Kesusastraan
Membangun Nasionalisme Apsanti Djokosujatno ; Guru Besar Ilmu Sastra, Mengajar di
Universitas Indraprasta PGRI |
KOMPAS,
20 Maret
2021
Meskipun para dosen dan pejabat sudah mulai
gemar berpuisi ria, ternyata banyak yang lupa dan tidak tahu bahwa sastra
bisa digunakan untuk menanamkan kebangsaan. Saya mencoba mengingatkan bahwa Rusia
sebelum Perestroika, ketika masih dikuasai komunisme, pemuja materialisme
dialektik versi Marx, menempatkan sastra pada jajaran suprastruktur. Oleh
karena itu, negara tersebut begitu waspada mengontrol dengan ketat penerbitan
karya sastra. Novel epik Boris Pasternak yang selesai
pada 1956, Dr Zhivago, dilarang terbit di negara sendiri karena dianggap
tidak sejalan dengan ideologi partai. Italia kemudian berinisiatif
menerbitkannya pada 1957. Boris Pasternak juga dilarang menerima Nobel dan
nyaris diasingkan seandainya Perdana Menteri India Jawaharal Nehru tidak
menelepon Krushchev, Perdana Menteri Rusia waktu itu, dan mengancam akan
membentuk Komite Perlindungan Pasternak. Novel itu kemudian menjadi bacaan wajib
untuk siswa setara kelas VIII di Rusia, setelah Perestroika. Perancis, dari
abad XVIII sampai perempat pertama abad XX, dengan kesusastraannya yang
dikenal sebagai littérature bourgeoise, yang menanamkan ideologi, nilai, dan
budaya kaum bourgeois Perancis, telah berhasil membangun masyarakat kelas
menengah yang kuat. Begitu serunya negara itu menanamkan nasionalisme sampai
kebablasan menjadi chauvinist. Inggris, contoh yang juga nyata. Negara
yang hanya terdiri dari dua pulau yang tak begitu besar berhasil membuat
bangsanya menjadi pelaut ulung dan ”menguasai dunia”, dan mengibarkan moto
”Britain rules the waves”, berkat karya sastranya. Semua warganya yang
berhasil di dunia maritim dijadikan legenda dan ikon melalui sastra, termasuk
para bajak lautnya. Jangan lupa, dari masa kanak-kanak, mereka
sudah membaca Peter Pan yang gemar bertualang di kapal dan bertemu dengan
bajak lautnya yang konyol tetapi menarik. Amat banyak contoh lain, juga dari
negara-negara lain di Eropa dan Asia. Jadi, jelas bukan karena kekeliruan
bila komite hadiah Nobel memberikan porsi hadiah untuk kesusastraan. Sebagaimana diketahui, Nobel diberikan
kepada mereka yang berhasil menciptakan sesuatu yang paling bermanfaat bagi
kemanusiaan dalam bidang fisika, kimi, kedoteran, perdamaian, dan
kesusastraan. Hadiah untuk kesusastraan mulai diberikan pada 1901. Nobel
ekonomi baru diberikan pada 1969 Mata pelajaran kesusastraan menjadi bagian
terpenting dalam kurikulum klasik Barat. Kurikulum itu telah melahirkan
banyak peneliti hebat dan pengarang pemenang Nobel. Penelitian sastra bahkan
berhasil menjadikan karya sastra sebagai sarana pengobatan gangguan kejiwaan,
antara lain yang digagas oleh Bruno Bettleheim, seorang dokter psikiatri
Amerika. Juga jangan lupa bahwa Pramoedya yang hanya bersekolah sampai kelas
dua SMP adalah lulusan sekolah yang masih menggunakan kurikulum lama itu.
Termasuk Soekarno yang kreatif dan berwawasan luas. Membentuk watak tidak seperti membentuk
pengetahuan eksak yang kognitif, yang bisa dijelaskan dan diterapkan
seketika. Membentuk watak adalah masalah internalisasi yang panjang, makan
waktu. Proses identifikasi pembaca pada tokoh yang disukainya memungkinkan
terjadinya internalisasi. Pembaca merasa mengalami apa yang dialami ”tokoh
idealnya”. Maka, bila lulusan SMA kita tak tahu
bagaimana menjadi orang Indonesia, itu tanggung jawab Kemendikbud, yang
pernah menghapus pelajaran kesusastraan selama lebih dari 40 tahun,
menjadikan Indonesia terkenal di dunia internasional sebagai satu-satunya
negara yang tidak mengajarkan kesusastraan. Agak terlalu lama kesalahan itu
berlangsung. ”Untunglah” Kemendikbud telah mencantumkan kembali sastra dalam KTSP
2013 meskipun hanya sebagai tempelan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Namun, menghilangnya sastra dari kurikulum selama puluhan tahun besar
dampaknya. Lulusan SMA dan perguruan tinggi yang
sekarang harus mengajar sastra sudah telanjur tak mengenal sastra. Bahkan,
saya menemukan satu dua guru yang seumur hidupnya tak pernah membaca sastra.
Apalagi perekrutan guru dijalankan tanpa seleksi ketat. Itu dimulai oleh Presiden Soeharto yang
ingin semua mendapat pendidikan, lantas mendirikan sekolah yang serba inpres
(instruksi presiden), sekolahnya, gurunya, buku pegangan murid. Sekarang,
asal lulus tes pegawai negeri, yang standarnya sangat rendah, bisa menjadi
guru, khususnya guru Bahasa Indonesia. Banyak guru Bahasa Indonesia lulusan bidang
ilmu eksakta dan semi-eksakta, yang cara berpikirnya sangat kaku dan eksak,
tak punya bayangan bagaimana mengajar Bahasa Indonesia, apalagi kesusastraan.
Sekolah Kristen dan sekolah swasta yang bebas menentukan kurikulumnya,
umumnya masih mempertahankan unsur kurikulum lama itu dan bisa dikatakan
cukup selektif dalam merekrut pengajarnya. Namun, berapa jumlah siswa yang
beruntung bisa belajar di sekolah swasta, yang setelah lulus lebih suka
bekerja di perusahaan swasta daripada menjadi guru. Kritik lain, KTSP 2013 juga terlalu
merinci, menekankan hal-hal yang tak perlu gara-gara prinsip diletakkan pada
konsep keterampilan. Misalnya siswa (kelas VI, VI, VII, dan seterusnya) harus
mampu menulis puisi, cerita pendek, drama. Kalau siswa banyak membaca,
membaca dengan baik dan sungguh-sungguh, mereka akan bisa menulis dengan
sendirinya. Cukuplah memberi latihan menulis biasa. Waktu lebih baik
digunakan untuk membuat siswa membaca lebih banyak dan membuat laporan
mengenai unsur yang menarik pada bacaannya. Masalah lain adalah buku sastra yang harus
dibaca siswa. Kemendikbud seyogianya memberi pilihan buku sastra wajib baca
yang ditentukan oleh para ”pakar” sastra. Ada banyak guru yang saya ajar
memberikan karangan remaja agar siswa senang. Bahkan, mereka menggunakan karangan
dari internet yang isi dan bahasanya serba ”milenial”. Sekolah bukan untuk bersenang-senang
menikmati bahasa prokem, milenial atau apa pun sebutannya, yang mengunci
siswa dalam euforia remaja. Itu bisa dan pasti mudah mereka lakukan di luar
sekolah. Pelajaran sastra harus dimanfaatkan untuk
membangun jiwa, membuat siswa menjadi manusia Indonesia yang menghargai
bahasa Indonesia yang standar, memperluas wawasan mereka tentang keragaman
dan masa lalu bangsanya, yang berarti memberi akar pada generasi muda. Dengan
sendirinya, mereka juga mendapat wawasan yang lebih luas tentang ruang dan
waktu. Kita mempunyai banyak novel bagus, lama dan
baru, dari sejumlah daerah, yang patut diajarkan. Kita mempunyai cerita
tentang pelaut-pelaut hebat dari Bugis, juga kisah tentang bajak laut yang
pernah berjaya sampai abad XIX. Selain itu, Kemendikbud telah beberapa kali
mengadakan lomba menulis novel bagi para guru. Ada novel-novel pemenang dari sejumlah
daerah yang bisa memperluas wawasan siswa mengenai keragaman fauna, flora
,dan tentu saja keragaman budaya di negara kita. Sebaiknya novel-novel
pemenang itu dicetak ulang dan disarankan sebagai pilihan. Masalah lain, karya sastra yang bagus tak
pernah dipromosikan, juga jarang yang dicetak ulang, apalagi yang lama. Perpustakaan
Nasional juga tak memberi dukungan publikasi. Media sosial, yang selalu
mempunyai ruang dan waktu untuk hal-hal remeh-temeh menyangkut selebritas,
tentu bisa membantu menghidupkan kembali sastra, dengan memperkenalkan karya
sastra yang patut dibaca, yang baru maupun yang lama, yang mengandung
kebijakan dan pengalaman para orang tua dan pini sepuh. Menggunakan
selebritas pembaca sastra untuk mempromosikan karya sastra, pasti akan
membantu menaikkan semangat baca dan literasi, dan tentu akan meningkatkan
martabat selebritasnya. Pelajaran sastra bukan sekadar masalah
mengenal sastra dan literasi. Membaca karya sastra adalah kegiatan yang
positif dan serba guna untuk membangun generasi muda. Karya sastra sekaligus
menghibur, menambah pengalaman hidup, menambah pengetahuan, juga menjaga
kesehatan otak, karena bekerja menguraikan berbagai jenis kode. Barat juga percaya bahwa petualangan
imajiner dalam sastra mengawali dan membuka jalan ke petualangan ilmiah.
Namun, berhasil tidaknya pembelajaran sastra pada akhirnya terpulang pada
pengajar yang mengampunya. Setidaknya ia harus mempunyai pengetahuan mengenai
berbagai hal untuk mendukung mata pelajarannya, selain persiapan yang teliti
dan matang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar