkan
penularan demam berdarah belum tampak keberhasilannya. Membangun
fondasi Pemanfaatan konsep social
movement/mobilization (John Kelly, 2018) dan manajemen perubahan (John
Kotter, 2007) tampaknya perlu dijajaki sebagai rujukan untuk mengefektifkan
gerakan memerangi Covid-19 di masyarakat. Strategi dan siasat perang sebagai gerakan
sosial tampaknya sangat dibutuhkan supaya keberhasilannya bisa diwujudkan.
Dalam bangunan gerakan sosial diperlukan pemetaan awal semacam pra-tes dengan
menggunakan formula sebelum melakukan gerakan sosial. Pemetaan kondisi awal dengan menggunakan
formula D x V x F > R. Artinya, kalau mau membangun gerakan sosial yang
baik, harus dimulai dari menciptakan Dissatisfaction (D), yakni tentang
situasi ketidakpuasan akibat kegagalan dalam mengusir wabah Covid-19. Karena
itu, supaya aman, ke mana-mana harus memakai masker, mencuci tangan, menjaga
jarak (menaati protokol tetap era normal baru). Bahkan, saat ini, dari protokol tetap 3M
dinaikkan lagi menjadi 5M plus 3T. Rasa ketidaknyamanan ini harus ditekankan.
Kemudian penyampaian V (Vision) yang kedua, yakni masyarakat luas harus
diberi penjelasan, kita sekarang ada di posisi mana dan hendak dibawa ke
mana, dengan memakai bahasa yang mudah dipahami. Dan F yang ketiga merupakan First Action,
yakni awal dikumandangkannya program sosial PPKM harus melihat momen dan
prosesnya, agar langkah perdana bisa mengindikasikan kesuksesan untuk tahapan
berikutnya. Secara keseluruhan perkalian atas D x V x F
harus lebih besar dari R (Resistensi Komunitas yang melakukan penolakan).
Jika R-nya lebih besar, artinya peta kelompok yang cenderung menolak cukup
besar sehingga probabilitas akan kesuksesan sangat kecil. Dari referensi dua ahli yang disebut di
atas, disarankan untuk melakukan langkah-langkah berikut. Pertama, menciptakan rasa keterdesakan
melakukan sesuatu (sense of urgency), agar masyarakat segera bergegas mau
mengusir korona dengan mematuhi anjuran pemerintah melakukan 3M/5M serta
menaati instruksi 3T. Kedua, perlunya membangun koalisi yang kuat
lintas institusi, bidang, dan lintas komunitas. Ketiga, visi dan arah tujuan
program harus dikomunikasikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Keempat,
pemberdayaan secara berjenjang hingga tingkat komunitas terkecil di
masyarakat. Kelima, jika terdapat masalah dalam
implementasi, segera lakukan kaji ulang dan konsolidasi. Keenam, umumkan
kesuksesan di setiap tahapan. Ketujuh, bangun semangat untuk selalu bersedia
melakukan perubahan. Kedelapan, turunkan jangkar di tempat yang strategis
agar gerakan ini bisa bergaung lebih besar. Apabila dua gerakan sosial dari skala makro
dan mikro bisa dipertemukan, niat pemerintah mengefektifkan gerakan PPKM dan
PSBB bisa diwujudkan. Sudah banyak cerita sukses di banyak
negara, seperti Saemaul Undong di Korsel. Gerakan memerangi kemiskinan yang
dimulai dari desa-desa terlebih dahulu dan gerakan ini dipimpin langsung
Presiden Park Cung-hee di zamannya. Demikian pula gerakan OVOP di Jepang
dipimpin Gubernur Oita dan di Thailand kegiatan serupa OVOP dipimpin langsung
oleh raja pada masa itu. Di Indonesia pun gerakan KB, walaupun
dikoordinasikan oleh BKKBN, lembaga ini diawasi langsung Presiden Soeharto
pada zaman Orde Baru. Gerakan memerangi pandemi Covid-19,
walaupun sudah dikoordinasikan oleh Satgas Covid-19, tampaknya perlu
mempelajari kembali fondasinya dalam penerapan konsep mobilisasi sosial dan
manajemen perubahan secara sistematis. Orkestrasi permainan level mikro dan makro
memerlukan ”partitur” dan pemilihan dirigen yang tepat, agar keinginan
Presiden Jokowi dalam mengusir pandemi korona kali ini dapat diwujudkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar