Mobil
Listrik dan Era Baru Aneka Tambang Ferdy Hasiman ; Peneliti Pada Alpha Research Database, Indonesia |
KOMPAS,
15 Maret
2021
Di tengah tren dunia mendorong pengembangan
mobil listrik dengan bahan baku baterai dari nikel, prospek perusahaan
tambang BUMN, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) ramai dibicarakan oleh pelaku
pasar. Di pasar modal, saham ANTM menjadi incaran
investor besar dan ritel. Investor percaya, ANTM akan menjadi perusahaan
negara yang bisa diandalkan, menjadi pemain di hulu (konsesi) dan hilir
(smelter) industri nikel. Realisasi pembentukan Indonesia Battery
Holding (IBH) untuk mengelola industri baterai terintegrasi hulu-hilir akan
menambah kepercayaan investor terhadap ANTM. IBH adalah gabungan empat perusahaan BUMN,
PT Pertamina (Persero), PLN (Persero), MIND ID dan ANTM. IBH diharapkan
menjadi motor penggerak kebijakan mobil listrik. Dalam tulisan ini, saya hanya membahas ANTM
sebagai penyedia di hulu (biji nikel). ANTM adalah perusahaan anggota holding
MIND ID yang bukan hanya memiliki konsesi emas (Pongkor dan Cibaliung/Jawa
Barat), tetapi juga konsesi nikel terbesar di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara
dan Papua. Total cadangan nikel ANTM mencapai 1,362 miliar ton (Baca: Laporan
Tahunan ANTM: 2019). Tahun 2021, produksi feronikel ANTM
diprediksi mencapai 26.000 ton dan produksi bijih nikel mencapai 8,44 juta
wet metric ton (wmt ), naik 77 persen dari 2020 yang 4,76 juta wmt. Ini
menjanjikan di tengah kenaikan harga nikel global. Prospek ANTM juga didukung kebijakan
global-nasional. Di level global, Amerika Serikat di bawah Presiden Joe Biden
akan menyediakan dana triliunan dollar AS untuk infrastruktur mobil listrik.
China menargetkan 350.000 unit penjualan mobil listrik di 2025 dan Eropa
menargetkan 300.000 unit mobil listrik tahun 2030. Sementara, di tingkat nasional, Presiden
Jokowi pun telah membuat PP No 55 Tahun 2019, tentang Percepatan Program
Kendaraan Bermotor Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Penutupan
ekspor nikel dan kewajiban membangun smelter juga adalah langkah strategis
pemerintah mengamankan pasokan untuk pengembangan mobil listrik. Produsen-produsen otomotif dipaksa
beradaptasi dengan kebijakan baru ini. Produsen otomotif besar, seperti Mitsubishi,
Honda dan Toyota mulai menginvestasikan sekitar Rp 100 triliun untuk
pengembangan mobil listrik. Penjualan mobil listrik produsen-produsen
mobil listrik dunia pun meningkat. Tesla (AS), misalnya, menjual 97.000 mobil
listrik tahun 2019, meningkat dibandingkan 2018 sebesar 83.777 unit. Sementara, Volkswagen (Eropa) juga menjual
212,000 unit mobil listrik tahun 2020, naik 158 persen dibandingkan 2019.
Banyak analis dunia memperkirakan pasar mobil listrik dunia akan tumbuh 53
miliar dollar AS tahun 2025. Ini berkah bagi ANTM dan Indonesia.
Kebijakan mobil listrik penting mengingat Indonesia negara penghasil nikel
terbesar, menyumbang 27 persen nikel dunia. Produksi bijih nikel mencapai
46.498.062 ton tahun 2019. Ini penting untuk mengurangi ketergantungan impor
minyak mengingat produksi minyak nasional hanya 750.000 barrel per hari
(bph), sementara kebutuhan BBM domestik 1,4 juta bph. Indonesia harus mengimpor sekitar 700. 000
bph minyak dari pasar internasional yang membuat neraca perdagangan defisit
dan APBN tekor. Dengan peralihan ke mobil listrik, Indonesia bisa selamat
dari kelangkaan BBM, jurang defisit dan menciptakan energi bersih. Saatnya
pemerintah mengandalkan BUMN sekelas ANTM menopang kebijakan ini. PR
pemerintah Pemerintah perlu belajar dari tata kelola
energi dan pertambangan masa lalu. Di masa lalu, Indonesia termasuk negara
kaya minyak. Tahun 1980-an dan 1990-an, produksi minyak 1,6 juta bph dan
pernah anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Meski Indonesia kaya minyak, pengontrol
ladang-ladang migas potensial, bukan perusahaan minyak negara, seperti
Pertamina, tetapi perusahan migas asing, seperti Chevron Pacific (Blok Rokan)
atau Exxon Mobil (Blok Cepu, Jawa Timur). Eksploitasi minyak yang masif membuat
produksi minyak terus turun dan Indonesia menjadi negara pengimpor minyak. Nasib sama terjadi pada mineral jenis emas
dan tembaga. Indonesia termasuk negara kaya emas dan tembaga, tetapi yang
mengontrolnya bukan perusahaan tambang BUMN, seperti ANTM, tetapi perusahaan
asing, seperti Freeport Indonesia (Grasberg Papua). Begitupun di batubara. Pengontrol konsensi
bukan PT Bukit Asam Tbk (PTBA), tetapi grup-grup bisnis domestik. PTBA hanya
mengontrol sekitar 7-10 persen pasar batubara Indonesia. Ini terjadi karena pemerintah tak memiliki
visi membesarkan perusahaan-perusahaan BUMN. Negara terlalu memberikan
kepercayaan kepada perusahaan asing dan group bisnis domestik untuk menopang
pembangunan. Pemerintah kemudian tak berdaya berhadapan
dengan korporasi asing dan group bisnis domestik. Pemerintah juga takut
perusahaan asing pulang kampung dan group bisnis domestik melakukan pemutusan
hubungan kerja dalam jumlah masif yang menyebabkan masalah sosial dan
politik. Pemerintah Jokowi memang sudah mengubah haluan
kebijakan di sektor pertambangan. Sejak terpilih menjadi Presiden tahun 2014,
pemerintah telah memberikan hak kelola blok Mahakam dari Total E&P
(Prancis) ke Pertamina dan Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina. Di tambang mineral, pemerintah sukses melakukan
divestasi 51 persen saham Freeport Indonesia ke MIND ID dan memberikan 20
persen saham perusahaan nikel berbasis di Sorowako, Sulawesi Selatan, PT Vale
Indonesia Tbk (INCO) ke MIND ID. Kita berharap kesempatan itu juga diberikan
pemerintah kepada ANTM untuk mengontrol beberapa konsensi tambang potensial
yang diciutkan INCO di Blok Bahodopi Utara dan Matarape. Dalam lelang blok Bahodopi dan Matarape,
pemerintahan kelihatan lamban mengambil keputusan. Lelang dua blok itu sudah
berjalan sejak tahun 2018, tetapi pemerintah belum juga mengambil keputusan.
Dua tahun itu waktu cukup lama. ANTM membutuhkan kerja cepat dan produsen
mobil listrik dunia bergerak kencang. Boleh jadi, tarik-menarik kepentingan dalam
kementerian sangat tinggi antara memberikan blok nikel itu ke BUMN atau
perusahaan swasta. Pemerintah semestinya memberi prioritas kepada ANTM
sebagai perusahaan negara. Bila perlu beberapa konsensi nikel yang
sedang dalam proses tender di kementerian ESDM diberikan secara gratis kepada
ANTM. Dengan begitu, ANTM bisa diandalkan menopang proyek strategis mobil
listrik ini. Di industri nikel, pemerintah Jokowi perlu
diberi masukan. Kepemilikan asing di industri nikel masih dominan. Korporasi
asing masuk melalui mitra dengan pengusaha domestik dan paling gencar
membangunan smelter. Data Kementerian ESDM (2020) menyebutkan, peta industri
nikel nasional bergeser dengan cepat dalam waktu 4 tahun belakangan. Pada tahun 2014, produksi nikel masih
dikuasai INCO (Brasil/25persen), ANTM (19 persen) dan perusahaan lainnya (3
persen). Namun, peta industri hilir sampai produk setengah jadi (intermediate
product) telah berubah. Pada 2018, PT Indonesia Morowali Industrial
Park (IMIP) menguasai 50 persen produksi hilir nikel, INCO berkurang 22
persen, ANTM hanya 19 persen dan Virtue Dragon (Tiongkok-Indonesia)
mengontrol 11 persen. Jadi, hampir 70 persen tambang nikel dikontrol asing. IMIP adalah perusahaan patungan antara
Tsangshan Steel Holding (Cina) 66,25 persen dan Bintang8 (domestik) 33,75
persen. IMIP telah membangun smelter feronikel pertama melalui PT Sulawesi
Mining Investment di Bahodopi (Sulawesi Tengah) dengan kapasitas 300.000 ton
per tahun. Smelter kedua dibangun PT Indonesia Guang
Ching untuk memproduksi 600.000 ton feronikel per tahun. Ekpansi perusahaan
di atas masuk akal mengingat Cina adalah salah satu negara yang gencar
mendorong pembangunan mobil listrik. Dominasi perusahaan asing di tambang nikel
membuat kedaulatan negara di sektor SDA diuji. Pemerintah bisa saja tak
berdaya berhadapan dengan dana besar yang dibawah investor asing dan lupa
membuat perhitungan agar produksi nikel tak serampangan. Indonesia tak boleh bergantung pada
perusahaan asing mendorong pengembangan mobil listrik. ANTM mestinya menjadi
penopang kebijakan mobil listrik. Alasannya jelas. Perintah konstitusi UUD’45
mengatakan, pertambangan strategis perlu dikontrol negara untuk kepentingan
rakyat. Dengan kebijakan mobil listrik, nikel menjadi SDA strategis, maka
harus dikontrol negara. ANTM adalah representasi negara dalam
industri nikel. Dengan begitu, ANTM harus menjadi pemasok nikel untuk
komponen mobil listrik. ANTM juga bertugas mengontrol produksi nikel agar tak
cepat habis dan menjadi pelopor pembangunan smelter. Pengintegrasian hulu-hilir hanya bisa
sukses jika pemerintah memberikan lebih banyak konsesi nikel di hulu. Dengan
penguasaan hulu-hilir, ANTM bisa menjadi raja nikel dunia, bersaing dengan
perusahaan-perusahaan global lainnya. Indonesia bangga memiliki perusahaan
kelas dunia di sektor nikel. Dengan mengandalkan BUMN, negara memiliki
posisi tawar dan semakin berdaulat. Negara tak perlu bergantung pada
perusahaan asing untuk penopang kebijakan mobil listrik. Kita tak perlu ragu dengan kemampuan ANTM
mengolah bisnis. Perusahaan ini selalu mencetak laba dari tahun ke tahun.
Pada sembilan bulan pertama tahun 2020, ANTM membukukan laba bersih sebesar
Rp 835,8 miliar, tumbuh 30 persen dari Rp 641,5 miliar dari tahun 2019. Bisa jadi, keuntungan tahunan ANTM tahun
2020 di atas Rp 1 triliun. Kenaikan harga komoditas nikel karena banyaknya
permintaan di pasar global menguntungkan ANTM. Ini tentu berita gembira. Pada saat perusahaan-perusahaan tambang
rugi akibat Covid-19, ANTM mencetak untung. Keuntungan ini bermanfaat bagi
pemegang saham (BMUN) dan membantu banyak penerimaan negara di tengah krisis
sekarang. Dengan kenaikan harga nikel, ANTM menjadi perusahaan yang
menjanjikan dan bisa diandalkan untuk penerimaan negara. ANTM juga salah satu perusahaan negara yang
memiliki visi jangka panjang tentang industri tambang Indonesia. Sebelum UU
Minerba (UU No.4/2009 direvisi menjadi UU No.3/2020) mengamanatkan,
perusahaan tambang wajib membangun smelter, ANTM sudah sejak tahun 1976 telah
membangun smelter feronikel berkapasitas 27,000 ton TNi per tahun di Pomala. Apalagi jika proyek smelter ANTM Feronikel
di Halmahera Timur (FeNiHaltim) dengan kapasitas 13,5000 ton TNi sudah
mencapai tahap komersial, ANTM tentu mendapat profit besar dan berada di
garda terdepan dalam pembangunan smelter di tanah air yang memberi efek pelipatan
bagi pembangunan. Kerja
kolaborasi Keberpihakan pemerintah terhadap proyek
strategis yang sedang dijalankan ANTM tentu dibutuhkan untuk mengurai ego
sektoral. Dalam hal pembangunan proyek smelter misalnya, menteri BUMN harus
memimpin langsung proyek ini agar sesama BUMN saling menopang. Kerja
kolaboratif penting. Dalam hal pengembangan mobil listrik, tugas
ANTM memastikan ketersediaan pasokan bijih di hulu. Begitupun Pertamina dan
PLN, menjalankan tugas sesuai dengan core bisnis masing-masing. Indonesia tak
boleh lamban, karena produsen mobil listrik dunia bergerak cepat. Kolaborasi antara BUMN menjadi kunci. ANTM
yang sedang membangun smelter nikel juga perlu diberi kemudahan membayar
pajak agar memiliki ruang untuk ekspansi. Hanya saja, ekspansi perlu merawat
lingkungan hidup dan melakukan reklamasi paska tambang. ANTM sebagai korporasi terus-menerus
membenahi tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Setiap aksi korporasi dan masalah-masalah terkait perusahaan harus transparan
dan akuntabel. Jika ingin go global, manajemen perlu
melakukan revolusi budaya kerja internal agar lebih kompetitif, profesional
dan memiliki etos melayani rakyat. Hanya dengan etos kerja baik, ANTM bisa
menyambuat era baru dengan mobil listrik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar