Regenerasi
Kepemimpinan Politik Moch Nurhasim ; Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI |
KOMPAS,
29 Maret
2021
Dunia dan Indonesia sedang mengalami
perubahan generasi, dari generasi tradisionalis ke generasi Alpha
(iGeneration). Dari sisi struktur sosial, kedudukan generasi tua
(tradisionalis dan baby boomers, lahir 1940-an hingga 1970-an) relatif telah
tergantikan posisinya oleh generasi Y (1981-1994) dan generasi Z (1995-2010). Namun, tak demikian pada dunia politik.
Rebutan ruang politik-demokrasi antara generasi tradisionalis dan baby
boomers, yang sering disebut generasi tua, dengan generasi X, Y, dan Z masih
terasa. Hampir tak ada pemimpin partai saat ini yang ”murni” dari generasi Z. Rata-rata politik Indonesia masih di bawah
”cengkeraman” para oligark—orang-orang tua, kelahiran 1940-an dan 1970-an.
Hanya sedikit pemimpin politik kelahiran 1980-an, atau berusia 35-50 tahun,
yang andal. Generasi kepemimpinan politik saat ini masih
didominasi usia 50 hingga 70 tahun. Di legislatif nasional pun relatif sama,
dominasi baby boomers masih sangat terasa, walau ada anggota DPR yang berusia
23 tahun atau kelahiran 1996 sebagai anggota termuda, tetapi jumlahnya belum
signifikan. Politik
usia Generasi politik bukan hanya sebatas
statistik atau angka semata. Keberadaan mereka berhubungan erat dengan proses
pembangunan negara bangsa (nation-building). Studi Joseph Strayer di Eropa
menunjukkan bahwa perbaikan administrasi pemerintahan membutuhkan minimal
waktu 4-5 abad. Dalam kurun waktu itu, ideologi negara juga
baru terinternalisasi secara lebih nyata. Bisa dibayangkan, sebuah negara
sesungguhnya membutuhkan usia politik tak singkat, terus berkelanjutan dari
generasi ke generasi. Oleh karena itu, negara sebagai organisasi modern tak
bisa dilepaskan dari regenerasi politik. Penyiapan sumber daya politik menjadi salah
satu hal yang penting. Dalam teori politik, kaidah rekrutmen politik calon
yang bertarung dalam kontestasi politik bukan semata-mata hitungan
menang-kalah secara elektoral. Dalam proses seperti itu ada pertimbangan
keberlanjutan kepemimpinan politik. Biasanya proses regenerasi seperti itu akan
rusak jika institusi-institusi demokrasi yang penting seperti parpol
mengalami pembusukan politik. Pembusukan politik (political decay),
seperti pernah disebut Huntington dalam proses pembangunan negara bangsa,
bisa menjadi faktor penghambat regenerasi politik. Studi Manor (2017)
menyebut bahwa degenerasi politik di India, misalnya, disebabkan institusi
demokrasi mengalami pembusukan. Pun sama dalam sejarah, ketika rezim yang
berkuasa terlalu lama seperti masa Orde Baru—hampir 32 tahun berkuasa—bisa
menghambat terjadinya regenerasi politik. Ada tiga alasan periode waktu kekuasaan yang
lama bisa merusak institusi politik demokrasi. Pertama, kecenderungan jabatan
akan menciptakan oligarki melalui pembentukan jaringan kepentingan politik
yang saling membutuhkan. Kekuasaan yang ”langgeng”, terus-menerus bisa
merintangi mobilitas vertikal secara politik. Untuk menghindari itu, sistem demokrasi
kemudian membatasi periode kekuasaan, khususnya kekuasaan eksekutif seperti
presiden dan kepala daerah, karena dianggap berpotensi merusak apabila
seseorang terlalu lama berkuasa. Kedua, selain mencegah oligarki, pembatasan
kekuasaan dalam jabatan politik dimaksudkan untuk menghindari potensi korupsi
politik. Dan ketiga, alasan yang tidak kalah penting ialah agar calon-calon
pemimpin baru bisa tumbuh kembang seiring dengan kebutuhan zaman. Sebagai syarat agar sebuah entitas negara
tetap eksis dan tidak bubar, usia politik membutuhkan kesinambungan dan
keberlanjutan atau regenerasi politik. Problem utamanya ada pada bagaimana
cara regenerasi itu akan dilakukan. Apakah melalui proses reproduksi dinasti
seperti saat ini yang terjadi pada sebagian besar partai politik kita.
Ataukah berjalan dengan mekanisme demokrasi dalam bingkai rekrutmen politik
yang terbuka, di mana proses regenerasi politik berjalan seiring dengan
tumbuhnya sumber-sumber kepemimpinan politik yang tersedia. Ada dua pola yang bisa dijadikan pelajaran,
yakni pola politik AS dan Eropa. Politik-demokrasi di AS mencoba mencari
sumber kepemimpinan politik melalui konvensi secara terbuka. Konvensi ini
melibatkan para politisi, kader partai, dan konstituen (pemilih) mereka
secara luas. Pemilu pendahuluan dilakukan sebagai ajang kontestasi untuk
menentukan keberlanjutan generasi politik. Pola kedua, kontestasi prapemilu secara
terbatas seperti model Eropa, hanya melibatkan sebagian kecil orang, yakni
politisi dan kader partai. Perbedaannya dengan Indonesia, proses
pencarian figur kepemimpinan nasional lebih sarat oleh kepentingan ”dinasti”.
Jalur itu umumnya bisa melalui jalur keluarga, orang dekat, atau orang yang
sedang menguasai jalur penting rekrutmen politik sebagai basis penyediaan
calon pejabat publik yang akan memerintah. Reproduksi kepemimpinan dalam
politik-demokrasinya masih dikerangkeng oleh budaya patrimonial. Sebuah
budaya yang sesungguhnya berlawanan dengan kultur demokrasi. Ketiga pola sebagaimana disebut di atas
pada hakikatnya ingin mencari siapa yang layak secara politik akan memimpin
orang banyak, baik di tingkat nasional maupun lokal. Memang tidak ada jaminan
bahwa calon yang diusung dari ketiga model dapat mendorong munculnya calon
terbaik. Meski demikian, secara demokratis, semakin
banyak orang terlibat dalam pencarian sosok yang layak, tingkat kemungkinan
menemukan sosok yang terbaik akan jauh lebih tinggi peluangnya. Itu semua kalau kita mengandaikan politik
berjalan secara wajar, tanpa transaksi dan jual beli. Mahalnya biaya politik
menyebabkan ilustrasi ketiga pola di atas bisa tidak berfungsi. Biaya politik
yang tinggi menyebabkan kontestasi politik bukan saja ”diperdagangkan”,
melainkan dicengkeram oleh generasi oligark, orang-orang yang telah lama
dalam kekuasaan. Regenerasi
politik Banyak artikel menyebut bahwa Indonesia
berpeluang akan menikmati bonus demografi. Masalahnya, kenaikan angka
penduduk itu tidak selaras dengan lahirnya tokoh-tokoh yang layak untuk menjadi
pemimpin politik. Fenomena 4 L (lu lagi, lu lagi) adalah
paradoks bonus demografi dalam pembangunan politik sebuah negara. Secara filosofis dan sosiologis generasi
politik perlu dipersiapkan agar sebuah bangsa tidak menghadapi krisis
kepemimpinan politik. Perlu terobosan dan keberanian untuk
mengesampingkan kepentingan sesaat, ambisi kelompok yang terlalu besar
sehingga mengesampingkan kepentingan bangsa. Semua itu membutuhkan kesadaran
bersama agar bangsa ini tidak mengalami stagnasi. Fenomena berulangnya beberapa nama tokoh
sebagai calon presiden yang maju berkali-kali dengan polesan politik
pencitraan telah menjebak politik lima tahunan kita sebagai kontestasi
politik yang terkelabui. Akibatnya dalam proses pencarian figur kepemimpinan
nasional ada fenomena ”mengangkat calon yang satu dan menjatuhkan calon yang
lain”. Di sinilah jiwa kenegarawanan para politisi
diuji. Sosok negarawan akan tahu kapan harus maju dan pada saat apa dirinya
harus mundur dalam dunia politik. Tujuannya bukan melanggengkan kekuasaan,
melainkan memberi kesempatan munculnya sosok baru agar politik-demokrasi
memberi secercah harapan demi masa depan bangsa yang lebih baik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar